Rabu, 14 Agustus 2013

UU TPPE

 UU Drt NO. 7 TAHUN 1955  Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perpu No. 1 Tahun 1971   
(Dalam satu Naskah)

BAB. I
TENTANG TINDAK-PIDANA EKONOMI

Pasal 1
            Yang disebut tindak-pidana ekonomi ialah :
1e.       Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan :
a.         "Ordonnantie Gecontroleerde Goederen 1948" ("Staatsblad" 1948 No. 144), sebagaimana diubah dan ditambah dengan "Staatsblad" 1949 No. 160;
b.         "Prijsbeheersing-ordonnantie 1948" ("Staatsblad" 1948 No. 295);
c.         "Undang-undang Penimbunan Barang-barang 1951 " (Lembaran Negara tahun 1953 No.4);
d.        "Rijsterdonnantie 1948" ("Staatsblad" 1948 No. 253);
e.         "Undang-undang Darurat kewajiban penggilingan padi" (Lembaran Negara tahun 1952 No.33);
f.          "Deviezen Ordonnantie 1940" ("Staatsbld" 1940 No. 205).
g.         "Crisis-uitvoerordonnantie 1939" ("Staatsblad" 1939 No. 658), sebagaimana kemudian diubah dan ditambah.
h.         "Rechterordonnantie" ("Staatsblad" 1882 No. 240), sebagaimana kemudian diubah dan ditambah.
i.           "Indische Scheepvaartwet" ("Staatsblad" 1936 No. 700) dan "Scheepvaartverordening 1936 ("Staatsblad" 1936 No. 703), sebagaimana kemudian diubah dan ditambah. ( Huruf g s/d i Vide Psl 1 UU 8 Drt 1958)
j.     Berdrijsreglementerings-Ordonnantie 1934 (Staatsblad 1938 No. 86).
k.    Kapokbelangen-Ordonnantie 1935 (Staatsblad 1935 No. 165).
l.     Ordonnantie aetheirsche Olien 1937 (Staatsblad 1937 No. 601).
m.   Ordonnantie Cassave-producten 1937 (Staatsblad 1937 No. 602).
n.    Krosok-Ordonnantie 1937 (Staatsblad 1937 No. 604). Sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Darurat No. 12 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 147)". (Huruf  J s/d n Vide Psl 1 Perpu 01 Tahun 1960)
2e.       Tindak-tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 26, 32 dan 33 undang-undang darurat ini;
3e.       Pelanggaran sesatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekadar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak-pidana ekonomi.
Pasal 2
(1)        Tindak-pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 1 e adalah kejahatan atau pelanggaran, sekadar tindak itu menurut ketentuan dalam undang-undang yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran. Tindak-pidana ekonomi yang lainnya, yang tersebut dalam pasal 1 sub 1 e adalah kejahatan, apabila tindak itu dilakukan dengan sengaja. Jika tindak itu tidak dilakukan dengan sengaja, maka tindak itu adalah pelanggaran.
(2)        Tindak-pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 2e adalah kejahatan.
(3)        Tindak-pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 3e adalah kejahatan, apabila tindak itu mengandung anasir sengaja; jika tindak itu tidak mengandung anasir sengaja, tindak-pidana itu adalah pelanggaran; satu dengan lainnya, jika dengan undang-undang itu tidak ditentukan lain.
Pasal 3
            Barang-siapa turut melakukan suatu tindak-pidana ekonomi, yang dilakukan di dalam daerah-hukum Republik Indonesia, dapat dihukum pidana; begitu pula jika ia turut-melakukan tindak-pidana ekonomi itu di luar Negeri.
Pasal 4
            Jika dalam undang-undang darurat ini disebut tindak-pidana ekonomi pada umumnya atau suatu tindak-pidana ekonomi pada khususnya, maka di dalamnya termasuk pemberian bantuan pada atau untuk melakukan tindak-pidana itu dan percobaan untuk melakukan tindak-pidana itu, sekadar suatu ketentuan tidak menetapkan sebaliknya.
BAB. II
TENTANG HUKUMAN-PIDANA DAN TINDAKAN TATA-TERTIB
Pasal 5
            Jika dengan undang-undang tidak ditentukan lain, maka tidak boleh diadakan lain ketentuan dalam arti hukum-pidana atau tindakan tata-tertib daripada hukuman-pidana atau tindakan tata-tertib yang dapat diadakan sesuai dengan undang-undang darurat ini.
                                                                   Pasal 6
(1)        Barang-siapa melakukan suatu tindak-pidana ekonomi:
            a.    dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak-pidana ekonomi termasuk dalam pasal 1 sub 1 e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya satu juta rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu; (Vide Psl II UU Drt 8 Tahun 1958)
            b.    dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak-pidana ekonomi termasuk dalam pasal 1 sub 2e dan berdasar sub 3e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu;
            c.    dalam hal pelanggaran sekadar yang mengenai tindak-pidana ekonomi tersebut dalam pasal 1 sub 1e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu;
            d.    dalam hal pelanggaran yang berdasarkan pasal 1 sub 3e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu.
(2)        Jika harga barang, dengan mana atau mengenai mana tindak-pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang diperoleh-baik seluruhnya, maupun sebagian-karena tindak-pidana ekonomi itu, lebih tinggi daripada seperempat bagian hukuman denda tertinggi yang disebut dalam ayat 1 sub a sampai dengan d, hukuman denda itu dapat ditentukan setinggi-tingginya empat kali harga barang itu.
(3)        Lain daripada itu dapat dijatuhkan juga hukuman-hukuman tersebut dalam pasal 7 ayat 1 atau tindakan tata-tertib tersebut dalam pasal 8, dengan tidak mengurangi dalam hal-hal yang memungkinkannya dijatuhkannya tindakan tata-tertib yang ditentukan dalam peraturan lain.
Pasal 7
(1)        Hukuman tambahan adalah :
            a.    pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk waktu sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal dijatuhkan hukuman denda sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun;
            b.    penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si-terhukum, di mana tindak-pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selama-lamanya satu tahun;
            c.    perampasan barang-barang-tak-tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak-pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnva dengan tindak-pidana ekonomi itu, begitu pula harga-lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli apakah barang-barang atau harga-lawan itu kepunyaan si-terhukum atau bukan;
            d.    perampasan barang-barang-tak-tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, yang termasuk perusahaan si-terhukum, di mana tindak-pidan ekonomi itu dilakukan, begitu pula harga-lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli apakah barang atau harga-lawan itu kepunyaan si-terhukum atau bukan, akan tetapi hanya sekadar barang-barang itu sejenis dan, mengenai tindak-pidananya, bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c di atas;
            e.    pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si-terhukum oleh Pemerintah berhubung dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun;
            f.     pengumuman putusan hakim.
(2)        Perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si-terhukum tidak dijatuhkan, sekadar hak-hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
(3)        Dalam hal perampasan barang-barang, maka hakim dapat memerintahkan, bahwa hasilnya seluruhnya atau sebagian akan diberikan kepada si-terhukum.
Pasal 8
            Tindakan tata-tertib ialah :
a.                  penempatan perusahaan si-terhukum, di mana dilakukan suatu tindak-pidana ekonomi di bawah pengampunan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun, dalam hal tindak-pidana ekonomi itu adalah kejahatan dan dalam hal tindak-pidana ekonomi itu adalah pelanggaran untuk waktu selama-lamanya dua tahun;
b.                              mewajibkan pembayaran uang-jaminan sebanyak-banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak-pidana ekonomi adalah kejahatan; dalam hal tindak-pidana ekonomi adalah pelanggaran maka uang-jaminan itu adalah sebanyak-banyaknya lima puluh ribu rupiah untuk waktu selama-lamanya oleh si-terhukum;
c.                  mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si-terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain.
Pasal 9
(1)        Tindakan tata-tertib yang disebut dalam pasal 8 dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pidana, kecuali dalam hal diberlakukan pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan pengertian, bahwa dalam hal itu tidak dapat dijatuhkan tindakan tata-tertib tersebut dalam pasal 8 sub b.
(2)        Dalam hal diberlakukan pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana maka waktu yang ditentukan untuk penempatan di bawah pengampunan dapat diperpanjang tiap-tiap kali dengan setahun dengan putusan hakim.
