Rabu, 24 Juli 2013

Polri & Korupsi



LATBEL :

Profesi polisi adalah profesi mulia (nobile officum) sebagaimana profesi-profesi terhormat lainnya yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun, profesi semulia apa pun, apabila dikotori oleh para pelakunya sendiri, maka akan menurunkan derajat kemuliaan profesi yang bersangkutan. Kecenderungan kepolisian atau oknum polisi berbuat menyimpang, sesungguhnya bukan monopoli kepolisian di Indonesia. Bahkan di negara-negara maju yang lebih demokratis, penyimpangan di tubuh kepolisian tetap ada. Sebagaimana yang diungkapkan Fattah (Nitibaskara, 2001: 29), bahwa di Inggris, dimana keramahtamahan polisinya telah menjadi legenda, tetap saja banyak polisi yang masih mempergunakan asas “The end justifies the means (tujuan menghalalkan cara)”. Demikian pula di Canada, di mana Pemerintah Canada sampai dua kali membentuk komisi untuk memeriksa Royal Canadian Mounted Police (RCMP) atas terjadinya serangkaian tindakan kejahatan dan melanggar hukum secara luas.

Asal usul perilaku polisi yang negatif barangkali bisa dilacak sampai pada pertukaran antara kekuasaan yang diberikan kepada polisi dan faktor peluang. Faktor peluang tersebut menjadi sangat dominan pada polisi, sejak ia berada pada jajaran terdepan dari eksekutif, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat. Faktor kekuasaan serta penggunaan kekuatan juga menonjol pada polisi. Apabila negara memiliki monopoli kekuasaan, hal itu diberikannya kepada polisi. Bagi polisi sendiri, kekuasaan dan kekuatan bersifat fungsional. Tanpa penggunaan kekuatan, polisi tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya (Satjipto Rahardjo, 1993). Tetapi penggunaan kekuatan yang tidak proposional, tidak saja dimiliki oleh polisi, melainkan lebih pada bagaimana menggunakannya, khususnya dalam penggunaan kekuasaan diskresi-fungsional-nya.


Dengan kekuasaan diskresi-fungsional itu, maka hukum di tangan polisi menjadi hidup. Secara sosiologis yang kemudian terjadi adalah, “it doesn’t matter what the law say”. Terjemahan-terjemahan polisi atas hukum itu yang merupakan realitas hukum yang sebenarnya, sehingga, dalam masalah penegakan hukum, pribadi-pribadi polisi menduduki peran yang sangat sentral. Bagi polisi yang kurang memiliki integritas moral yang cukup. Kekuasaan diskresi-fungsional itu tentunya sangat menggoda untuk dipergunakan ke arah lain yang bukan untuk tegaknya hukum dan keadilan masyarakat. Untuk kepentingan pribadi, misalnya membelokkan dengan sengaja yang sesungguhnya merupakan perkara perdata menjadi dipidanakan. Yang seharusnya menjadi tersangka, melainkan sekedar sebagai saksi, atau malah tidak disidik sama sekali, kecuali hanya diperas. Membisniskan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan tercela ini sulit dilacak dan tetap merupakan “dark-number”. Hal ini dikarenakan banyaknya selimut-selimut hukum yang menutupi perbuatan-perbuatan itu, yang kesemuanya nyaris bermuara pada kekuasaan diskresi-fungsional.






PERMASALAHAN :


Dari uraian yang dikemukakan di atas, maka dalam tulisan ini penulis ingin mengangkat permasalahan tentang bagaimana pembenahan moralitas kepolisian atas terjadinya tindak pidana korupsi di tubuh kepolisian ?”

MAKSUD & TUJUAN :

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk melihat sejauh mana profesionalisme anggota kepolisian dalam mengambil tindakan terhadap anggotanya yang melakukan tindak pidana korupsi.


2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak Kepolisian agar melakukan pembenahan moralitas terhadap anggota-anggotanya yang melakukan tindak pidana korupsi.

