A.
Pengantar
Dalam
proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyelidikaan sampai
dengan pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah
diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan
kasus pidana dimaksud.
Tanpa
kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi
"DARK NUMBER" mengingat dalam sistim hukum yang berlaku
di Indonesia yang menjadi referensi dari para penegak hukum adalah TESTIMONY
yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. Berbeda dengan sistem
hukum yang berlaku di Amerika yang Iebih mengedepankan "SILENT
EVIDENCE" (barang bukti).
Memahami
akan pentingnya posisi seorang saksi (termasuk juga ahli), pembuat
undang-undang sesungguhnya telah memikirkan tentang perlunya memberikan
perlindungan terhadap saksi, misalnya dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disebutkan sebagai berikut :
PasaI
34 :
- Sertiap
korban dan saksi dalam pelanggaran hak azasi manusia yang berat berhak
atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan
kekerasan dari pihak manapun.
- Perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh penegak hukum
dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
- Katentuan
mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya
ketentuan yang tercantum dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002
tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM
Berat, yang secara lebih detail mengatur hal-hal sebagai berikut :
Pasal
4
Perlindungan
terhadap korban atau saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, meliputi :
a)
Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan
mental ;
b)
Perahasiaan identitas korban atau saksi ;
c)
Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap
muka dengan tersangka.
Sedangkan
pelaksana dari pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban dimaksud
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan.
B.
Problematik
Sepertinya
sudah menjadi karakter dari peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
Pemerintah dan DPR untuk memuat pasal-pasal yang tidak implementatif. Dalam
peraturan mengenai perlindungan terhadap korban dan saksi ini tidak diatur
tentang bagaimana cara penegak hukum, khususnya jaksa dalam memberikan
perlindungan terhadap saksi dan korban, mengingat jaksa sendiripun dalam
kenyataannya juga mengalami kerepotan untuk mengamankan diri dan keluarganya.
Apalagi untuk memberikan perlindungan terhadap orang lain.
Sedangkan
jika berbicara tentang dukungan fasilitas sarana dan prasarana rasanya hanya
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang mempunyai atau memenuhi persyaratan
dimaksud. Namun jika dilihat dari kenyataan di Iapangan ternyata pihak atau
institusi yang dianggap paling rentan bersentuhan dengan masalah pelanggaran
HAM, maka tidak ada lain kecuali TNI dan POLRI.
Berbicara
tentang perlindungan saksi dan korban yang melibatkan institusi atau aparat
POLRI sebagai pihak tersangka, maka sangat mungkin terjadinya conflict of
interest bagi aparat pelaksana, yaitu antara menghormati sang atasan
sebagai tersangka atau menjaga kepentingan saksi dan korban yang akan
memberatkan atasannya tersebut.
Masalah
lainnya yang juga menjadi pokok bahasan dalam pemberian perlindungan terhadap
saksi dan korban adalah belum adanya manajemen pengamanan yang penerapannya
benar-benar memberikan keterangan dan jaminan akan keselamatan diri dan
keluarganya,
Contoh
yang dapat dikemukakan adalah apa yang ditulis oleh Sylvia de Bertodano (Barrister,
London, Former Defence Counsel before the International Criminal
Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) : Former member of the Public
Defence Office East Timor : Member of the Journalist Editorial Committee)
yang mengutip laporan dari reporter khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
untuk masalah HAM yang termuat dalam tulisannya "Current Developments
in Internationalized Courts East Timor Justice Denied", dimana
dikatakan bahwa para saksi kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur tidak
berkenan datang ke pengadilan untuk bersaksi dengan alasan keamanan.
Memang
ada upaya untuk memberikan perlindungan, namun dirasa oleh mereka hal tersebut
belum sepenuhnya. Kalaupun mareka pada saat berangkat dari Dilli ke Jakarta
didampingi oleh Unit Kejahatan Khusus, namun pada saat mereka tiba di bandara
nama mereka dipanggil dengan pengeras suara sebagai saksi dan mereka
ditempatkan di rumah atau wisma yang ada tulisan Rumah perlindungan saksi
dan korban. Kondisi lainnya yang juga dirasakan tidak nyaman oleh para
saksi dimaksud adalah ketika mereka memberikan kesaksian di depan sidang,
mereka merasa terintimidasi karena tempat duduk mereka tidak jauh dari
terdakwa.
C.
Pemecahan Masalah.
Menyikapi
permasalahan di atas yang tidak akan dapat teratasi tanpa adanya kerjasama
antara semua pihak, terutama pihak-pihak yang bertugas untuk menciptakan rasa
aman dari saksi dan korban yang sangat membantu dalam terbuktinya suatu tindak
pidana menyangkut HAM, maka jalan pemecahan berikut ini mungkin dapat ditempuh
- Perlu
adanya Special Body yang mengurus masalah perlindungan terhadap
saksi dan korban dalam tindak pidana pelanggaran Hak Azasi Manusia,
seperti yang ada di ICTY yang disitu terdapat Witness Protection Unit.
Dengan harapan, bahwa lembaga ini akan memberikan perlindungan saksi dari
tingkat penyelidikan sampai dengan pasca persidangan. Adapun anggota dari
lembaga ini terdiri dari orang-orang yang terpilih berdasarkan fit and
proper test, mereka juga dilengkapi dengan ilmu bela diri dan lembaga
ini langsung berada di bawah presiden.
- Meniru
konsep "viva voce" yang intinya saksi dapat membuat
pernyataan di luar sidang di hadapan pejabat yang berwenang karena saksi
takut hadir di persidangan. Dalam hal ini, saksi tidak perlu hadir di
persidangan, tetapi dapat memberikan keterangan tertulis di hadapan
pejabat berwenang tersebut.
- Memberikan
penjelasan kepada semua pihak bahwa sesungguhnya saksi itu dilindungi. Di
sini sangat diperlukan peran aktif dari para penegak hukum untuk
memberikan penerangan kepada masyarakat secara umum tentang perlindungan
saksi, sehingga masyarakat tidak lagi merasa was-was apabila suatu waktu
dirinya harus menjadi saksi.
- Dilakukan
terobosan dengan cara memberikan identitas samaran kepada saksi. Hal ini
dilakukan dengan cara memberikan identitas yang lain kepada saksi dan
menyamarkan penampilan saksi saat berada di persidangan, sehingga tidak
ada seorangpun yang mengenal saksi yang sebenarnya, kecuali pejabat yang
berwenang. Namun untuk melakukan hal seperti ini juga harus diwaspadai
apakah pejabat yang nantinya mengetahui siapa sesungguhnya saksi juga
adalah pejabat yang bersih dari keberpihakan,
Cara-cara
di atas perlu diperkuat dengan suatu aturan yang mengikat sehingga nantinya
dapat disikapi dengan sungguh untuk lebih memberikan keberanian bagi anggota
masyarakat yang menjadi saksi dan juga korban dalam perkara pidana yang
menyangkut HAM.