Pasal 10
(1)        Dalam putusan hakim yang menjatuhkan hukuman tambahan atau tindakan tata-tertib tersebut dalam pasal 8, segala hal yang istimewa dan segala akibat, sekadar perlu, diatur menurut keperluan, termasuk pengangkatan seorang atau lebih pengampun dalam hal penempatan di bawah pengampunan.
            Dalam hal dijatuhkan hukuman tambahan sebagai disebut dalam pasal 7 ayat 1 sub b, dapat juga diperintahkan supaya si-terhukum menyerahkan segala surat-surat yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah untuk keperluan perusahaannya;
            menjual barang-barang persediaan yang ada di dalam perusahaannya di bawah pengawasan;
            dan memberikan bantuannya dalam pencatatan barang-barang persediaan itu.
(2)        Hakim yang menjatuhkan hukuman tambahan atau tindakan tata-tertib masih dapat mengadakan peraturan sebagai termaksud di atas dalam putusan kemudian setelah menerima tuntutan dari penuntut umum atau atas permintaan si tersangka, ataupun mengadakan perubahan atau tambahan dalam peraturan yang telah diadakan itu. Pemeriksaan perkara itu dilakukan dalam sidang tertutup; putusan diucapkan di muka umum. Putusan itu harus memuat alasan-alasan; terhadap putusan itu tidak dapat dimintakan bandingan atau kasasi.
(3)        Menteri Kehakiman dapat mengadakan aturan-aturan selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini.
Pasal 11
(1)        Sekedar hakim tidak menentukan lain, maka pengampu yang diangkat berdasarkan pasal 10 atau pasal 29 Undang-undang darurat ini mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengampu termaksud dalam pasal 463 "Burgelijk Wetboek." Orang lain tidak boleh melakukan suatu perbuatan pengurusan tanpa penguasaan dari pengampu itu.
(2)        Putusan pengampuan itu oleh panitera pengadilan yang memutus hal itu diumumkan di dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih suratkabar yang akan ditunjuk oleh Hakim.
Pasal 12
            Dalam putusannya hakim menentukan, bahwa uang-jaminan seluruhnya atau sebagian akan menjadi milik Pemerintah, apabila tidak dipenuhi syarat umum bahwa si-tersangka tidak akan melakukan suatu tindak-pidana ekonomi, atau apabila tidak dipenuhi syarat-syarat khusus yang ditentukan oleh hakim. Dalam hal itu pasal-pasal 14b, ayat 2 dan 3, 14c ayat 3, 14d, 14c dan 14f Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan pasal-pasal 3, 4 dan 5 "Staatsblad" 1926 No. 251 juncto 486 berlaku sepadan.
Pasal 13
(1)        Hak melaksanakan perampasan tidak lenyap karena meninggalnya si-terhukum.
(2)        Tindakan tata-tertib tersebut dalam pasal 8 sub a dan b lenyap karena meninggalnya si-terhukum.
Pasal 14
(1)        Pembayaran jumlah uang yang dalam hal perampasan ditaksir atas barang-barang yang tidak disita, dilakukan menurut aturan-aturan mengenai pelunasan hukuman denda dengan sukarela. Jika pelunasan itu tidak dilakukan, maka aturan-aturan mengenai pelaksanaan hukuman denda berlaku sepadan.
(2)        Ketentuan dalam ayat 1 berlaku juga bagi uang-jaminan, jumlah uang tersebut dalam pasal 8 sub c dan biaya lain daripada biaya pengumuman putusan hakim, dengan pengertian bahwa tidak dijatuhkan hukuman badan pengganti.
Pasal 15
(1)        Jika suatu tindak-pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan-pidana dilakukan dan hukuman-pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak-pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
(2)        Suatu tindak-pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak itu dilakukan oleh orang-orang yang, baik berdasar hubungan-kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak-pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak-pidana tersebut.
(3)        Jika suatu tuntutan-pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus atau, jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain.
            Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri di pengadilan, dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu di bawa ke muka hakim.
(4)        Jika suatu tuntutan-pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor.
Pasal 16
(1)        Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak-pidana ekonomi, maka hakim -- atas tuntutan penuntut umum -- dengan putusan pengadilan dapat :
            a.    memutus perampasan barang-barang yang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang-undang darurat ini berlaku sepadan;
            b.    memutus bahwa tindakan tata-tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.
(2)        Putusan itu diumumkan oleh panitera dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim. Turunan dari putusan itu disampaikan kepada rumah di mana orang itu meninggal dunia.
(3)        Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada panitera pengadilan atas putusan itu dalam masa tiga bulan setelah pengumuman termaksud ayat 2.
(4)        Dalam hal itu jaksa didengar; pihak yang berkepentingan itu didengar juga, setidak-tidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap.
(5)        Putusan hakim harus memuat alasan-alasan. Terhadap putusan itu tidak dapat dimintakan bandingan atau kasasi.
(6)        Ketentuan tersebut dalam ayat 1 pada permulaan kalimat dan di bawah a berlaku juga, jika berdasarkan alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak-pidana ekonomi itu dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal. Putusan itu diumumkan dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang penegasan dari pasal 16 ayat (6) Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955 (Lembaran-Negara tahun 1955 No. 27) tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Pasal 1.
Istilah "seorang yang tidak dikenal" sebagai yang termaksud dalam pasal 16 ayat (6) dari Undang-undang No. 7 Drt tahun 1955 (Lembaran-Negara tahun 1955 No. 27) tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi ditegaskan dengan menambah pasal 16 tersebut dengan ayat-ayat (7), (8) dan (9) sebagai berikut : (7) Yang diartikan dengan "seorang yang tidak dikenal" termaksud pula :
a.setiap orang yang diketahui namanya dan tempat kediamannya diluar negeri yang telah dipanggil dengan perantaraan Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan atau dengan surat panggilan yang ditempelkan pada tempat pengumuman di Pengadilan Negeri atau yang ditempatkan dalam satu surat kabar atau lebih dan tidak datang menghadap kepada instansi yang memanggilnya;
b.setiap orang yang diketahui namanya, akan tetapi tidak diketahui tempat kediamannya, yang telah dipanggil dengan surat panggilan yang ditempatkan pada tempat pengumuman di Pengadilan Negeri atau yang ditempatkan dalam satu surat kabar atau lebih dan tidak datang menghadap kepada instansi yang memanggilnya. Pemberitahuan putusan Pengadilan kepada orang-orang tersebut dalam huruf a dan huruf b dilakukan dengan penempelan surat pemberitahuan itu pada tempat pengumuman di Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dengan penempatan dalam satu surat kabar atau lebih yang akan ditunjuk oleh Hakim. (8) Ayat-ayat (3), (4) dan (5) dari pasal 16 berlaku terhadap perkara-perkara tersebut dalam ayat-ayat (6) dan (7) dari pasal itu. (9) Orang-orang tersebut dalam ayat-ayat (6) dan (7) tidak boleh diwakili oleh siapapun juga.
BAB. III
TENTANG CARA MENGUSUT TINDAK-PIDANA EKONOMI.
Pasal 17
(1)        Selain daripada mereka yang pada umumnya dibebani pengusutan tindak-pidana, maka yang berhak mengusut tindak-pidana ekonomi ialah pegawai-pegawai yang ditunjuk oleh Perdana Menteri setelah mendengar Menteri yang bersangkutan.
(2)        Semua pegawai, yang dibebani pengusutan tindak-pidana ekonomi, dibebani juga pengusutan tindak-pidana yang disebut dalam pasal 26, 32 dan 33 undang-undang darurat ini.
(3)        Jika untuk mereka yang disebut pada ayat 1 belum ditentukan sumpah-jabatan, maka sumpah itu akan ditentukan oleh Perdana Menteri.
Pasal 18
(1)        Pegawai-pegawai pengusut setiap waktu berwenang mensita atau menuntut penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapat keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan menurut ketentuan-ketentuan undang-undang.
(2)        Barang-barang yang disebut dalam pasal 7 ayat 1 sub d hanya dapat disita, jika disetujui oleh jaksa.
(3)        Pensitaan dilakukan :
            a.    sekadar mengenai barang-barang-tak-tetap yang tak-berwujud yang didaftarkan dalam suatu daftar, dengan penyerahan atau pengiriman dengan surat tercatat sepucuk surat keterangan pensitaan kepada orang yang berhak dan penyalinan ataupun pencatatan dari salinan surat keterangan itu dalam daftar-daftar tersebut;
            b.    sekadar mengenai tagihan-tagihan atau barang-barang-tak-tetap yang tak-berwujud yang tidak termasuk sub a, dengan penyerahan atau pengiriman dengan surat tercatat sepucuk surat keterangan pensitaan kepada orang yang berhak dan, jika hak-hak itu dapat dilakukan terhadap orang-orang tertentu, juga kepada mereka itu.
