ASAS-ASAS DALAM KUHAP
Para penegak hukum dalam menangani suatu perbuatan pelanggaran hukum pidana
atau peristiwa hukum pidana menganut asas-asas,: antara lain sebagai berikut:
1. Asas Legalitas.
2. Asas Keseimbangan.
3. Asas Praduga tak bersalah.
4. Asas Pembatasan Penahanan.
5. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
6. Penggabungan Pidana dengan Tuntutan Ganti Rugi.
7. Asas Unifikasi.
8. Asas Diferensiasi Fungsional.
9. Asas Saling Koordinasi.
10. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.
11. Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum.
1. Asas Legalitas.
Pelaksanaan penerapan KUHAP seharusnya bersumber pada the rule of law, artinya
semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan pada :
a. Ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
b. Menempatkan kepentingan hukum dan undang–undang diatas segala-galanya.
Bertentangan dengan asas legalitas, KUHAP-pun menganut asas “oportunitas” yaitu
suatu asas yang mengenyampingkan atau “mendeponir” perkara dengan tidak
mengajukan kepengadilan meskipun bukti-bukti telah memenuhi syarat-syarat
hukum.
Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kejaksaan Nomor 15/ 1961, sekarang diatur dalam
pasal 32 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI. No. 5 tahun 1991 memberi wewenang
kepada Kejaksaan Agung untuk mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara
berdasarkan alasan “Demi Kepentingan Umum” selain itu kewenangan untuk
mendeponir dipertegas lagi oleh Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP dan KUHAP
mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas tersebut.
Disisi lain berdasarkan pasal 140 ayat (2) huruf a KU-HAP, dihubungkan dengan
pasal 14, menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya dimuka pengadilan, kecuali terdapat
cukup bukti bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau perkara ditutup demi hukum.
Sedangkan pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk
menutup suatu perkara berdasarkan “demi kepentingan hukum” dan bukan “demi
kepentingan umum”.
Kedua ketentuan hukum tersebut diatas merupakan ketentuan yang saling
bertentangan, disatu pihak Kejaksaan Agung diberi wewenang untuk
mengenyampingkan/mendeponir suatu perkara demi kepentingan Umum suatu asas
“oportunitas”, sedangkan dipihak lain penuntut umum diberi wewenang untuk
mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara “demi kepentingan hukum” (asas
legalitas).
2. Asas Keseimbangan.
Asas Keseimbangan dijumpai dalam kosideran huruf c
yang menyatakan dengan tegas bahwa dalam setiap penegakan hukum harus
berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara dua kepentingan, yakni :
a. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (HAM), dengan;
b. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.
Sebelum KUHAP berlaku, aparat penegak hukum berorientasi pada kekuasaan semata
yakni sebagai “alat kekuasaan” atau “instrument of power”. Penegak hukum
mempunyai wewenang yang tidak terbatas dan sama sekali tidak mengindahkan
harkat dan martabat manusia (HAM).
Penahanan yang tidak ada batasnya dan dapat melampaui masa hukuman yang
sedianya dijatuhkan, penyiksaan untuk memaksakan pengakuan tersangka maupun
saksi merupakan pemandangan yang sudah sangat biasa pada waktu itu.
Perlindungan harkat dan martabat tersangka sebagai manusia sangat terabaikan
syarat dengan tekanan-tekanan pisik maupun mental.
Setelah kehadiran KUHAP, maka harkat dan martabat tersangka sebagai manusia
mulai memperoleh perhatian dan perlindungan, aparat penegak hukum tidak dapat
sewenang-wenang melakukan penangkapan dan penahanan atas seseorang yang diduga
melakukan perbuatan/tindak pidana.
Pasal 17 KUHAP memaksa penyidik jika akan melakukan penangkapan orang yang
diduga telah melakukan perbuatan/tindak pidana, maka terlebih dahulu harus ada
“bukti permulaan yang cukup” bukan berdasarkan suka atau tidak suka “like or dislike”.
Penjelasan pasal tersebut menegaskan, bahwa perintah
penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi ditujukan
kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana.