PEMBAHASAN 

Polisi sebagai penegak hukum, semua orang telah mengetahuinya. Tetapi apabila dikatakan polisi sebagai pembuat hukum, akan terasa kedengaran aneh di telinga, khususnya bagi yang terbiasa berpikir normatif. Secara sosiologis, polisi juga termasuk pembuat hukum. Selama ini kita telah mengenal istilah judge made law (hakim membuat hukum). Istilah ini dominan adalah khazanah sistem hukum Anglo Saxon. Hakim dengan segenap kapasitas dan otoritas yang dimilikinya. Menterjemahkan undang-undang guna menjadi perkara yang dihadapkan kepadanya. Hasil “penterjemahan” itu kemudian dituangkan dalam putusan, dan apabila sudah berkekuatan hukum tetap, akan menjadi hukum yang disebut preseden atau yurisprudensi. Inilah hukum produk pengadilan. Polisi, dengan cakupan dan bentuk yang berbeda, juga dapat menhasilkan hukum. Dalam menggunakan kekuasaan diskresi fungsionalnya, sesungguhnya polisi sedang “menterjemahkan” undang-undang sebagaimana halnya hakim sedang memutus perkara. Hasil keputusan polisi dari menterjemahkan undang-undang yang kemudian diterapkan dalam tindakan nyata adalah merupakan salah satu realitas hukum. Secara sosiologis, perilaku polisi dalam menjalankan hukum adalah hukum.

Pada saat polisi menghadapi gangguan keamanan di lapangan yang menuntut tindakan segera, pilihan-pilihan tindakan sepenuhnya berada dalam kreativitas petugas yang bersangkutan. Dalam keadaan menimbang-nimbang untuk memilih tindakan yang tepat itulah, posisi polisi seperti hakim yang memutuskan perkara yang disidangkannya. Untuk suatu gangguan keamanan yang derajatnya dinilai sudah pada taraf membahayakan keselamatan publik dan turut mengancam jiwa polisi, mungkin pilihan-pilihan tindakan tidak lagi banyak, kecuali harus mempergunakan kekuatan (power). Dalam situasi yang benar-benar sulit dikendalikan, penggunaan kekuatan mutlak perlu, termasuk tembak di tempat bagi para perusuh. Tidak setiap peluru tajam yang lepas dari laras senjata polisi merupakan pelanggaran HAM. Dalam situasi tertentu justru sebaliknya, melindungi kemanusiaan. Meskipun demikian, agar penggunaan kekuatan tidak melebihi batas takaran yang diperbolehkan, harus senantiasa dikontrol dan dikendalikan dengan seksama. Sebagaimana kita ketahui, bahwa dengan caranya masing-masing, setiap organisasi kepolisian mengadakan mekanisme kontrol penggunaan kekuatan dalam penindakan. Akan tetapi, sekalipun organisasi-organisasi tersebut telah melaksanakan kontrol yang ketat, termasuk Kepolisian RI, masih juga seringkali terjadi penggunaan kekuatan oleh polisi di luar batas propinsinya. Penggunaan kekuatan yang tidak proposional oleh polisi, dalam literatur sering disebut dengan Police Brutality. Yang tergolong dalam tindakan ini, misalnya seperti yang dilakukan oleh Kepolisian Chicago pada tahun 1968. Dalam membubarkan para demonstran yang menuntut hak-hak sipil pada waktu berlangsungnya Konvensi Partai Demokrat itu, Kepolisian tersebut menggunakan berbagai kekerasan yang tidak perlu. Hal serupa juga dilakukan oleh Kepolisian Ohio. Dalam demonstran di Kent State University pada tahun 1978, mereka melepaskan 61 kali tembakan dengan peluru tajam yang mengakibatkan 4 orang mahasiswa tewas seketika dan sembilan lainnya luka berat. Di lain tempat, pada tahun 1974, Kepolisian Negara Bagian Mew York menewaskan dalam waktu yang relatif singkat 43 narapidana penghuni Attica Prison, untuk kekacauan yang semestinya dapat dikendalikan dengan tanpa korban (Simon dan Eitzen, 1986). Dalam periode dua pemerintahan yang lalu, Polisi kita banyak melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai police brutality.