(4)        Jika pensitaan dihapuskan, maka jaksa berusaha supaya dibuat surat keterangan selekas-lekasnya mengenai penghapusan itu dan supaya dengan surat itu dilakukan sepadan dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam ayat 3 mengenai surat-surat keterangan pensitaan.
(5)        Menteri Kehakiman  dengan persetujuan Menteri yang bersangkutan berhak menetapkan aturan-aturan lebih lanjut mengenai cara dan akibat-akibat pensitaan itu.
Pasal 19
(1)        Pegawai pengusut setiap waktu dapat menuntut diperlihatkannya segala surat yang dipandang perlu untuk diketahuinya, supaya mereka dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
(2)        Orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya diwajibkan merahasiakan sesuatu hal dapat menolak untuk memperlihatkan surat-surat itu atau bagian-bagian surat-surat itu yang termasuk kewajiban merahasiakan itu.
Pasal 20
(1)        Pegawai-pegawai pengusut pada setiap waktu berhak memasuki setiap tempat yang menurut pendapatnya perlu dimasuki untuk menjalankan tugasnya. Jika perlu pegawai-pegawai itu masuk ke dalam tempat itu dengan bantuan kekuasaan umum.
(2)        Bertentangan dengan kemauan penghuni mereka tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah selain untuk mengusut suatu tindak-pidana ekonomi dan disertai oleh seorang komisaris polisi atau oleh walikota, atau atas perintah tertulis dari jaksa.
(3)        Dalam waktu dua kali 24 jam tentang pemasukan rumah itu harus dibuat berita-acara, yang selanjutnya disampaikan kepada jaksa. Dalam berita-acara itu dimuat keterangan mengenai waktu dan maksud pemasukan itu. Pegawai-pegawai termaksud di atas berwenang meminta disertai oleh orang-orang yang akan ditunjuk olehnya; dalam hal itu, maka hal itu disebut dalam berita-acara tersebut.
Pasal 21
(1)        Untuk kepentingan pengusutan maka pegawai-pegawai pengusut berwenang mengambil contoh ("monster") dari barang:
            a.    yang berada di tempat umum, atau yang berada di suatu tempat yang boleh dikunjungi oleh khalayak ramai;
            b.    yang berada di tempat yang boleh dimasuki oleh pegawai pengusut menurut undang-undang darurat ini;
            c.    yang ditawarkan, diangkut atau yang ditawarkan untuk diangkut, diimpor atau diekspor;
            d.    yang diserahkan ("afgeleverd").
(2)        Pemegang barang-barang itu wajib memberi bantuan menurut petunjuk-petunjuk pegawai pengusut dan di bawah pengawasan pegawai itu dan , jika diminta, memberi alat-alat bantuan dan pertolongan dengan cuma-cuma.
(3)        Jika kewajiban yang tersebut dalam ayat 2 tidak dipenuhi maka pegawai pengusut dapat mengadakan apa yang diperlukan itu atas biaya dan risiko pemegang barang itu.
Pasal 22
(1)        Untuk kepentingan pengusutan pegawai-pegawai pengusut berwenang menuntut, supaya bungkusan barang-barang dibuka, jika hal itu dipandang perlu untuk memeriksa barang-barang itu.
(2)        Pasal 21 ayat 2 dan 3 berlaku sepadan.
Pasal 23
(1)        Pegawai-pegawai pengusut dapat menuntut, supaya pengemudi-pengemudi kendaraan memberhentikan kendaraannya dan menyetujui pemeriksaan tentang diturutinya peraturan-peraturan yang dimaksud dalam pasal 1 undang-undang darurat ini. Jika dipandangnya perlu pegawai pengusut dapat menuntut supaya kendaraan itu dibawa ke suatu tempat tertentu dan membongkar atau menyuruh membongkar atau mengosongkan atau menyuruh mengosongkan kendaraan itu. Jika dianggap perlu pegawai pengusut dapat menuntut, supaya pengemudi kendaraan itu memberi pertolongan menurut petunjuk-petunjuk pegawai pengusut itu.
(2)        Tuntutan supaya berhenti, mengizinkan pemeriksaan atau memberi bantuan dapat diminta juga kepada orang yang mengangkut barang-barang itu.
(3)        Pegawai pengusut mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk menjamin dipenuhinya tuntutan yang disebut dalam pasal ini.
Pasal 24
(1)        Menteri Kehakiman  dengan persetujuan Menteri yang bersangkutan  berhak menentukan aturan-aturan tentang cara melaksanakan tuntutan-tuntutan untuk berhenti yang dimaksud dalam pasal 23.
(2)        Menteri Kehakiman - dengan persetujuan Menteri yang bersangkutan berwenang menentukan, bahwa untuk kepentingan pengusutan tindak-pidana ekonomi diadakan rintangan-rintangan di jalan-jalan di darat atau di perairan.
Pasal 25
            Terhadap pengusutan tindak-pidana ekonomi untuk selanjutnya berlaku ketentuan-ketentuan tersebut dalam "Het Herziene Indonesische Reglement" kecuali jika undang-undang darurat ini menentukan lain.
Pasal 26
            Dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang darurat ini adalah tindak-pidana ekonomi.
BAB. IV
TENTANG TINDAKAN-TINDAKAN TATA-TERTIB SEMENTARA.
Pasal 27
(1)        Jika ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan si-tersangka dan kepentingan-kepentingan, yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar, memerlukan tindakan-tindakan dengan segera, maka jaksa berwenang dalam segala perkara mengenai tindak-pidana ekonomi, kecuali yang tersebut dalam pasal 6 ayat 3, selama pemeriksaan di muka pengadilan belum dimulai, untuk memerintahkan kepada si-tersangka sebagai tindakan sementara, supaya ia :
            a.    tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
            b.    berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah itu yang dapat disita dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalma perintah itu.
(2)        Terhadap perintah-perintah itu pasal 10 ayat 1 berlaku sepadan.
(3)        Perintah-perintah itu hilang kekuatannya setelah lewat masa enam bulan dan tetap mempunyai kekuatan hanya sampai saat mulai tidak dapat diubah lagi putusan hakim yang penghabisan dalam perkara itu. Perintah-perintah itu dapat diubah atau dicabut oleh jaksa atau oleh pengadilan yang memeriksa perkara itu, sebelum perkara itu diputus oleh hakim. Pengadilan itu dapat bertindak demikian karena jabatannya atau atas permohonan si-tersangka; si-tersangka ini senantiasa didengar, setidak-tidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap kecuali :
            a.    jika pengadilan telah dengan segera memutus untuk mengubah perintah itu sesuai dengan permohonan si-tersangka atau mencabutnya;
            b.    jika belum lampau masa dua bulan sejak permohonannya yang, dahulu dan yang sama maksudnya diputus.
            Pengadilan mengambil putusan tentang suatu permohonan si-tersangka dalam waktu lima hari setelah permohonan itu diterima di kepaniteraan pengadilan.
Pasal 28
TGPT NAME="ps28(1)">(1)        Jika ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan si-tersangka dan kepentingan-kepentingan, yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar, memerlukan tindakan-tindakan dengan segera, maka pengadilan berwenang dalam segala perkara mengenai tindak-pidana ekonomi, kecuali yang tersebut dalam pasal 6 ayat 3, sebelum pemeriksaan di muka pengadilan, atas tuntutan jaksa dan setelah si-tersangka didengar, setidak-tidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap, untuk memerintahkan sebagai tindakan sementara :
            a.    penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si-tersangka, di mana tindak-pidana ekonomi itu.disangka telah dilakukan;
            b.    penempatan perusahaan si-tersangka, di mana tindak-pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan, di bawah pengampuan;
            c.    pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada si-tersangka berhubung dengan perusahaan itu;
            d.    supaya si-tersangka tidak melakukan perbuatan yang tertentu;
            e     supaya si-tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah itu yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam perintah itu.
(2)        Terhadap perintah-perintah itu pasal 10 ayat 1 berlaku sepadan.