Penegasan ini merupakan peringatan bagi penyidik, sebelum mengeluarkan perintah
atau melakukan penangkapan harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti-bukti yang
benar-benar dapat mendukung kesalahan perbuatan yang dilakukan oleh calon
tersangka melalui penyelidikan.
Demikian dengan tersangka/terdakwa juga diberi hak dan sekaligus merupakan
kewajiban penyidik setelah melakukan penangkapan, apabila pejabat penegak hukum
melakukan penahanan kepada tersangka/terdakwa, sejak semula orang yang ditahan
dan keluarganya :
a. wajib diberitahu alasan penahanan dan sangkaan atau dakwaan yang
dipersalahkan kepadanya;
b. keluarga yang ditahan harus segera diberitahukan tentang penahanan serta
tempat dimana ia ditahan;
c. tersangka/terdakwa maupun keluarganya diberitahu dengan pasti berapa lama ia
ditahan di masing–masing tingkat pemeriksaan.
Dengan berlakunya KUHAP sudah seharusnya system penyelidikan dan penyidikan
menggunakan metode ilmiah atau “scientific crime detection” yang juga dapat
diartikan sebagai “teknik dan taktis penyidikan kejahatan”.
Meskipun KUHAP telah melindungi harkat dan martabat manusia (HAM), tetapi di
dalam prakteknya masih saja banyak terdapat penyidik yang masih menggunakan
metode sebelum diberlakukan KUHAP yaitu metode memaksa pengakuan tersangka yang
dituangkan dalam berita acara pemeriksaannya (BAP).
Faktor-faktor yang masih mendorong adanya penganiayaan, pemerasan pada
tersangka dengan mengabaikan per-lindungan pada harkat dan martabat tersangka
sebagai manusia (HAM), karena masih dipakainya pengakuan tersangka sebagai
salah satu alat bukti.
3. Asas Praduga Tak Bersalah.
Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak
bersalah atau “presumtion of inno- cent” terdapat dalam
penjelasan umum butir 3 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dan Pasal 8 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970.
Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sebelum memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang tersangka atau
terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian, karena itu penyidik atau
penuntut umumlah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Asas praduga tak bersalah jika ditinjau dari segi teknik penyidikan dinamakan
“prinsip akusatur” atau “accusatory procedure (accusatorial system)`.
Prinsip ini menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat
pemeriksaan yakni :
*) Tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai subyek pemeriksaan, karena itu harus
didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan sebagai manusia yang mempunyai
harkat dan martabat serta harga diri.
*) Obyek pemeriksaan adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh
tersangka/terdakwa.
Asas praduga tak bersalah, merupakan pedoman aparat penegak hukum untuk
menggunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan dengan membuang
jauh-jauh cara-cara pemeriksaan yang “inkusitur” atau
“inquisitorrial system” yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam
setiap pemeriksaan sebagai obyek, sehingga dapat diperlakukan dengan
semena-mena dengan mengabaikan harkat dan martabat tersangka/terdakwa sebagai
manusia.
4. Asas Pembatasan Penahanan.
Dalam hal penahanan terdapat perbedaan antara KU-HAP dengan HIR.
Dalam HIR banyak penahanan menimbulkan kejadian-kejadian yang sangat
mengerikan, karena :
a. HIR tidak memberi batasan maksimum masa penahanan tersangka/terdakwa pada
setiap pemeriksaan oleh aparat penegak hukum.
b. Setiap habis perpanjangan masa penahanan dapat dimintakan lagi perpanjangan
penahanan terus menerus tanpa berkesudahan, sehingga masa penahanannya tidak
menentu kapan berakhirnya.
c. Ketertiban administrasi perpanjangan penahanan tidak diberkas dengan baik
dan teliti, sehingga banyak menimbulkan ketidak pastian status penahanan oleh
siapa.
Dalam KUHAP, setiap tindakan penahanan terperinci batas waktu dan statusnya
dengan seksama, sehingga dapat diketahui siapa yang melakukan penangkapan
maupun penahanan terhadap tersangka/terdakwa.