Walaupun pada hakikatnya memiliki kesamaan, antara penggunaan kekuatan oleh polisi di luar proporsinya dan kekerasan yang dilakukan oleh warga masyarakat, tetapi secara semantik semenjak awalnya telah mengalami perbedaan. Yang satu disebut exessive power (penggunaan kekuatan yang berlebihan), yang dinamakan violence (kekerasan). Barangkali, anekdot berikut ini dapat memperjelas gambaran kita tentang hal ini. suatu hari seorang bajak laut tertangkap basah di TKP di tengah laut lepas oleh Alexander The Grat, Sang Penakluk Duni. Dengan suara lantang dan berwibawa, Alexander berkata dengan setengah menghardik, “Berani-beraninya kamu menjarah kehidupan di laut ?”. Dengan kalemnya si pembajak menjawab, “ Bagaimana dengan Tuan yang telah berani-beraninya menjarah dunia?”. Sang penakluk terkesiap mendengar jawaban yang tiada terduga seperti itu, padahal biasanya, orang sudah gemetar untuk sekedar mendengar namanya saja. Dengan agak menggerutu, Bajak Laut melanjutkan pembicaraannya, “Hanya dikarenakan saya menjarah dengan sebuah kapal kecil, saya dikatakan sebagai perompak. Tetapi anda, yang melakukannya dengan angkatan laut yang besar, justru disebut Kaisar” (Noam Chomsky: 1987). Polisi, apabila menderita kesalahan dalam menggunakan power yang dimilikinya, dengan mudah dapat berlindung dibalik selimut: menjalankan hukum. Dalam banyak kejadian, hukum tetap diatasnamakan kepada perbuatan melanggar hukum. Sehingga seringkali perkataan “demi hukum” dalam kenyataannya (secara sosiologis) tidak mencerminkan makna yang dikandungnya. Perbuatan yang dikatakan sebagai “demi hukum”, bisa jadi sengaja dirancang untuk melawan hukum dan keadilan.

Kendatipun demikian, kalau dahulu Jenderal Urip Sumohardjo pernah mengatakan, bahwa aneh suatu negara zonder tentara, maka menurut penulis lebih aneh lagi jika negara zonder polisi. Oleh karena jasa dan karya polisi sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka profesi polisi adalah merupakan profesi mulia (mobile officum) sebagaimana profesi-profesi terhormat lainnya. Tetapi profesi semulia apapun, apabila sering dikotori oleh pelakunya sendiri, lama kelamaan akan menurunkan derajat kemuliaan profesi yang bersangkutan. 

Crimes and illegal activities yang merupakan gejala umum yang hidup disetiap tubuh organisasi kepolisian adalah police corruption. Ditubuh beberapa kesatuan dan kepolisian, bahkan korupsi telah menjadi endemic, dilakukan oleh polisi yang paling bawah hingga yang paling atas (Fattah, 1997). Mencermati gejala umum police corruption yang bersarang ditubuh kepolisian, Sherman (1974) sampai pada kesimpulan, bahwa korupsi adalah merupakan “a given feature of every police system in the world”. Menurut hemat penulis, pendapat ini terlalu radikal, meskipun barang kali benar. Mengatakan bahwa korupsi itu merupakan suatu yang given, bagi kepolisian, jelas dibutuhkan keberanian, sebab pendapat semacam ini lebih mudah memancing emosi daripada akal sehat, sehingga gampang ditafsirkan sebagai “sengaja” memojokkan polisi. Punch (1985) mengelompokkan police corruption dalam 4 (empat) jenis, yaitu:

1. Straightforward corruption
Bahwa sesuatu dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tergantung pada yang hendak diterima atau diperoleh. 