(3)        Perintah-perintah itu hilang kekuatannya setelah lewat masa enam bulan dan tetap mempunyai kekuatan hanya sampai saat tidak dapat diubah lagi putusan hakim yang penghabisan dalam perkara itu. Perintah-perintah itu oleh pengadilan yang memeriksa perkara itu, dapat diperpanjang satu kali dengan waktu selama-lamanya enam bulan dan dapat diubah atau dicabutnya. Pengadilan itu dapat bertindak demikian karena jabatannya, atas tuntutan jaksa dan, mengenai perubahan atau pencabutan perintah itu, juga atas permohonan si-tersangka; si-tersangka ini senantiasa didengar, setidak-tidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap, kecuali
            a.    jika pengadilan telah dengan segera memutus untuk mengubah perintah itu sesuai dengan permohonan si-tersangka atau mencabutnya;
            b.    jika belum lampau masa dua bulan sejak permohonannya yang dahulu yang sama maksudnya diputus.
            Pengadilan mengambil putusan tentang suatu permohonan si-tersangka dalam waktu lima hari setelah permohonan itu diterima dikepaniteraan pengadilan.
Pasal 29
(1)        Selambat-lambatnya tiga hari setelah putusan-putusan termaksud dalam pasal 27 dan 28 dilaksanakan, si-tersangka dapat mohon bandingan pada Pengadilan Tinggi.
(2)        Pengadilan Tinggi mutus selekas-lekasnya tentang hal itu. Si-tersangka didengar, setidak-tidaknya dipanggil dengan semestinya untuk menghadap.
Pasal 30
            Putusan-putusan termaksud dalam pasal 27 dan 28 dapat segera dilaksanakan.
Pasal 31
            Jika suatu perkara berakhir dengan tidak dijatuhkan hukuman pidana atau tindakan tata-tertib, ataupun dengan dijatuhkan hukuman pidana atau tindakan tata-tertib yang demikian rupa, sehingga tindakan tata-tertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlampau berat, maka atas permohonan bekas-si-tersangka atau ahli-warisnya pengadilan dapat memutus, bahwa kepada bekas-si-tersangka atau ahli-warisnya diberikan sejumlah uang sebagai penggantian-kerugian. Jumlah uang itu dibebankan pada Kas Negara. Yang berhak mengambil putusan itu ialah pengadilan yang mengadili perkara itu dalam tingkat penghabisan.

BAB. V
TENTANG PERBUATAN-PERBUATAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HUKUMAN PIDANA ATAU TINDAKAN TATA-TERTIB.
Pasal 32
            Barangsiapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan suatu hukuman-tambahan sebagai tercantum dalam pasal 7 ayat 1 sub a, b atau e, dengan suatu tindakan tata-tertib seperti tercantum dalam pasal 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam pasal 10, atau dengan suatu tindakan tata-tertib sementara, atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tata-tertib, peraturan, tindakan tata-tertib sementara seperti tersebut di atas, maka ia melakukan suatu tindak-pidana ekonomi.
Pasal 33
            Barangsiapa sengaja, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang lain, menarik bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tata-tertib atau tindakan tata-tertib sementara, yang dijatuhkan berdasar undang-undang darurat itu, maka ia melakukan suatu tindak-pidana ekonomi.

Pasal 34
(1)        Perbuatan-perbuatan-hukum yang bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 32 dan 33 adalah batal.
(2)        Kebatalan itu tidak dapat dipergunakan sebagai lawanan yang merugikan seorang, yang tidak mengetahui tentang adanya hukuman, tindakan tata-tertib atau tindakan tata-tertib sementara, yang dijatuhkan, kecuali jika padanya ada alasan untuk dapat menduga adanya hukuman, tindakan tata-tertib atau tindakan tata-tertib sementara itu.
(3)        Isteri (suami), keluarga sedarah atau keluarga semenda sampai dengan pupu ketiga dari dan mereka yang bekerja pada orang, atas siapa hukuman, tindakan tata-tertib atau tindakan tata-tertib sementara itu dijatuhkan, dianggap bahwa pada mereka ada alasan untuk dapat menduga adanya hukuman, tindakan tata-tertib atau tindakan tata-tertib sementara, kecuali jika mereka dapat membuktikan sebaliknya.
BAB. VI
TENTANG KEKUASAAN DAN SUSUNAN PENGADILAN
Pasal 35
(1)        Pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih, dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas masing-masing mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi.
(2)        Pengadilan tersebut pada ayat 1 disebut "Pengadilan Ekonomi."
Pasal 36
            Seorang hakim pada Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi.
Pasal 37
            Pengadilan Ekonomi dapat bersidang juga di luar tempat kedudukan Pengadilan Negeri.
Pasal 38
            Ketentuan dalam pasal 36 berlaku sepadan bagi jaksa dan panitera Pengadilan Ekonomi.
Pasal 39
(1)        Jika beberapa tindak-pidana ekonomi dilakukan oleh lebih dari satu orang, baik bersama-sama maupun masing-masing sendiri-sendiri, dan tindak-tindak-pidana itu satu sama lain berhubungan sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu, bahwa tindak-tindak-pidana itu diadili oleh satu Pengadilan Ekonomi, maka kekuasaan Pengadilan itu terhadap seorang orang yang disebut tersangka atau pengikut-serta, akan mengakibatkan, bahwa Pengadilan itu juga berkuasa mengadili orang-orang lain yang menjadi tersangka atau pengikut-serta dalam perkara itu.
(2)        Jika si-tersangka adalah suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka yang berkuasa ialah Pengadilan di tempat, di mana badan hukum, perseroan, perserikatan orang atau yayasan itu berkedudukan atau mempunyai kantornya.
BAB. VII
TENTANG PEMERIKSAAN DI MUKA PENGADILAN DALAM            TINGKAT PERTAMA
Pasal 40
            Sekadar undang-undang darurat ini tidak menentukan lain, maka Pengadilan Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi berpedoman kepada hukum acara pidana yang berlaku bagi Pengadilan Negeri.
BAB. VIII
TENTANG BANDINGAN.
Pasal 41
(1)        Pada Pengadilan Tinggi di Jakarta diadakan Pengadilan Tinggi dengan nama Pengadilan Tinggi Ekonomi yang semata-mata diberi tugas mengadili perkara pidana ekonomi dalam tingkatan bandingan.
(2)        Pengadilan Tinggi Ekonomi terdiri dari seorang ketua, seorang anggota Hakim Tinggi merangkap wakil-ketua dan sekurang-kurangnya 2 orang anggota Hakim Tinggi lainnya, dibantu oleh seorang panitera dan beberapa orang panitera-pengganti.
Pasal 42
            Pengadilan Tinggi Ekonomi memutus perkara dengan tiga orang hakim, termasuk dan wakil ketua.
Pasal 43
(1)        Terhadap putusan Pengadilan Ekonomi dapat dimohonkan bandingan, kecuali jika putusan terakhir diberikan mengenai suatu pelanggaran ekonomi dan jika dalam putusan penghabisan:
            a.         tidak dijatuhkan hukuman pidana atau tindakan tata-tertib;
            b.         tidak dijatuhkan hukuman pidana lain atau tindakan tata-tertib lain daripada
                        le.     hukuman denda;
                        2e.    perampasan, pada mana ditaksir harga barang-barang yang dirampas;
                        3e.    pembayaran uang-jaminan;
                        4e.    pembayaran uang sebagai termaksud dalam pasal 8 sub c., yang tidak lebih banyak daripada seribu rupiah;
                        5e.    mengembalikan si-terhukum kepada ibu/bapaknya dengan tidak menjatuhkan hukuman pidana.
(2)        Jaksa dapat memohon bandingan, kecuali jika putusan terakhir dijatuhkan mengenai pelanggaran dan :
            a.    tidak dijatuhkan hukuman atau tindakan tata-tertib;
            b.    tidak dituntut hukuman pidana atau tindakan tata-tertib lain daripada hukuman pidana atau tindakan tata-tertib yang disebut dalam ayat 1 sub b.
Pasal 44
            Apabila pada peradilan tingkat pertama dilalaikan cara-cara yang harus diindahkan pada peradilan itu, maka kelalaian itu tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk membatalkan putusan Pengadilan Ekonomi, jika kelalaian itu tidak merugikan pihak kejaksaan dalam tuntutannya atau pihak si-tersangka dalam pembelaannya.
Pasal 45
            Sekadar undang-undang darurat ini tidak menentukan lain, maka Pengadilan Tinggi Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi dalam tingkat bandingan berpedoman kepada hukum acara pidana dalam tingkat bandingan yang berlaku bagi Pengadilan Tinggi.
