Sabtu, 27 Juli 2013
Upaya Penanggulangan Distribusi BBM Illegal
Sabtu, Juli 27, 2013
ditreskrimsus
1. UPAYA
YANG DILAKUKAN
a. Pre-emtif (Pembinaan)
1) melakukan
pemetaan tempat-tempat yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan distribusi BBM
;
2) memberikan
sosialisasi (edukasi) kepada seluruh anggota Polri maupun kepada masyarakat khususnya
pelaku usaha di bidang Minyak dan Gas
Bumi agar tidak melakukan penyalahgunaan distribusi BBM .
3) memasang
spaduk ditempat rawan terjadinya penyimpangan dan penyalagunaan distribusi BBM
yang berisi tentang himbauan kepada kepada seluruh masyarakat agar dapat
berpartisipasi aktif dalam rangka upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan
distribusi BBM.
4) membuat
layanan pengaduan masyarakat tentang dugaan penyalagunaan distribusi BBM dengan
nomor Handphone 081257047222
b. Preventif (Pencegahan)
1) melakukan
penjagaan di tempat penyimpanan dan/ atau distrubusi BBM ;
2) melakukan
patroli di tempat-tempat yang berpotensi terjadinya penyimpangan
distrubusi BBM;
b. Represif (Penindakan)
1) memberikan
petunjuk/ arahan serta perintah kepada seluruh anggota khususnya penyidik
jajaran polda Kalsel untuk meningkatkan kegiatan rutin dengan cara melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap adanya dugaan terjadinya tindak pidana
penyalah gunaan distribusi BBM ;
2) melakukan
penindakan secara tegas terhadap setiap pelaku usaha dan/atau badan hukum yang nyata-nyata melakukan, turut
serta maupun membantu melakukan tindak pidana penyalahgunaan distribusi BBM ;
3) melakukan
penyitaan terhadap seluruh barang yang terkait dengan terjadinya tindak pidana
penyalahgunaan distribusi BBM;
4) mengembangkan
perkara/ tindak pidana yang ditangani mulai
dari pengecer, penimbun maupun penampung serta orang yang memberikan modal
sehingga terjadi penyalahgunaan
distribusi BBM
5) menelusuri
harta kekayaan milik pelaku yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana
penyalagunaan distribusi BBM, dan jika memungkinkan diterapkan pasal berlapis
yaitu disamping dengan undang-undang no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi juga mengunakan undang-undang No. 8
tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberatasan tindak pidana pencucian uang ;
6) melakukan
koordinasi lintas sektoral dengan instansi/ dinas terkait khususnya kepada BP
Migas berkaitan dengan pemeriksaan ahli
7) melakukan
proses penyidikan tuntas dengan cara profesional, proporsional dan akuntabel
serta melimpahkan perkara (tersangka dan
barang bukti) yang ditangani kepada jaksa penuntut umum untuk dapat dilakukan
penuntutan dan diajukan kepersidangan guna mendapatkan kepastian hukum dan
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
2. HASIL
PENINDAKAN
a. Pada tahun 2011 Polda Kalsel dan jajaran
telah melakukan pengungkapan perkara/ tindak pidana BBM illegal sebanyak
68 kasus dan barang bukti
yang berhasil disita diantaranya adalah :
1) 69.599
liter solar ;
2) 4085
liter minyak tanah ;
3) 1.418
liter premium ;
4) 25
unit kendaraan roda empat ;
5) 7 unit tangki ;
6) 1
unit kendaraan roda dua ;
7) 2
buah kapal kelotok ;
8) 3
buah kapal motor ;
9) 1
buah perahu.
Kerugian negara yang berhasil
diselamattkan sebesar Rp.