5. Asas ganti rugi dan rehabilitasi .
Setelah dikeluarkannya peraturan pelaksanaan Pasal 9 Undang-undang Pokok
Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, seperti yang diatur dalam Bab XII KUHAP, Pasal
95-97 sudah ada pedoman tata cara penuntutan ganti rugi dan rehabili-tasi, maka
penuntut ganti rugi dan rehabilitasi sudah tidak ada kendala seperti belum
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan UU Nomor 14/1970. dan alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi, sebagai berikut :
5. 1. Ganti rugi akibat penangkapan/penahanan.
Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat
diajukan apabila terjadi :
a. penangkapan atau penahanan secara melawan hukum.
b. penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang - undang.
c. penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum.
d. penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person).
5. 2. Ganti rugi akibat penggeledahan/penyitaan.
- tindakan memasuki rumah tidak sah menurut hukum karena tidak ada surat perintah
dan surat ijin dari ketua pengadilan.
Dengan Praperadilan apabila perkaranya belum diajukan atau tidak dimajukan
kepengadilan, dan ke pengadilan jika perkaranya telah disidangkan.
Berdasarkan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agustus 1983
pada Bab IV PP No. 27/1983 ditegaskan, ganti rugi dibebankan kepada Negara c.q.
Departemen Keuangan dan untuk itu Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember
1983 telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 983/LMK. O1/1983.
6. Penggabungan perkara :
Dalam KUHAP diatur dua perkara yang digabungkan menjadi satu, yakni :
1. Perkara pidana dengan perkara perdata, dan
2. Perkara pidana sipil dengan pidana militer (koneksitas).
6. 1. Penggabungan perkara pidana dengan perdata.
Korban tindak pidana dapat menggugat ganti rugi seperti gugatan ganti rugi
dalam perkara perdata, bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pidana yang
sedang berlangsung, sebelum memasuki taraf penuntut umum memajukan tuntutan (rekuisitur).
Gugatan ganti rugi perdata yang digabung dengan per-kara pidana, maka yang
perlu diperhatikan, ialah :
a. tuntutan ganti rugi terbatas pada “kerugian yang dialami korban” sebagai
akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa/tergugat.
b. tuntutan ganti rugi terbatas sebesar yang diderita oleh sikorban/penggugat.
c. tuntutan ganti rugi terbatas pada pelaku tindak pidana/tergugat.
6.2. Penggabungan Perkara pidana sipil dengan pidana militer (Koneksitas).
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer (Koneksitas), diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
7. Asas unifikasi.
Asas unifikasi hukum yang dianut KUHAP ditegaskan dalam konsideran huruf b
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV (MPR/1978)
: bahwa demi pembangunan dibidang hukum perlu mengadakan usaha peningkatan dan
penyempurnaan hukum nasional dengan mengadakan :
a. pembaharuan kodifikasi, serta
b. unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata wawasan nusantara.
Unifikasi hukum acara pidana, merupakan suatu usaha untuk mengikis
pengkotak-kotakan kelompok masyarakat warisan politik kolonial Belanda yang
mengelompokkan hu-kum berdasarkan daerah, golongan, keturunan, dan membe-dakan
acara pidana yang berlaku untuk Jawa-Madura dengan daerah Indonesia lainnya,
dan diskriminasi hukum acara pidana yang berlaku antara Bumi Putra dengan
keturunan Eropa.
8. Asas Diferensiasi Fungsional.
Deferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas dan wewenang antara
jajaran aparat penegak hukum acara pidana secara instansional.
Pembagian tugas dan wewenang diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina
saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakaan hukum yang saling
berkaitan dan berkesinambungan antara satu instansi dengan instansi lainnya,
sampai ke tingkat proses pelaksanaan eksekusi.