Pasal 46
            Bagi Pengadilan Tinggi Ekonomi ketentuan dalam pasal 37 berlaku sepadan.
BAB. IX
TENTANG PERMOHONAN KASASI.
Pasal 47
            Kecuali dalam hal termaksud dalam pasal 48, maka terhadap putusan yang diambil mengenai suatu tindak-pidana ekonomi, dapat dimajukan permintaan kasasi dalam waktu dan menurut cara yang ditentukan untuk perkara pidana biasa dalam Undang-undang Mahkamah Agung.
Pasal 48
(1)        Apabila pada peradilan dalam tingkat pertama atau dalam tingkat bandingan dilalaikan cara-cara yang harus diindahkan pada peradilan itu, maka kelalaian itu tidak dapat dipergunakan sebagai dasar yang membatalkan putusan itu, jika kelalaian itu tidak merugikan pihak kejaksaan dalam tuntutannya, atau pihak si-tersangka dalam pembelaannya.
(2)        Hal yang tersebut pada ayat 1 itu dianggap ada, apabila kelalaian itu dilakukan dalam tingkat pertama dan atas kelalaian itu tidak dimajukan keberatan, baik dari pihak kejaksaan maupun dari pihak tersangka.
BAB. X
TENTANG BADAN-BADAN ATAU PEGAWAI-PEGAWAI PENGHUBUNG
Pasal 49
            Untuk kepentingan pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak-pidana ekonomi, maka dengan persetujuan Menteri Kehakiman oleh Menteri yang bersangkutan dapat diangkat badan-badan atau pegawai-pegawai yang dianggap ahli dalam perekonomian sebagai badan-atau pegawai-penghubung yang diwajibkan memberikan bantuannya kepada hakim, pegawai penuntut an pengusut baik di luar maupun di dalam persidangan.
BAB. XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 50
(1)        Segala perkara yang pada saat undang-undang darurat ini mulai berlaku telah diadili dan diputus oleh sesuatu Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, dianggap diadili atau diputus oleh Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Tinggi Ekonomi menurut ketentuan-ketentuan undang-undang darurat ini.
(2)        Perkara-perkara yang belum diadili akan diadili oleh Pengadilan Ekonomi menurut undang-undang darurat ini.
(3)        Apabila ketentuan-ketentuan dalam atau berdasarkan undang-undang lain bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, maka akan berlaku ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini.

KETENTUAN PENUTUP
(1)        Undang-undang Darurat ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
(2)        Undang-undang Darurat ini disebut: "Undang-undang Tindak-pidana Ekonomi."
            Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang darurat ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Mei 1955.
Presiden Republik Indonesia, ttd. SOEKARNO. Perdana Menteri, ttd. ALI SASTROAMIDJOJO.Menteri Kehakiman,ttd. DJODY GONDOKUSUMO. Menteri Perekonomian, ttd. ROOSSENO. Menteri Kesejahteraan Negara, ttd. SIRADJUDDIN ABBAS. Menteri Keuangan, ttd. ONG ENG DIE
Diundangkan
pada tanggal 13 Mei 1955.
Menteri Kehakiman,
ttd. DJODY GONDOKUSUMO.


PENJELASAN

Penjelasan Umum
1.        Agar dengan efektif dapat memberantas pelanggaran-pelanggaran ekonomi, maka perlu lebih dahulu diketahui apa yang dimaksudkan dengan pelanggaran-pelanggaran itu dan apakah sifat dari pelanggaran-pelanggaran itu.
2.        Dalam Undang-undang Darurat ini yang dimaksud dengan tindak-pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan,
a.    Ordonnantie gecontroleerde goederen 1948" ("Staatsblad" 1948 No. 144),
b.    "Prijsbeheersing-ordonnantie 1948" ("Staatsblad" 1948 No. 295),
c.    Undang-undang Penimbunan Barang-barang 1951 (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 4),
d.   "Rijstordonnantie 1948" ("Staatsblad" 1948 No. 253),
e.    Undang-undang Darurat kewajiban penggilingan padi (Lembaran-Negara tahun 1952 No. 33),
f.     "Deviezen Ordonnantie 1940 ("Staatsblad" 1940 No. 205), (pasal 1 sub 1e).
       Untuk sementara penunjukan pelanggaran-pelanggaran itu sebagai tindak-pidana ekonomi dianggap cukup luas untuk mencapai maksud Pemerintah yang tersebut di atas itu. Apabila di kemudian hari dipandang perlu pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan undang-undang lain dikuasai oleh Undang-undang Darurat ini, maka hal itu dapat dicapai dengan menyebut - dalam undang-undang yang bersangkutan - pelanggaran-pelanggaran itu sebagai tindak-pidana ekonomi (pasal 1 sub 3e) atau dengan mencantumkan pasal-pasal pidana yang bersangkutan dalam pasal 1 sub 2e.
3.  Adapun kebanyakan dari tindak-pidana itu mempunyai 3 macam sifat yakni,
a.     lahirnya tindak-pidana ekonomi sebagai tindak-pidana adalah belum lama berselang, yakni baru sejak tahun 1941, sehingga banyak pelanggar berpendapat, bahwa pelanggaran tindak-pidana ekonomi bukanlah suatu hal yang luar biasa, dan bahwa penuntutan dan pengusutan perbuatan itu adalah merupakan suatu "bedrijfsrisico" biasa saja yang dapat diperhitungkan dalam "calculatie".
                 Dalam kalangan perdagangan adalah banyak anasir-anasir yang tidak akan menghentikan praktek yang jahat itu selama mereka masih mempunyai kesempatan untuk berbuat demikian.
b.    mengancam dan merugikan kepentingan-kepentingan yang sangat "gecompliceerd", sehingga orang biasa sering - para hakim dan jaksa kadang-kadang - tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya tentang kepentingan-kepentingan itu dan dengan demikian memberikan nilai kepadanya yang sangat berbeda satu daripada yang lain,
c.     memberi keuntungan besar kepada si pelanggar yang senantiasa sangat menarik si pelanggar baik dengan maupun tiada dengan memperhitungkan laba dan rugi untuk melakukan perbuatan itu.
            Untuk menginsafkan orang, bahwa tindak-pidana ekonomi itu adalah tindak-pidana dan untuk membasmi pendapat yang dimaksud sub a itu, maka dalam peradilan kriminil harus diadakan tindakan-tindakan "repressie" sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan 8 Undang-undang Darurat ini.
            Agar supaya kesulitan termaksud sub b dapat diatasi, maka para hakim dan jaksa yang diberi tugas mengadili dan menuntut si tersangka harus orang-orang yang ahli dalam soal perekonomian atau sekurang-kurangnya harus orang-orang yang khusus diberi tugas mengadili (menuntut) perkara pidana ekonomi dan yang dapat mencuruhkan segala pikiran dan tenaga kepada soal-soal itu (pasal 35 dan 38, 41 dan 46).
            Untuk menjaga agar hakim atau jaksa selalu dapat bantuan dan pertimbangan dari seorang ahli baik di luar maupun di dalam persidangan, maka kepadanya diperbantukan penjabat-penjabat yang ahli dalam soal perekonomian (pasal 51 ).
            Untuk memberantas perbuatan yang dimaksud sub c, maka ancaman hukuman harus berat, procedure harus cepat berlangsung dan harus diadakan kemungkinan untuk meniadakan keuntungan yang telah diterima (pasal-pasal 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, dan Bab III).
4.  Sebagian dari aturan-aturan tercantum dalam Undang-undang Darurat ini telah diatur juga secara "fragmentaris" dalam undang-undang yang bersangkutan. Dengan Undang-undang Darurat ini maka tercapailah kesatuan dalam perundang-undangan ekonomi.