1.118.138.600 (satu milyard seratus delapan belas juta seratus tiga puluh
delapan ribu enam ratus rupiah)
b. Pada tahun 2012 Polda Kalsel dan jajaran
telah melakukan pengungkapan perkara/ tindak pidana BBM illegal sebanyak 159
kasus dan barang bukti yang berhasil disita diantaranya adalah :
1) 319.301
Liter solar ;
2) 19,5
Ton premium ;
3) 9.043
liter minyak tanah ;
4) 49
unit kendaraan roda empat ;
5) 21
unit tangki, 11 unit truck ;
6) 6
buah taqbout ;
7) 139
drum, 884 jerigen.
Kerugian negara yang berhasil diselamatkan
sebesar Rp. 3.607.630.300 (tiga
milyard enam ratus tujuh juta enam ratus tiga puluh ribu tiga ratus rupiah)
c. Pada periode bulan januari sampai dengan pertengahan
Mei 2013 Polda Kalsel dan jajaran telah
melakukan pengungkapan perkara/ tindak pidana BBM illegal sebanyak
101 kasus dan barang bukti yang berhasil
disita diantaranya adalah :
1) 220.657
Liter solar ;
2) 7.050
Liter Premium
3) 21.240
liter minyak tanah ;
4) 20
unit kendaraan roda empat ;
5) 16
unit tangki ;
6) 17
unit truck ;
7) 14
buah tandon ;
8) 135
drum ;
9) 1.098
jerigen ;
10) 6
buah kapal ;
11) 2
buah kelotok/ kapal kayu.
Kerugian negara yang berhasil diselamatkan
sebesar Rp. 2.693.004.850 (dua
milyard enam ratus sembilan puluh tiga
juta empat ribu delapan ratus lima puluh rupiah)
------------------------------------------
(Data Terlampir)
3. KETENTUAN
PIDANA
Ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana di bidang Minyak
dan Gas Bumi (MIGAS) diatur dalam pasal 51 s/d 58 UU No. 21 tahun 2002, namum
sampai saat ini yang terjadi diwilayah kalsel sebagian besar yang terjadi di
wilayah kalsel adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 53 s/d 55, sebagai
berikut :
a. Pasal 53 UU
No 21 Tahun 2001
Setiap orang yang melakukan :
1)
Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
2)
Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar
rupiah);
3)
Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar
rupiah);
4)
Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
b. Pasal 54 UU
No. 22 Tahun 2001 :
Setiap orang yang meniru atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil
olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar
rupiah).
c. Pasal 55 UU
No. 22 Tahun 2001
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar
Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp.60.000.000.000,00
(enam puluh miliar rupiah).
4. PENUTUP
Demikian upaya yang telah dilakukan oleh Polda Kalsel dan
jajaran dalam rangka menanggulangi penyalahgunaan distribusi BBM yang terjadi di wilayah Kalsel.
Urgensi Pemecahan Perkara (Spitsing) dalam Pembuktian Pidana
Sabtu, Juli 27, 2013
ditreskrimsus
Hukum Acara Pidana di
Indonesia
Upaya penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling
tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang mengatakan bahwa
hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control. Sampai saat ini
pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana
politik kriminal.12 Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada
hampir setiap produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif
negara ini, meskipun produk perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam
perundang-undangan yang tidak mengatur secara spesifik tentang suatu tindak
pidana.
Dengan demikian, hukum
pidana hampir selalu digunakan untuk “menakut-nakuti” atau mengamankan berbagai
kebijakan yang timbul di berbagai bidang terutama dalam menanggulangi
kejahatan. Fenomena tersebut memberi kesan seolah-olah suatu peraturan akan
kurang sempurna atau “hambar” apabila tidak disertai dengan ketentuan pidana.
Dalam ruang lingkup hukum
pidana yang luas, baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum acara
pidana (hukum pidana formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi
untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum
pidana formal atau hukum acara pidana.
Pompe merumuskan hukum
pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menunjukkan
perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan di mana pidana itu
seharusnya menjelma. Sedangkan hukum acara pidana tersebut mengatur tentang
bagaimana negara melalui alat-alat (lembaga-lembaga) melaksanakan haknya untuk
memidana dan menjatuhkan pidana.14
Wirjono Projodikoro
mengemukakan bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum
pidana, sehingga merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum
pidana.