Tujuan utama deferensiasi fungsional secara instansional adalah :
a. untuk menghilangkan “tumpang tindih” (overlapping) proses penyidikan antara
kepolisian dan kejaksaan.
b. untuk menjamin “kepastian hukum”, setiap orang tahu dengan pasti instansi
mana yang menangani perkaranya.
c. Untuk “menyederhanakan” dan “mempercepat” proses penyelesaian perkara, dalam
menunjang peradilan cepat, tepat dan biaya ringan.
d. Untuk memudahkan pengawasan pihak atasan pada bawahan secara struktural.
9. Asas Saling Koordinasi .
Meskipun KUHAP menggariskan pembagian tugas dan wewenang secara instansional,
dalam KUHAP juga dijalin hubungan antar instansi penegak hukum dalam suatu
hubungan kerjasama yang diarahkan untuk terbinanya suatu sistem saling
mengawasi (system ceking) antara sesama mereka.
Hubungan koordinasi fungsional antara aparat penegak hukum, antara lain :
9.1. Hubungan penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu.
a. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri.
(Pasal 7 ayat (2).
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada penyidik
pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang
diperlukan. (Pasal 107 ayat (1).
c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, melaporkan a-danya tindak pidana
yang sedang disidik kepada penyidik polri. (Pasal 107 ayat (2).
d. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu menyerahkan hasil penyidikan yang
telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik polri. (Pasal 107 ayat (3).
e. Dalam hal penyidik pegawai negeri tertentu menghentikan penyidikan, segera
memberitahukan kepada penyidik polri dan penuntut umum. (Pasal 109 ayat (3).
9.2. Hubungan penyidik dengan penuntut umum.
a. Penyidik diwajibkan untuk memberitahu dimulai penyidikan kepada penuntut
umum. (Pasal 109 ayat (1).
b. Penghentian penyidikan oleh penyidik wajib diberitahukan kepada penuntut
umum. (Pasal 109 ayat (2).
Dalam hal penghentian penyidikan, penuntut umum dapat berpendapat lain, dan
jika penghentian penyidikan tersebut dianggap tidak sah, maka penuntut umum
dapat mengajukan tidak sahnya penghentian penyidikan kepengadilan dengan
Praperadilan.
(Pasal 77 huruf a jo. Pasal 78).
c. Penyidik menyerahkan hasil pemeriksaan tersangka ke penuntut umum dalam
rangka pra penuntutan yang akan dilakukan oleh penuntut umum untuk pengajuan
perkaranya ke pengadilan, karena itu penuntut umum dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut :
- mengembalikan berkas hasil pemeriksaan ke penyidik jika hasil pemeriksaan
tersebut dianggap kurang lengkap dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan
penyidik berkewajiban segera melakukan penyidikan tambahan untuk dilengkapi
sesuai dengan petunjuk penuntut umum.
- Jika waktu 14 hari berakhir dan penuntut umum tidak mengembalikan berkasnya
ke penyidik, maka berkas acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik
dianggap telah lengkap untuk diajukan ke pengadilan.
- dengan adanya pemberitahuan hasil penyidikan atau berita acara pemeriksaan
(BAP) nya telah lengkap meskipun belum berakhir batas waktunya atau telah
terlewati batas akhir 14 hari, maka sejak saat itu tanggung jawab penyidik
beralih ke penuntut umum. (Pasal 110).
d. Penyidik dapat memohon kepada penuntut umum untuk memperpanjang masa
penahanan, dan penuntut umum dapat memberi perpanjangan tahanan penyidik atas
tersangka maksimum 40 hari. (Pasal 24 ayat (2).
e. Penyidik diberi turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan oleh
penuntut umum. (Pasal 143).
f. Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum melimpahkan
berkas perkara dengan menghadapkan terdakwa, saksi, dan barang bukti ke
pengadilan. (Pasal 207).
9. 3. Hubungan penyidik dengan hakim/pengadilan.
a. Ketua pengadilan negeri memberi perpanjangan pena- hanan yang dimohon
penyidik dengan surat penetapan berdasarkan ketentuan yang diatur Pasal 29.
b. Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau memberi surat ijin kepada
penyidik untuk melakukan :
- penggeledahan rumah,
- penyitaan, atau
- surat ijin khusus pemeriksaan surat .(Pasal 33, 38, 43, dan 47).
c. Ketua pengadilan negeri memberi atau menolak permohonan penyidik untuk
pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan oleh penyidik
dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.
d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan dalam
pelanggaran lalu lintas telah disampaikan kepada terpidana. (Pasal 214 ayat
(8).
e. Panitera menyampaikan kepada penyidik atas perlawanan dari terdakwa dalam
perkara lalu lintas.