5.  Tentang tindak-pidana ekonomi Undang-undang Darurat ini mengatur hal-hal sebagai berikut.:
a.    jika undang-undang yang bersangkutan tidak menentukan lain, maka tindak-pidana adalah kejahatan, apabila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja, dan pelanggaran, apabila dilakukan tidak dengan sengaja (pasal 1 ayat 1 ),
b.    diadakan ancaman hukuman kumulatif (pasal 6),
c.    kemungkinan menjatuhkan hukuman langsung terhadap sesuatu badan hukum dengan sebagainya (pasal 15),
d.    sebagai perluasan pasal 2 kitab Undang-undang Hukum Pidana maka perbuatan ikut serta yang dilakukan di luar negeri dapat dihukum pidana juga pasal 3),
e.    diadakan peraturan yang melarang adanya "verkapte bestraffing"    (pasal 5),
f.     percobaan melakukan dan turut-membantu melakukan tindak-pidana ekonomi diperluas sampai pelanggaran (pasal 4),
g.    tidak memenuhi tuntutan seorang pegawai pengusut, berdasarkan Undang-undang Darurat ini, adalah suatu tindak-pidana ekonomi    (pasal 26),
h.    melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukuman tambahan atau tindakan tata-tertib yang dijatuhkan, adalah suatu tindak-pidana ekonomi (pasal 32),
i.     melakukan penarikan bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan hukuman atau tindakan tata-tertib adalah suatu tindak-pidana ekonomi (pasal 33),
j.     diadakan hukuman tambahan khusus (pasal 7),
k.    diadakan tindakan-tindakan tata-tertib (pasal 8).
6.  Undang-undang Darurat ini selanjutnya mengatur kekuasaan Perdana Menteri untuk menunjuk pegawai-pegawai pengusut istimewa (pasal 17) dan kekuasaan-kekuasaan istimewa dari pegawai-pegawai pengusut sebagai berikut:
a.    hak meminta atau menyuruh meminta barang-barang tertentu       (pasal 18)
b     hak memeriksa segala surat yang dianggap perlu diperiksa (pasal 19)
c.    hak masuk dalam setiap tempat untuk mengadakan pemeriksaan    (pasal 20),
d.    hak mengambil contoh ("monster") dari barang yang berada di tempat umum (pasal 21),
e.    hak membuka bungkusan barang (pasal 22)
f,     hak menghentikan kendaraan (pasal 23),
g,    hak minta bantuan dari mereka yang diawasi atau kepada pengemudi kendaraan (pasal 23)
7. Kepada penuntut-umum (jaksa) diberikan kekuasaan-kekuasaan sebagai berikut:
a.     untuk mengambil tindakan-tindakan tata-tertib sementara terhadap orang yang disangka melakukan suatu tindak-pidana ekonomi    (pasal 27),
b.    untuk memajukan usul, supaya hakim akan mengambil tindakan-tindakan tata-tertib sementara terhadap orang yang disangka melakukan suatu tindak-pidana ekonomi (pasal 28),
c.     untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu, jika orang yang melakukan suatu tindak-pidana ekonomi meninggal dunia sebelum perkaranya diadili oleh hakim,
d.    perkuasaan hak membeslag (pasal 18).
8.    Susunan dan kekuasaan peradilan.
     Pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas masing-masing mengadili dan menuntut perkara pidana ekonomi (eenmansrechtsspraak). Pengadilan itu disebut Pengadilan Ekonomi (pasal 35). Sedapat mungkin ditunjuk sebagai hakim dan jaksa penjabat yang ahli dalam soal-soal perekonomian.
            Dengan menugaskan perkara pidana ekonomi kepada jaksa dan hakim yang melulu diberi tugas menyelesaikan perkara pidana itu, maka Pemerintah mengharap, bahwa mereka, dibantu oleh badan-badan dan pegawai-pegawai penghubung yang dianggap ahli dalam perekonomian, yang diwajibkan memberikan bantuannya kepada hakim, pegawai penuntut dan pengusut, baik di luar maupun di dalam persidangan (pasal 49), pula dibantu oleh pegawai-pegawai pengusut istimewa (pasal 17) dengan hak-hak istimewa (pasal-pasal 18 dan selanjutnya), akan melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Berhubung dengan sangat kurangnya tenaga-tenaga hakim dan jaksa, maka diadakan kemungkinan untuk mempekerjakan seorang hakim dan jaksa pada lebih dari satu Pengadilan Ekonomi (pasal 36 dan pasal 38).
     Untuk mempercepat dan mempermudah mengadili beberapa perkara pidana ekonomi yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, baik bersama-sama maupun masing sendiri-sendiri yang ada hubungannya satu dengan yang lain, maka diadakan kemungkinan untuk mengadili perkara-perkara itu oleh satu Pengadilan Ekonomi (pasal 39).
     Dalam tingkat pertama maka Pengadilan Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi berpedoman kepada hukum acara pidana yang berlaku bagi Pengadilan Negeri sekedar Undang-undang Darurat ini tidak menentukan lain (pasal 40).
     Pada Pengadilan Tinggi di Jakarta diadakan Pengadilan Tinggi dengan nama Pengadilan Tinggi Ekonomi yang semata-mata diberi tugas mengadili perkara pidana ekonomi dalam tingkatan bandingan (pasal 41).
     Pengadilan Tinggi Ekonomi adalah suatu badan "Collegiaal" (pasal 42).
            Dengan maksud mempercepat pemeriksaan dan penyelesaian perkara, maka dalam hal-hal tersebut dalam pasal 43 tidak diberi kesempatan kepada jaksa atau tersangka untuk memajukan permohonan banding (pasal 43).
     Juga karena "verzuim van vormen" tidak diberi kesempatan. untuk meminta banding, jika kelalaian itu tidak merugikan pihak kejaksaan dalam tuntutannya atau tidak si tersangka dalam pembelaannya (pasal 44).
     Sekedar Undang-undang Darurat ini tidak menentukan lain, maka Pengadilan Tinggi Ekonomi dalam mengadili perkara pidana ekonomi dalam tingkat banding yang berlaku bagi Pengadilan Tinggi (pasal 45).
            Permohonan kasasi dapat dimajukan dalam waktu dan menurut cara yang ditentukan untuk perkara biasa dalam Undang-undang Mahkamah Agung (pasal 47).
     Permohonan kasasi karena "verzuin van vormen" tidak diperbolehkan, jika kelalaian itu tidak merugikan pihak kejaksaan dalam tuntutannya atau pihak si tersangka dalam pembelaannya (pasal 48).
     Dari uraian sesingkat di atas ini jelaslah, betapa banyaknya tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang harus diadakan dalam perundang-undangan hukum pidana, hukum acara pidana dan susunan serta kekuasaan peradilan dan betapa pentingnya diadakan kesatuan dalam perundang-undangan ekonomi, apabila kita ingin memberantas secara efektif pelanggaran-pelanggaran ekonomi itu.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
            Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang akan dipandang sebagai tindak-tindak-pidana ekonomi, Pemerintah hanya menyebut peraturan-peraturan-tindak saja, sedang peraturan-peraturan-pidana berdasarkan peraturan induk itu dimasukkan dalam Undang-undang Darurat ini dengan mempergunakan kata-kata "atau berdasarkan". Dengan demikian maka di bawah a termasuk "Verordening Gecontroleerde Goederen 1948" ("Staatsblad" 1948 No. 145), surat keputusan "Secretaris van Staat Hoofd van het Departement van Economische Zaken" tanggal 21 Juni 1949 No. 7050 BAD, surat keputusan Menteri Perekonomian tanggal 26 April 1952 No. 5441 M, dan tanggal 26 April 1952 No. 5442 M, surat Menteri Perekonomian tanggal 30 Juni 1952 No. 1891 KP 1841 dan tanggal 30 Juni 1952 No. 1892 KP 1841 dan sebagainya.
            Demikian halnya adalah mengenai peraturan-peraturan berdasarkan peraturan-peraturan termaksud pada b, c, d, e dan f Pemerintah menganggap sangat penting tindakan tata-tertib dan tindakan tata-tertib sementara yang disebut dalam pasal 8 sampai dengan 16, 17 sampai dengan 24 dan 27 sampai dengan 31, sehingga pelanggaran pasal-pasal tersebut yang dicantumkan dalam pasal 26, 32 dan 33, menurut pasal 1 sub 2 dianggap sebagai tindak-pidana ekonomi. Pasal 1 sub 3 tidak memerlukan penjelasan; lihatlah penjelasan umum.
Pasal 2
            Pasal ini mengadakan perbedaan antara tindak-pidana ekonomi yang dianggap kejahatan dan tindak-pidana ekonomi yang dianggap pelanggaran. Mengadakan perbedaan ini perlu karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengadakan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dan perbedaan akibat antara kejahatan dan pelanggaran itu.
Pasal 3
Telah dijelaskan dalam penjelasan umum.
Pasal 4
            Pasal ini menyimpang dari pasal 54 dan 60 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hal ini dianggap perlu mengenai tindak-pidana ekonomi yang dipandang pelanggaran. Maksimum hukuman pokok yang mengancam pelanggaran ekonomi itu dikurangi dengan sepertiga, jika dilakukan percobaan atau ikut membantu perbuatan itu.