Di Indonesia, ketentuan
acara pidana diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang kita kenal dengan KUHAP disahkan pada tanggal 31 Desember 1981
dalam Lembaran Negara 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209. Sebagai induk hukum acara
pidana di Indonesia, KUHAP berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif
(materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.16
Artinya proses penanganan perkara tindak pidana yang diatur dalam
perundang-undangan pidana di Indonesia, mulai dari penyidikan, penuntutan
sampai dengan eksekusi, haruslah mengacu kepada KUHAP, sepanjang di dalam
perundangan tersebut tidak mengatur tentang acara pidana. Apabila dalam suatu
perundang-undangan pidana sebagai suatu hukum pidana materiil di dalamnya juga
mengatur tentang hukum acara pidana yang menyimpang dari KUHAP, maka hukum
acara pidana di dalam undang undang itulah yang digunakan. Hal tersebut sesuai
dengan asas Lex specialis derogat legi generali atau ketentuan yang khusus
mengalahkan ketentuan yang umum.
Dengan terciptanya KUHAP,
maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang
lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai pada kasasi
di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi Peninjauan Kembali
Pada prinsipnya, terdapat 10 asas yang menjadi
acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah dalam KUHAP, yaitu :
Asas equality before the
law, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum.
Asas legalitas dalam upaya
paksa, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan
undang-undang;
Asas presumption of
innocence, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Asas remedy and
rehabilitation, yaitu terhadap seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diberikan, wajib diberi ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak
hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum
tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
Asas fair, impartial,
impersonal, and objective, yaitu peradilan harus dilakukan dengan cepat,
sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus
diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
Asas legal assistance, yaitu
setiap orang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan
hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas
dirinya.
Miranda Rule, yaitu kepada seorang tersangka
sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan
dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya
termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasehat hukumnya.
Asas presentasi, yaitu
pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
Asas keterbukaan, sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur
dalam undang-undang.
Asas pengawasan, yaitu
pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh
ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Kesepuluh asas tersebut dalam praktiknya tidak
terlepas dari desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana yang
terdapat dalam KUHAP.
Sistem Peradilan Pidana yang
digariskan oleh KUHAP tersebut merupakan ”sistem terpadu” (integrated criminal
justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip
”diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum kepada masing-masing
penegak hukum.20
Prinsip diferensiasi
fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat
penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu asas ”penjernihan”
(clarification) dan ”modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang antara
setiap instansi penegak hukum. Penjernihan pengelompokan tersebut, diatur
sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam
proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu
instansi dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi
dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi. Mulai dari taraf dan permulaan
penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh
Kejaksaan, selalu terjalin atas hubungan fungsi yang berkelanjutan yang akan
menciptakan suatu mekanisme saling cek di antara sesama penegak hukum dalam
suatu rangkaian integrated criminal justice system. Penjernihan diferensiasi
fungsi dan wewenang tersebut pada akhirnya menciptakan pemisahan wewenang yang
tegas dalam proses peradilan pidana, yaitu :
Kepolisian dalam hal penyidikan
;
Kejaksaan dalam hal
penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan ;
Pengadilan dalam hal
pemeriksaan dan putusan pidana ;
Lembaga Pemasyarakatan dalam
hal pembinaan dan pemasyarakatan terpidana.
Proses Peradilan Pidana di
Indonesia
Dalam melakukan suatu
penanganan perkara pidana, terdapat sebuah rangkaian peradilan pidana yang
terbagi atas beberapa tahap. Dalam KUHAP, tahap-tahap penanganan perkara
tersebut terdiri dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di
Persidangan, Putusan Hakim (Vonis), Upaya Hukum dan diakhiri dengan pelaksanaan
putusan.