2. Combative (strategic) corruption
Korupsi ini memanfaatkan wacana-wacana hukum, sehingga tersamar, dan kadang-kadang secara organisatoris maupun secara sosial dapat diterima sebagai sesuatu hal yang boleh terjadi, misalnya: mempergunakan kekerasan dalam memeriksa penjahat yang sudah sangat dibenci oleh masyarakat. 


3. Predatory (strategic) corruption
Dalam korupsi jenis ini, polisi melakukan tindakan yang bersifat menstimulir dilakukannya kejahatan atau melakukan pemberian, kemudian menangkap pelakunya untuk diperas guna mendapatkan sesuatu daripadanya. Atau mengorganisir secara diam-diam suatu perbuatan lainnya, seperti penyuapan dan sebagainya untuk maksud dan tujuan yang sama.

4. Corruption as preversion af justice
Untuk mencapai tujuan dari pelaksanaan tugas yang diembannya, polisi melakukan tindakan-tindakan, seperti: berbohong di bawah sumpah, mengancam saksi, memasang alat bukti pada tersangka dan sebagainya.


Dari hasil investigasi Komisi Knapp itu, secara samar-samar terlihat bahwa semakin tinggi pangkat dan jabtan polisi, semakin tinggi pula kekuasaan diskresi-fungsional yang dimilikinya. Berdasarkan paradigma kekuasaan ini, maka apabila perwira pemegang jabatan melakukan tindak pidana untuk menguntungan diri sendiri, maka tindakan itu mempunyai kaitan erat dengan jabatan yang dipegangnya (occupational crime). Kejahatan ini pada umumnya sulit terdeteksi, karena biasanya dilakukan dengan halus, penuh perhitungan dan diselimuti oleh jabatan. Meminjam pembedaan kejahatan dilihat dari status sosial pelaku yang sudah klasik, white collar crime dan blue collar crime, maka kejahatan korupsi yang dilakukn oleh perwira cenderung menyerupai white collar crime, sedangkan yang berpangkat di bawahnya, cenderung melakukan kejahatan yang bersifat blue collar crime atau street crime. Perampokan yang terjadi pada tanggal 3 Februari di perumahan Permata Hijau, yang melibatkan 4 orang Sersan Dua dari kesatuan Brigade Mobil, dan perampokan di kawasan Bumi Serpong Damai oleh Sertu (pol) AS bersama kedua rekan sesama anggota polisi (Kompas 5/2/2000) adalah merupakan bukti bahwa polisi yang belum berpangkat Perwira dan belum menduduki jabatan tertentu, apabila melakukan tindak kejahatan untuk menguntungkan diri sendiri cenderung yang bersifat street crime. 


Dalam konteks perilaku sosial, penyebab kejahatan (cause of crime) masih tetap membingungkan dan tidak mudah untuk diterangkan, dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang terkait di dalamnya (Sykes dan Drabek, 1969). Apa yang mendorong seseorang untuk sampai pada keputusan akhir untuk berani mengambil sikap melakukan kejahatan, sesungguhnya sulit untuk dapat dimengerti dengan segera. Lebih-lebih jika pelakunya adalah polisi yang benar-benar telah menyadari bahwa tugas utamanya adalah melindungi masyarakat dari gangguan orang jahat, memelihara ketertiban umum (mintining public order) dan membimbing masyarakat agar taat hukum.