Pasal 5
            Pasal ini melarang mempergunakan hukuman-hukuman pidana dan tindakan-tindakan tata-tertib lain daripada yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Darurat ini.
Pasal 6
            Dalam pasal ini ditentukan hukuman dan tindakan tata-tertib yang pada umumnya dapat dijatuhkan terhadap tindak-pidana ekonomi. Ayat 1 dan 2  mengatur hukuman pidana pokok sedang dalam ayat 3 disebut hukuman tambahan dan tindakan tata-tertib yang perinciannya diatur dalam pasal-pasal yang berikut.
            Hukuman pokok adalah sama dengan hukuman pokok yang disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (pasal 10 KUBP) akan tetapi maksimum hukuman pokok itu adalah lebih berat daripada yang lazim dipergunakan. Adapun alasan-alasannya telah diuraikan dalam penjelasan umum.
            Kemungkinan untuk menjatuhkan bersama-sama hukuman kawalan dan hukuman denda adalah sesuai dengan pandangan beberapa instansi yang bersangkutan, bahwa tindakan itu dalam banyak soal merupakan suatu tindakan represi yang setepat-tepatnya.
Pasal 7
            Pasal 7 mengenai hukuman tambahan. Hukuman tambahan ini dapat dijatuhkan, baik terhadap kejahatan, maupun terhadap pelanggaran. Hukuman tambahan yang disebut pada a dikutip dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (pasal 35 KUHP).
            Hukuman tambahan yang disebut dalam b - penutupan perusahaan si terhukum - adalah suatu hukuman yang tepat bagi mereka yang berpendapat bahwa melakukan suatu tindak-pidana ekonomi adalah normal, sehingga jika mereka itu tertangkap karena melakukan tindak-pidana ekonomi hal itu pada hemat mereka itu merupakan risiko-perusahaan biasa, yang dapat diperhitungkan dalam perhitungannya. Dalam dunia perusahaan adalah pengulang-pengulang (recidivisten) yang tidak akan berhenti melakukan tindak-pidana ekonomi sampai mereka tidak mampu lagi melakukan tindak- pidana ekonomi itu. Adalah kemungkinan, bahwa penutupan perusahaan itu tidak rasional, misalnya apabila perusahaan itu adalah perusahaan yang mengambil bagian yang penting sekali dalam proses produksi atau distribusi. Untuk kemungkinan itu diadakan hukuman pengawasan atau pengampunan (pasal 8 sub a).
            Penutupan perusahaan ialah suatu hukuman. Penyerahan perusahaan yang ditutup kepada orang lain, sehingga orang itu dapat melanjutkan perusahaan itu dengan tak terganggu, menimbulkan suatu pelarian dari hukuman itu. Oleh sebab itu maka penyerahan serupa itu dapat dihukum pidana berdasarkan pasal 32 dan penyerahan itu adalah batal menurut pasal 34, ayat 1.
            Hukuman perampasan (pasal 7 sub c dan d) adalah penting sekali dalam peradilan tindak-pidana ekonomi. Hukuman itu di samping sifat hukuman, mempunyai tujuan besar untuk mengakhiri pelanggaran dan membawa kembali barang-barang yang bersifat ekonomi dalam masyarakat. Titik berat terutama terletak pada hal yang terakhir itu. Berhubung dengan itu maka hukuman perampasan sebagai diuraikan dalam pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Pidana diperluas dalam Undang-undang Darurat ini: perampasan dapat dilakukan pada segala kejahatan ekonomi dan hampir segala pelanggaran ekonomi. Lagi pula perampasan itu tidak dibatasi sampai "benda", yakni barang bergerak yang berujud, akan tetapi dapat dilakukan juga terhadap barang tak bergerak dan yang tak berujud, misalnya hisab bank. Untuk menghindarkan kemungkinan, bahwa perampasan itu akan salah dipergunakan, maka ditentukan, bahwa perampasan itu hanya dapat dilakukan setelah diperoleh persetujuan dari jaksa yang bersangkutan (bandingkanlah pasal 18 ayat 2). Selanjutnya dianggap baik, apabila perampasan dapat dilakukan juga terhadap barang yang bukan kepunyaan atau milik si terhukum. Hal ini misalnya terjadi, jika tindak-pidana ekonomi itu dilakukan oleh seorang direktur dari suatu badan hukum, sedang barang yang harus dirampas adalah barang dari badan hukum itu.
            Dunia perniagaan amat tergantung atas surat-surat izin: untuk dapat mengimpor dan mengekspor barang-barang tertentu perlu diperoleh lisensi; untuk mendapat premi-premi tertentu orang harus melakukan prestasi-prestasi tertentu. Hak-hak dan keuntungan-keuntungan itu diberikan oleh Pemerintah. Jika suatu pemborong tidak mempergunakan kayu yang diperoleh dengan lisensi dalam perusahaannya, akan tetapi menjual kayu itu di pasar gelap dengan harga yang tinggi sekali, tentu pemborong tidak harus mendapat lisensi yang baru.

Pasal 8
            Pasal 8 menyebut tindakan-tindakan tata-tertib yang dapat diambil jika dilakukan sesuatu tindak-pidana ekonomi. Dengan tegas dinyatakan, bahwa tindakan tata-tertib bukanlah tindakan tata-tertib yang semata-mata dapat diambil: pasal 6 ayat 3 menentukan, bahwa pun tindakan tata-tertib yang disebut dalam peraturan-peraturan lain, dapat dilakukan. Dengan kata-kata lain: pasal 8 adalah suatu tambahan, meskipun suatu tambahan yang penting sekali.
            Dalam a disebut pengampuan perusahaan si terhukum. Pengampuan itu dapat dilakukan terhadap suatu perusahaan di mana selalu dilakukan kecurangan-kecurangan atau di mana peraturan-peraturan yang diadakan untuk membesarkan produktivitet, dilalaikan. Di samping itu ada hal-hal lain di mana tindakan ini dapat diambil. Pasal 11 memberi hak kepada hakim untuk mengadakan tindakan-tindakan dan mengeluarkan aturan-aturan sesuai dengan taraf keadaan perusahaan.
            Dalam beberapa hal lebih baik pengampuan itu harus ditafsirkan sebagai pengawasan. Keuntungan yang diperoleh dari perusahaan itu dapat diberikan kepada si terhukum, akan tetapi kerugian yang diderita harus dipikul oleh yang bersalah.
            Dalam b disebut uang-jaminan. Uang jaminan itu hampir sama dengan hukuman denda. Perbedaan antara uang jaminan dan hukuman denda ialah, bahwa hukuman denda yang mungkin dijatuhkan itu lebih dahulu diserahkan kepada penuntut umum, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan dengan pasti dan dengan segera (bandingkanlah lebih lanjut pasal 12).
            Dalam c pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran, yang diperoleh dari suatu tindak-pidana atau dari tindak-tindak-pidana semacam itu. Tindakan itu diambil di samping hukuman pokok yang mungkin terdiri atas hukuman denda.
            Dalam d disebut kewajiban untuk mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak atau meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak atas biaya si terhukum. Tindakan itu telah dikenal dalam beberapa peraturan. Yang belum dikenal ialah kewajiban melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat yang terjadi karena suatu tindak-pidana ekonomi dilakukan. Tindakan itu dapat menguntungkan baik Pemerintah maupun orang partikulir, misalnya dalam hal kepada si pembeli harus dikembalikan harga yang diterima oleh penjual lebih dari harga yang diizinkan menurut peraturan harga. Pelaksanaan praktis dari tindakan tata-tertib ini dapat diatur oleh hakim menurut ketentuan pasal 10 ayat 1 dan 2.
Pasal 9
            Pada umumnya tindakan tata-tertib tidak dijatuhkan tersendiri. Tindakan tata-tertib tidak merupakan suatu hukuman yang bermaksud untuk menakuti, akan tetapi tindakan itu bermaksud untuk mencabut keuntungan yang diperoleh dengan tanpa hak, dan untuk memperbaiki perekonomian sedapat mungkin. Hanya dalam hal, menurut undang-undang tidak akan dijatuhkan hukuman karena pesakitan tidak atau kurang dapat dipertanggung jawabkan, akan tetapi ada alasan untuk menjatuhkan tindakan tata-tertib untuk kepentingan perekonomian, maka tindakan tata-tertib yang disebut dalam pasal 9, dapat diambil tanpa hukuman pidana.