Sesuai dengan Pasal 1 butir
5 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah ”serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.” Dengan demikian, penyelidikan adalah
tindakan yang mendahului penyidikan, dan merupakan tahap pertama dalam hukum
acara pidana yang bertujuan mencari kebenaran.
Sedangkan dalam Pasal 1
butir 2 KUHAP diterangkan bahwa Penyidikan adalah “serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Secara etimologis istilah
“penyidikan” merupakan persamaan kata opsporing dalam Bahasa Belanda atau
investigation dalam bahasa Inggris.
Penyidikan berasal dari kata
“sidik’ dan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti penyelidikan untuk
mengetahui dan membedakan orang. Sedangkan menyidik berarti memeriksa,
menyelidiki, mengamati
Istilah penyidikan pertama
kali digunakan sebagai istilah hukum sejak tahun 1961 seiring dengan terbitnya
Undang Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kepolisian
Negara. Namun dalam undang-undang tersebut tidak diatur pengertian tentang
istilah ”penyidikan” dan hanya diatur tentang wewenang POLRI dalam tahap
penyidikan.23 Adapun yang dapat disebut sebagai ”Penyidik” diatur dalam Pasal 1
angka 1 KUHAP yang berbunyi :
”Penyidik adalah pejabat
polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Dengan demikian, secara umum
yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana adalah
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), namun untuk tindak pidana tertentu ada
juga lembaga lain yang diberi kewenangan oleh undang-undang tertentu untuk
melakukan penyidikan. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 6 KUHAP yang
menyebutkan dua macam pejabat yang diserahi wewenang penyidikan yaitu :
Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia dan
Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Selanjutnya pengertian tentang ”Penuntutan”
diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP yaitu
”Tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.”
Dalam hal melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan, maka berdasarkan Ketentuan Umum KUHAP
Pasal 1 angka 6 dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 1 angka 6
Jaksa adalah pejabat yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Penuntut Umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
Oleh karena itu, selain
menjalankan penuntutan, Kejaksaan juga mempunyai wewenang
Melaksanakan putusan
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
melaksanakan penetapan hakim.
Kemudian dalam Pasal 1 angka
9 KUHAP ditentukan bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalahSrangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan
asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang undang ini.
Adapun putusan Hakim dalam
suatu perkara pidana dapat berupa hal-hal sebagai berikut :
Pemidanaan, apabila
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Bebas atau vrijspraak,
apabila pengadilan berpendapat bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
Lepas dari Segala Tuntutan
Hukum atau onslag van alle rechtsvervolging, apabila pengadilan berpendapat
bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
Selanjutnya, apabila
Penuntut Umum ataupun terdakwa merasa tidak sependapat dengan putusan Hakim,
maka dapat dilakukan upaya hukum yang yang terdiri dari :
Upaya hukum biasa yaitu
Banding dan Kasasi ;
Upaya hukum Luar Biasa yaitu
Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali;
Upaya hukum konstitusional
yaitu amnesty, abolisi, grasi dan rehabilitasi.
Kemudian setelah suatu
perkara pidana telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisjde),
dilakukan pelaksanaan putusan pidana atau eksekusi yang merupakan Tanggung
Jawab Jaksa (Pasal 270 jo Pasal 1 butir 6a KUHAP) dan bertindak berdasarkan
hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan dan kesusilaan serta wajib
menggali nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Pemecahan Perkara
(Splitsing) dan Keberadaan Saksi Mahkota
Sebagaimana dijelaskan
diatas bahwa dalam Pasal 184 KUHAP terdapat lima alat bukti yang sah untuk
dijadikan dasar terhadap pembuktian adanya suatu tindak pidana. Berkaitan
dengan hal tersebut, alat bukti yang paling paling mudah dan paling sering
dipergunakan adalah Keterangan Saksi. Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian
perkara pidana membutuhkan alat bukti berupa keterangan saksi dan pada umumnya
alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari
pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana,
selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan
Saksi. Sekurang-kurangnya
disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.25 Akan tetapi tidak semua
keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja
keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri.
Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain
(testimonium de auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula
opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan.
Keterangan saksi demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di
persidangan.
Kemudian sesuai dengan Pasal
185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap
sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal
tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan
saksi).Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang saksi
saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang
lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Permasalahan yang muncul di
dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara
langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga
yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri.
Dalam hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan
perkara supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai kekuatan
pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas, sehingga
pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.
Dalam Pasal 142 KUHAP
dikatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum
menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan
oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, Penuntut
Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara
terpisah.”
Dengan demikian, Pasal 142
KUHAP memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan
berkas perkara” dari satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara.
Pemecahan berkas perkara inilah yang disebut dengan splitsing, yaitu memecah
satu berkas perkara menjadi dua atau lebih atau a split trial.
Pada dasarnya, pemecahan
berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana yang terdiri dari
beberapa orang. Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, Penuntut Umum
dapat menempuh cara untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas
perkara sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :
Berkas yang semula diterima
Penuntut Umum dari Penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara;
Pemecahan dilakukan apabila
yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut, terdiri dari beberapa orang.
Dengan pemecahan berkas dimaksud, masing-masing terdakwa didakwa dalam satu
surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain;
Pemeriksaan perkara dalam
pemecahan berkas perkara, tidak lagi dilakukan bersamaan dengan suatu
persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda;
Pada umumnya, pemecahan
berkas perkara menjadi penting, apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan
kesaksian.
Dengan pemecahan berkas
perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri, antara seorang terdakwa
dengan terdakwa yang lain, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara
timbal balik. Sedang apabila mereka digabung dalam suatu berkas dan pemeriksaan
persidangan, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat saling dijadikan
menjadi saksi yang timbal balik. Dalam hal inilah, muncul istilah “saksi
mahkota” sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Walaupun dalam KUHAP tidak
ada definisi otentik mengenai ’saksi mahkota’ (kroon getuide) namun dalam
praktiknya keberadaan saksi mahkota tersebut ada dan diakui.
Saksi mahkota adalah teman
terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk
membuktikan dakwaan Penuntut Umum, yang perkara diantaranya dipisahkan karena
kurangnya alat bukti. (Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989)
Dengan kata lain Saksi
mahkota disini adalah saksi yang diperlukan untuk pembuktian dalam sidang di
pengadilan untuk dua perkara atau lebih, yang saling bergantian dalam perkara
yang satu sebagai terdakwa dan dalam perkara yang lain jadi saksi, demikian
secara timbal balik. Penggunaan alat bukti saksi mahkota tersebut hanya dapat
dilakukan dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara
pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) yang didasarkan pada
alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.
Pada awalnya, pengaturan
mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP,
yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa
tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.
Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka rekognisi tentang saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.(Varia
Peradilan Nomor 62, Nopember 1990, hal. 19-44. )
Dalam yurisprudensi nomor
1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung
tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di
persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa
tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan
kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu
definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak
pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut
umum, yang perkara
diantaranya dipisah karena
kurangnya alat bukti.
Berdasarkan hal tersebut,
maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan
pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam
bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut
diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara
pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti,
khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak
terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.
Pemecahan Perkara (splitsing) dalam KUHAP
Sabtu, Juli 27, 2013
ditreskrimsus
Dalam Pasal 184 KUHAP
terdapat lima alat bukti yang sah untuk dijadikan dasar terhadap pembuktian
adanya suatu tindak pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, alat bukti yang
paling paling mudah dan paling sering dipergunakan adalah Keterangan Saksi.
Dalam prakteknya, hampir semua pembuktian perkara pidana membutuhkan alat bukti
berupa keterangan saksi51 dan pada umumnya alat bukti keterangan saksi
merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan,
tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan
saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada
pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan
alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti
keterangan saksi.52
Akan tetapi tidak semua
keterangan saksi memiliki nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Misalnya saja
keterangan saksi di luar apa yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri.