9.4. Hubungan tersangka, terdakwa, penasihat hukum dan aparat hukum.
a. Pada setiap tingkat dan waktu pemeriksaan tersangka/terdakwa berhak mendapat
bantuan penasihat hukum. (Pasal 54).
b. Tembusan surat perintah penangkapan/penahanan, penahanan lanjutan harus
diberikan pada keluarganya. (Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (3).
c. Keberatan atas penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat
diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dan memintakan lewat
praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian yang dilakukan oleh
penyidik. (Pasal 30).
d. Tersangka atau keluarganya dan penasihat hukumnya berhak mengajukan tuntutan
praperadilan tentang sah dan tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan. (Pasal 77 dan Pasal 80).
e. Tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi atas kesalahan penangkapan, penahanan
atau akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan ditujukan pada ketua pengadilan
negeri dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 81).
10. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan, antara lain :
10.1. Asas peradilan cepat :
a. Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik.
b. Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada penuntut umum oleh
penyidik.
c. Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan oleh
penuntut umum.
d. Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
e. Pelimpahan berkas perkara banding oleh pengadilan negeri ke pengadilan
tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding. (Pasal 326).
f. 7 hari setelah perkaranya diputus pada tingkat banding, pengadilan tinggi
harus mengembalikan berkas ke pengadilan negeri. (Pasal 234 ayat (1).
g. 14 hari dari tanggal permohonan kasasi pengadilan negeri harus sudah
mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat
kasasi. (Pasal 248).
h. 7 hari setelah putusan kasasi, Mahkamah Agung harus sudah mengembalikan
hasil putusannya ke pengadilan negeri. (Pasal 257).
10.2. Asas sederhana dan biaya ringan :
a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi secara
perdata oleh korban atas kerugiannya kepada terdakwa.
b. Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi.
c. Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat.
d. Meletakkan asas deferensiaasi fungsional agar perkara yang ditangani oleh
aparat penegak hukum tidak terjadi tumpang tindih (overlapping).
10.3. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan :
Empat putusan dibawah ini tidak dapat dimintakan banding, dan ketentuan ini
sangat menguntungkan terdakwa sekaligus merupakan acara yang sederhana, cepat
dan biaya ringan. (Pasal 67). yakni :
a. Putusan bebas (vrijspraak),
b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging).
c. Kurang tepatnya penerapan hukum, dan
d. Putusan pengadilan dalam acara cepat.
11. Asas peradilan terbuka untuk umum.
- Kecuali pemeriksaan terdakwa yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak,
- pemeriksaan sidang dipengadilan terbuka untuk umum. (Pasal 153 ayat 3)
- Meskipun pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan terbuka untuk umum,
- tetapi yang dapat melihat dan mendengarkan atau menyaksikan sidang harus
berumur 17 tahun keatas. (Pasal 153 ayat (5).
- Apabila hakim pengadilan dalam memeriksa terdakwa melanggar ketentuan terbuka
untuk umum kecuali perkara kesusilaan atau terdakwanya masih anak-anak,
- maka putusan hakim pengadilan tersebut batal demi hukum. (Pasal 153 ayat (4).
- Demikian juga jika pemeriksaan terdakwa dalam perkara susila atau terdakwanya
masih anak-anak dilaku-kan dalam pemeriksaan terbuka untuk umum,
- maka putusan hakim pengadilan negeri tersebut batal demi hukum. (Pasal 153
ayat (4).
- meskipun pemeriksaan dalam perkara susila atau terdakwanya masih anak-anak
dilakukan tertutup untuk umum,
- tetapi dalam putusan hakim pengadilan harus dibacakan secara terbuka untuk
umum.