Pasal 10
            Berhubung dengan luasnya hukuman tambahan dan tindakan tata-tertib dan karena sifatnya tindakan tata-tertib itu, maka dianggap perlu diberikan hak kepada hakim untuk membatasi hukuman dan tindakan itu pada pelaksanaannya yang dianggap perlu oleh hakim dalam praktek. Jika misalnya dijatuhkan tindakan penutupan perusahaan si terhukum, maka pelbagai konsekwensi dari hal itu harus ditentukan, seperti penyerahan perkakas-perkakas mesin tertentu, atau sebagian dari administrasi atau pemberitahuan, bahwa perusahaan itu ditutup pada bangunan-bangunan perusahaan itu.
            Jika keuntungan tertentu dicabut, maka tentu surat-surat yang berisi keuntungan itu harus diserahkan, dan sebagainya.
            Jika dijatuhkan tindakan pengampuan maka sudah tentu kepentingan dari hak yang diberikan kepada hakim menjadi titik berat mengenai peraturan-peraturan yang mengatur akibat-akibat dari pengampuan itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pengampuan harus diatur dan sebagainya.

Pasal-pasal 11, 12, 13 dan 14 tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 15
            Pasal 15 menetapkan, bahwa hukuman atau tindakan dapat dijatuhkan juga terhadap badan-badan hukum, perseroan-perseroan, perserikatan-perserikatan dan yayasan-yayasan. Dalam hukum pidana ekonomi aturan itu sangat dibutuhkan, oleh karena banyak tindak-pidana ekonomi dilakukan oleh badan-badan itu.
            Ilmu hukum pidana modern telah mengakui ajaran, bahwa hukuman dapat diucapkan terhadap suatu badan hukum.
            Ayat 1 pasal 15 menentukan, bahwa suatu tindak-pidana ekonomi dapat dilakukan oleh suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan atau suatu yayasan. Ayat 2 menentukan, dalam hal-hal mana suatu tindak-pidana ekonomi dianggap dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu. Tindak-pidana ekonomi itu dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, apabila tindak-pidana ekonomi itu dilakukan oleh seorang yang mempunyai suatu hubungan dengan badan itu, baik berdasar hubungan kerja, maupun berdasar hubungan lain. Selanjutnya ditentukan, bahwa orang itu harus bertindak "dalam lingkungan badan hukum itu". Anasir-anasir tindak-pidana ekonomi itu tidak usah berada pada satu orang, akan tetapi dapat dibagi pada lebih dari satu orang yang bertindak. Misalnya seorang direktur berniat melakukan suatu tindak-pidana ekonomi, akan tetapi tindak-pidana itu secara materiil dilakukan oleh seorang bawahan (bandingkanlah pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, suruh melakukan). Tuntutan pidana dilakukan terhadap pengurus yang mewakili badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu. Jika pengurus itu tidak ditentukan dengan tegas, maka jaksa berhak untuk menunjuk seorang dari mereka sebagai wakil. Wakil itu dapat diwakili oleh orang lain, akan tetapi hakim berhak memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri.
Pasal 16
Tidak Memerlukan Penjelasan.
Pasal 17
            Menurut redaksi pasal ini maka hak pegawai pengusut yang pada umumnya dibebani pengusutan tindak-tindak-pidana, tidak dikurangi atau ditiadakan. Semua orang itu tetap berhak mengusut. Pasal ini hanya memperluas adanya penjabat-penjabat yang akan berhak mengusut tindak-pidana ekonomi.
Pasal 18
            Pensitaan barang-barang tak berujud tidak terkenal dalam hukum pidana biasa, pensitaan barang-barang tak bergerak hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu. Ayat 3 dari pasal 18 memberi aturan istimewa. Adalah kemungkinan untuk memberi peraturan yang lain Kemungkinan itu disebut dalam ayat 5 dari pasal ini.
Pasal 19 sampai dengan 24
            Pasal-pasal ini memberikan beberapa hak kepada pegawai pengusut, yang tidak dikenal dalam hukum acara pidana biasa. Hak-hak itu dianggap perlu mengingat pentingnya tindak-pidana ekonomi dan perlunya ada pengusutan yang tepat mengenai tindak-pidana ekonomi itu. Bandingkanlah selanjutnya penjelasan umum, sebagai diterangkan di atas ini.
Pasal 25
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 26
            Tidak memenuhi perintah yang diberikan dengan sah oleh seorang pegawai pengusut menurut pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 bulan dan dua minggu atau denda setinggi-tingginya enam ratus rupiah. Ketentuan ini dipandang kurang cukup bagi tindak-pidana ekonomi, sebab seorang pegawai pengusut yang hanya berhak mengusut suatu tindak-pidana, tidak berhak membuat surat berita acara, dalam mana disebut pelanggaran pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu. Jika orang itu hendak melakukan pengawasan yang tepat dan efektif, ia senantiasa harus disertai oleh seorang saksi atau kawan sejabat. Jika tidak, maka tidak ada bukti cukup untuk menuntut pelanggaran yang disebut pada pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Keberatan yang kedua ialah, bahwa maximum hukuman pidana yang diancam dalam pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu adalah terlalu ringan. Berhubung dengan itu maka sengaja tidak menuruti tuntutan pegawai pengusut yang berdasarkan sesuatu aturan Undang-undang Darurat ini, dijadikan tindak-pidana ekonomi. Juga hukuman yang ditetapkan dalam pasal 6 sampai dengan 8 undang-undang ini, dapat dijatuhkan kepada orang yang tidak memenuhi perintah yang dimaksud di atas itu.
Pasal 27
            Pasal 27 - dan atas dasar yang sama juga pasal 28 sampai dengan 30 - telah diuraikan dalam penjelasan umum. Maksudnya pasal-pasal itu ialah, supaya gangguan dalam dunia perekonomian yang terjadi karena dilakukan sesuatu tindak-pidana ekonomi, dapat ditiadakan dengan segera, sedang reaksi yang dengan segera dapat diadakan atas tindak-pidana itu menimbulkan suatu "preventieve werking" yang kuat.
Pasal 31
            Berdasarkan pasal 31 dapat diberikan penggantian kerugian karena dijatuhkan tindakan tata-tertib sementara yang kurang tepat.
Pasal 32
            Memenuhi hukuman tambahan atau tindakan tata-tertib yang dijatuhkan, seringkali tidak mudah dapat dipaksakan kepada yang bersalah. Seorang pengusaha yang membandel mempunyai banyak alat-alat untuk menghindarkan diri dari pelakuan pelbagai hukuman atau tindakan tata-tertib, sehingga sukar dapat diambil tindakan yang tepat terhadap orang itu. Kesulitan itu dapat diatasi, apabila dengan sengaja berbuat sesuatu yang bertentangan dengan suatu hukuman tambahan atau suatu tindakan tata-tertib atau tindakan tata-tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan atau tindakan tata-tertib (sementara) itu, dijadikan suatu tindak-pidana ekonomi.
Pasal 33
            Jika diancam atau dijatuhkan hukuman berat terhadap kekayaan, maka seringkali yang terancam dan terhukum berusaha untuk menghindarkan diri dari hukuman kekayaan itu. Hal itu dapat diatasi, jika seorang yang, sengaja, baik sendiri, maupun dengan perantaraan orang lain, menarik bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman atau tindakan tata-tertib (sementara) yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini, dianggap melakukan suatu tindak-pidana ekonomi.

Pasal 34
            Perbuatan hukum yang diuraikan dalam pasal 32 dan 33 pada umumnya telah batal menurut undang-undang sipil. Tidak seorang pun boleh menarik keuntungan dari seorang terhukum yang berbuat sesuatu yang menghindarkan diri dari hukuman yang dijatuhkan kepadanya.
            Pada umumnya itikad buruk ("kwade trouw") harus dibuktikan. Tetapi suami (isteri) dan kaum keluarga si terhukum sampai dengan pupu ketiga dan mereka yang bekerja pada orang yang bersalah itu, dianggap tidak mempunyai itikad baik, kecuali, jika mereka dapat membuktikan sebaliknya.
Pasal 35 sampai dengan 49
Telah dijelaskan dalam penjelasan umum.
Pasal 50
Tidak memerlukan penjelasan.
KETENTUAN PENUTUP
Tidak memerlukan penjelasan.
                                      --------------------------------
                                                           CATATAN

Kutipan:          LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1955 YANG TELAH DICETAK ULANG