Selain itu, keterangan saksi yang diperoleh dari pendengaran orang lain
(testimonium de auditu) juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Begitu pula
opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saksi yang bersangkutan.
Keterangan saksi demikian tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di
persidangan.
Kemudian sesuai dengan Pasal
185 ayat (2) KUHAP, maka keterangan seorang saksi saja, belum dapat dianggap
sebagai alat bukti yang cukup untuk untuk membutuhkan kesalahan terdakwa. Hal
tersebut dikenal dengan ungkapan Unus Tetis Nullus Tetis (satu saksi bukan
saksi).53 Artinya, jika alat bukti yang tersedia hanya terdiri dari seorang
saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti
yang lain, maka “kesaksian tunggal” tersebut tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Permasalahan yang muncul di
dalam praktek penanganan perkara, adalah terdapat dugaan terjadinya tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa pelaku, namun tidak ada saksi yang secara
langsung melihat dan mendengar saat tindak pidana tersebut dilakukan, sehingga
yang paling mengetahui tentang peristiwa tersebut adalah para pelaku sendiri.
Dalam hal inilah, diperlukan upaya pembuktian dengan jalan melakukan pemecahan
perkara (splitsing) supaya terdapat alat bukti Keterangan Saksi dan mempunyai
kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 ayat (2) diatas,
sehingga pelaku yang satu dapat menjadi saksi terhadap pelaku lain.
Dasar dari dilakukannya
pemecahan perkara tersebut tercantum dalam Pasal 142 KUHAP yang menyatakan :
“Dalam hal Penuntut Umum
menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan
oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141,
Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara
terpisah.”
Dalam pasal 142 KUHAP terdapat pengecualian
yang tercatum dalam pasal 141 berbunyi:
“Penuntut Umum dapat melakukan
pengabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu
yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
Beberapa tindak pidana yang
dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan
halangan terhadap penggabungaannya;
Beberapa tindak pidana yang
bersangkut-paut satu dengan yang lain;
Beberapa tindak pidana yang
tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang
lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi
kepentingan pemeriksaan.
Yang dimaksud dengan “
tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain “ dalam
pasal 141 huruf b adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan :
Oleh lebih dari seorang yang
bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
Oleh lebih dari seorang pada
saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dan pemufakatan
jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
Oleh seorang atau lebih
dengan maksud mendapat alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana lainatau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindakpidana lain.
Pasal 142 KUHAP memberikan
kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melakukan “pemecahan berkas perkara” dari
satu berkas perkara menjadi beberapa berkas perkara. Artinya, kewenangan untuk
melakukan splitsing berada di tangan Penuntut Umum.
Namun KUHAP tidak memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang kapankah splitsing tersebut dilakukan oleh
Penuntut Umum. Dalam Tambahan Lembaran Negara R.I. No. 3209 tentang Penjelasan
Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 7 (KUHAP) Pasal 142
hanya diterangkan “Cukup jelas”.
Apabila diperhatikan redaksi
dari Pasal 142 KUHAP, yaitu “..........Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan
terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.”, maka haruslah dilihat
tentang pengertian “penuntutan”. Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 KUHAP,
pengertian “Penuntutan” adalah “tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.
Dengan demikian, pelaksanaan
splitsing seharusnya memang dilakukan pada saat sebelum Penuntut Umum
melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan
Negeri sebagaimana
diterangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP Penjelasan Pasal 142.