Polisi yang berperilaku buruk (police misconduct) pada dasarnya tidak lagi layak untuk melakukan bimbingan masyarakat (Bimas). Karena Bimas itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menggugah perhatian (attention) dan menanamkan pengertian (understanding) pada masyarakat untuk bersedia berperan serta (participation) dalam menciptakan Kamtibnas dan taat pada hukum. Ringkasnya, Bimas itu adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum (rechtsbewuztzijn) masyarakat, sehingga masyarakat menjadi warga negara yang taat hukum (law abiding citizen). Bimas tidak dapat dilaksanakan tanpa teladan. Kesadaran hukum masyarakat sulit tumbuh, manakala perasaan hukum, (rechtsgovoel) masyarakat kerap kali dilukai oleh tindakan-tindakan buruk petugas hukum.


Kekuasan diskresi-fungsional itu, juga dapat mendatangkan sikap yang menjamin istilah sebagai “Cenderung menunjukkan perilaku arogansi, sok kuasa, mempersulit bahkan berbelit-belit”. Sikap semacam ini dan segala bentuk illegal activities lainnya sulit dihilangkan, manakala polisi dalam menggunakan kekuasaannya tersebut tidak memiliki integritas moral yang tangguh.

Jika kemauan hendak mengubah perilaku dan kinerja Polri sudah sedemikian kuatnya di dalam jajaran tubuh Polri sendiri, maka langkah pertama dan utama untuk segera dilakukan adalah menata kembali moralitas dengan memberikan contoh keteladanan. Komandan yang menjalani hidup dengan gaya penuh gedonis life (memuja harta dunia), tidak bisa mengharapkan kepada anak buahnya untuk hidup mencukupkan apa yang ada. Moral komandan gampang menular kepada bawahan. Dalam organisasi yang bersifat linear seperti Polri, patut sangat dipercaya, bahwa apabila komandan berperilaku yang lurus, maka bawahan pun akan berperilaku sama. Sun tzu, ahli perang Cina Kuno, pada 2300 tahun yang lalu telah mengatakan, “Alasan moral memudahkan rakyat dan pemerintah untuk memiliki keyakinan bersama. Rakyatpun mau bekerja sama dengan pemerintah di dalam suka dan duka, bahkan mengorbankan nyawa sekalipun” (Tsai Chih Chung, 1991).

P E N U T U P

Jika hendak mengubah perilaku dan kinerja Polri, maka langkah pertama dan utama yang perlu segera dilakukan adalah menata kembali moralitas, yaitu dengan memberi contoh keteladanan. Komandan yang menjalani hidup dengan penuh gaya penuh hedonis-life (memuja harta dunia), tidak bisa mengharapkan kepada anak buahnya untuk mencukupkan apa yang ada. Dalam organisasi yang bersifat linear seperti Polri, moral Komandan gampang menular kepada bawahan. Patut dipercaya, bahwa apabila komandan berperilaku yang lurus, maka bawahanpun akan berperilaku sama. Korupsi di tubuh Kepolisian mungkin sulit untuk dihilangkan sama sekali, namun paling tidak harus ditekan sekecil mungkin. Selain itu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polisi, maka perlu ditingkatkan profesionalisme Polisi agar terwujud Polri yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN.


DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Ilham, 1993, Postur Korupsi Di Indonesia Tinjauan Yuridis, Sosiologis, Budaya dan Teoritis, Angkasa, Bandung.

Hamzah, Andi, 1991, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Lopa, Baharuddin, 1997, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, PT Kipas Putih Aksara, Jakarta.

--------------, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta.

Marpaung, Leden, 1992, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya Bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

--------------, 2001, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta.

---------------, 1990, Peranan Pengawasan Dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Persada Indonesia.

Prinst, Darwan, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Purnomo, Bambang, 1983, Potensi Kejahatan Korupsi Di Indonesia, Bina Aksara.

Rahardjo, Satjipto, 1976, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung.

---------------, 1997, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung.
---------------, tt., Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologi), Sinar Baru, Bandung.
--------------, 1999, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, Majalah Hukum Nasional, Nomor 1, BPHN, Jakarta.
Saleh, K. Wantjik, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Santoso, Topo, 1999, Krisis dan Kriminalitas Pasca Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.