Sehubungan dengan hal
tersebut, apabila melihat kewenangan Penuntut Umum, maka hal tersebut diatur
dalam Pasal 14 KUHAP sebagai berikut :
Menerima dan memeriksa
berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu;
Mengadakan prapenuntutan
apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110
ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
Memberikan perpanjangan
penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status
tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
Membuat surat dakwaan;
Melimpahkan perkara ke
pengadilan;
Menyampaikan pemberitahuan
kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang
disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang
pada sidang yang telah ditentukan;
Melakukan penuntutan;
Menutup perkara demi kepentingan
hukum;
Mengadakan tindakan lain
dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undang-undang;
Melaksanakan penetapan
hakim.
Apabila memperhatikan
kewenangan Penuntut Umum diatas, maka sebelum melimpahkan berkas perkara ke
Pengadilan Negeri, maka tugas Penuntut Umum secara ringkas adalah Menerima dan
memeriksa berkas perkara penyidikan, mengadakan prapenuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan dan membuat surat dakwaan. Mengingat, Penjelasan
Pasal 142 menyatakan bahwa biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas
perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu
perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap tersangka maupun saksi, maka
splitsing dilakukan pada saat Penuntut Umum melakukan kegiatan Prapenuntutan
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, yaitu : “Mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik”. Oleh karena itu, Splitsing dilakukan
pada saat tahap Prapenuntutan, yaitu ketika Penunut Umum memberikan petunjuk
kepada Penyidik untuk memecah berkas perkara.
Hal tersebut disebabkan
pemecahan penuntutan perkara (splitsing) seperti yang dimaksudkan dalam
ketentuan Pasal 142 KUHAP biasanya memang dilakukan dengan membuat berkas
perkara lagi, sehingga perlu dilakukan kembali pemeriksaan terhadap saksi
maupun terhadap terdakwa.54 Dalam hal ini, tugas
untuk menyusun berkas
perkara adalah di pihak Penyidik dan bukan di pihak Penuntut Umum, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 110 ayat (1), yaitu : “Dalam hal penyidik telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
kepada penuntut umum.” Oleh karena itu, Penyidik melakukan splitsing atas
perintah Penuntut Umum, apabila dari hasil penelitian berkas perkara,Penuntut
Umum berpendapat bahwa perkara pidana tersebut perlu dilakukan splitsing.
Hal tersebut juga
disebabkan, salah satu urgensi dari pemecahan berkas perkara menjadi berkas
perkara yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk menempatkan para terdakwa
masing-masing menjadi saksi secara timbal balik diantara sesama mereka. Oleh
karena itu, jelas diperlukan kembali pemeriksaan penyidikan. Dalam hal inilah,
sekalipun pemecahan berkas perkara dilakukan oleh Penuntut Umum, namun
pemeriksaan penyidikan yang diakibatkan pemecahan berkas perkara tetap menjadi
wewenang Penyidik.Oleh karena itu, dalam pemecahan berkas perkara dilakukan
hal-hal sebagai berikut :
Pemeriksaan penyidikan
dilakukan oleh penyidik dengan jalan pihak penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik, dalam arti “penyidikan tambahan”;
Pemeriksaan penyidikan
akibat pemecahan berkas perkara dilakukan oleh penyidik berdasar petunjuk yang
diberikan oleh penuntut umum;
Tata cara pengembalian
berkas, baik yang dilakukan oleh penuntut umum kepada penyidik maupun oleh
penyidik kepada penuntut umum dalam rangka pemecahan berkas perkara, berpedoman
kepada ketentuan tata cara dan batas-batas tenggang waktu yang ditentukan dalam
Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP.
Sistem Pembuktian Berdasarkan KUHAP
Sabtu, Juli 27, 2013
ditreskrimsus
Pengertian “pembuktian”
secara umum adalah ketentuan-ketentuan yang yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
oleh hakim guna membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Mengenai pengertian dari
kata pembuktian dapat dijumpai dalam pendapat para sarjana antara lain :
R.
Soebekti, menyatakan bahwa :
Yang dimaksud dengan
“membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.36
Martiman
Prodjohamidjojo, menyatakan :
“membuktikan” mengandung
maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa sehingga dapat
diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Berdasarkan pendapat
tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu kebenaran
atau dalil yang diajukan ke depan sidang.
Dalil yang dimaksud itu
dapat berupa alat bukti yang sah, dan diajukan ke depan persidangan. Dengan
demikian pembuktian merupakan suatu kebenaran dari alat bukti yang sah, untuk
dinyatakan bersalah atau tidaknya terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan.
Masalah pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan
yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara pidana, karena hak asasi
manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam hal inilah hukum acara pidana
bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yang berbeda dengan hukum acara
perdata yang hanya sebatas pada kebenaran formal. Senada dengan hal tersebut,
Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu :
- Mencari dan menemukan kebenaran;
- Pemberian keputusan oleh hakim;
- Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi tersebut,
yang paling penting adalah fungsi “mencari kebenaran” karena hal tersebut
merupakan tumpuan kedua fungsi berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang
diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada
putusan yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh Jaksa.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana, termasuk KUHAP adalah untuk
mencari kebenaran dengan melakukan pembuktian.
Secara teoritis, dikenal
empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut :39
Conviction in time, adalah
sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich dalam memberikan
putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa.
Conviction in Raisonee,
adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan
putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus
didasarkan pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal ini yang membedakan
dengan sistem pembuktian yang pertama.
Positief wetelijk stelsel
atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem
pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Negatief wetelijk stelsel
atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem
pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti
atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Adapun sistem Pembuktian
yang diatur dalam KUHAP tercantum dalam Pasal 183 yang rumusannya adalah
sebagai berikut : ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”
Dari rumusan Pasal 183
tersebut, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya pada dua alat
bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat
bukti tersebut. Artinya, tersedianya minimum dua alat bukti saja, belum cukup
untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah
yakin terhadap kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua alat
bukti, hakim juga belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dalam hal
inilah penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah memenuhi dua syarat
mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Sistem pembuktian
tersebut terkenal dengan nama sistem negative wettelijk.
Dalam Penjelasan Pasal 183
KUHAP tersebut dinyatakan bahwa Pembentuk Undang Undang telah menentukan
pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan
hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, semi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Karena dalam
sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan penggabungan antara sistem
conviction-in time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan
hakim) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijk stelsel).
Ketentuan dalam Pasal 183
KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
“Tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah
menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Oleh karena itu, konsep keyakinan
hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti
yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada
akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa
tidak terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti
bersalah.
Aktualisasi dari kombinasi
kedua konsep dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut dapat dilihat dalam
rumusan kalimat baku setiap diktum putusan perkara pidana yang menyatakan
“secara sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini berarti bahwa hakim dalam
memberikan putusan tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah sebagaimana
diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kata
“meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat bukti yang sah tersebut maka
terbentuk keyakinan hakim.
Rumusan sistem pembuktian
tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk
mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Dengan tercapainya kebenaran
materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk
mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam
masyarakat.Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu :
1.
keterangan saksi;
2.
keterangan ahli;
3.
surat;
4.
petunjuk;
5.
keterangan terdakwa.
Dengan demikian, untuk dapat
menjatuhkan pemidanaan kepada seseorang haruslah terdapat minimal dua alat
bukti dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang mengatur
secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal tersebut
diatas, juga mengisyaratkan bahwa KUHAP juga menganut prinsip Batas Minimum
Pembuktian yang mengatur batas tentang keharusan yang dipenuhi dalam
membuktikan kesalahan terdakwa.
Selain kelima alat bukti
tersebut, tidak dibenarkan untuk dipergunakan dalam pembuktian kesalahan
terdakwa. Alat bukti yang dibenarkan dan mempunyai kekuatan pembuktian hanyalah
kelima alat bukti tersebut. Pembuktian dengan alat bukti diluar kelima alat bukti
diatas, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Dalam hal ini, baik Hakim, Penuntut Umum, terdakwa maupun Penasehat Hukum,
semuanya terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang