Gedung DITRESKRIMSUS POLDA KALSEL

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Apel Pagi

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Apel Pagi

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Acara Keagamaan

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Acara Keagamaan

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Piket

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Sidang Disiplin

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Hasil Giat Subdit 1

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Gelar Perkara

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Hasil Giat Subdit 1

Ditreskrimsus Polda Kalsel

Minggu, 22 September 2013

Pertanggungjawaban Direksi


PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI DALAM
PENGELOLAAN PERSEROAN*

Oleh
Bismar Nasution**

A.  Prinsip Fiduciary Duty
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah  seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan  dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil,  dalam hal ini  peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas,  wakil  atau  wali,  dan  pelindung  (guardian). termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary denganclient-nya.[1]
Dalam pengelolaan perseroan atau perusahaan, para anggota direksi dan komisaris sebagai salah satu organ vital dalam perusahaan tersebut merupakan  pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. 
Di sini direksi memiliki posisi fiducia dalam pengurusan perusahaan dan mekanisme  hubungannya harus  secara  fair. Menurut  pengalaman  common  law hubungan itu  dapat  didasarkan  pada teori  fiduciary duty.[2] Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Dalam memahami  hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary  relationship) tersebut, common law mengakui bahwa orang  yang  memegang  kepercayaan  (fiduciary) secara  natural  memiliki  potensi  untuk  menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang  kepercayaan tersebut harus didasarkan  kepada standar  yang  tinggi.[3] 
Negara-negara common law seperti Amerika Serikat yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality danduty of care. Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.[4] ,sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care)[5]. Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyality).[6] Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan Fiduciary Duty dapat menyebabkan direktur untuk dimintai pertanggung jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya. baik kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.[7] 
Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.  Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi Lebih jelasnya pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadi.lan. sedangkan Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.
Dalam konteks direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.[8]
Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan kewajiban kewenangan yang dimilikinya.  Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsipfiduciary duty.
Jika kita menghubungkannya dengan identification theory dalam wacana common law sebagaimana telah diuraikan diatas,  kesalahan yang dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat: i) tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka, ii) bukan merupan penipuan yang dilakukan untuk perusahaan, iii) dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi.  Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.
B.   Duty of Care Atas Direksi
Salah satu cara untuk melihat apakah direksi melakukan pengelolaan perseroan yang salah atau tidak bersalah adalah menilai apakah mereka gagal melakukan tugasnya dalam pengelolaan perseroan tersebut. Di samping itu, bisa pula dilihat dari berbagai kasus yang melibatkan direksi dalam konflik kepentingan (conflict of interest).[9]
Dalam konteks itu, harus dipisahkan penilaian berkenaan dengan kelalaian dan incompetence.[10] Hal ini dapat dipahami dari tradisicommon law, seperti Amerika Serikat, dimana terdapat pendapat pengadilan dalam Bayer v. Beran, 49   N.Y.S.2d 2, 6 (1944), yang menyatakan, bahwa “it is unusual for directors to be liable for negligence in the absence of fraud or personal interest.”[11]Tambahan lagi, berbagai kasus menjelaskan bahwa dalam mengkritisi pengelolaan perseroan oleh direksi bukan hanya didasarkan kepada peraturan perundang-undangan, namun dilihat pula bagaimana direksi melakukan bisinis perseroan.[12]
Dipandang secara sekilas hukum perseroan mengisyaratkan bahwa direksi harus mengelola perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya sebagaimana halnya para pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh kehati-hatian.[13] 
Hukum perseroan di Indonesia juga telah mengisyaratkan agar direksi dalam mengelola perseroan dengan kehati-hatian. Pasal 85 ayat (1) UUPT menentukan, bahwa “setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.” Namun ketentuan Pasal 85 ayat (1) tersebut tidak menjelaskan batasan kehatian-hatian. Akibatnya, sulit menentukan kapan direksi perseroan masuk pada kategori tidak mengelola perseroan dengan kehati-hatian.
Berbeda dengan The American Law Institute Principles of Corporate Governance yang telah menentukan 3 (tiga) kategori “kehatian-hatian yang semestinya” (“due care”) dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, “care that an ordinarily prudent person would exercise in like position and under similar circumstance.” Kedua, care exercised  by prudent person in this own affairs.” Ketiga,” in a manner he reasonably believes to be in the best interests of the corporation.”[14]
 Dalam hal kehatian-hatian direksi mengelola perseroan tersebut perlu pula mengkaji pertimbangan bisnis (business judgment). Hakim Shientag dalam perkara Casey v. Woodruff, 49 N.Y.S.2d 625, 643 (1944) berpendapat sebagai berikut:
The fundamental concept of negligence does not vary,wheter it is applied to the case of a simple personal injury action or to liability of directors in the managenment of the affairs of their corporation. A pedestrian crossing the street is under a duty to use reasonable care. He is required to look before he crosses, “but the law  does not say how often he must look or precisely how far, or when or from where…….. If he has used his eyes , and has miscalculated the danger, he may still be free from fault,”Knapp v.Barret, 216 N.Y,230,110 N.E. 428, 429. The law does not hold him guilty of negligence although if he had looked oftener the accident might have been avoided. He discharges his duty when  he has acted with reasonable prudence. So it is with directors. The law requires the use of judgment, the judgment of ordinary prudence, but it does not hold directors liable simply because they might have use better judgment.
The question is frequently asked, how does the operation of the so-called “bussines judgment rule” tie in with the concept of negligence? There is no conflict between the two. When courts say that they will not interfere in matters of bussines judgment, it is presupposed that judgment-reasonable diligence-has in fact been exercised. A director cannot close his eyes to what is going on about him in the conduct of the bussiness of the corporation and have it said that he is exercising bussiness judgment. Courts have properly decided to give directors a widw atitude in the management of the affairs of a corporation provided alwalys that judgment, and that means an honest, unbiased judgment, is reasonably axercised by them.[15]  
Dalam sistem hukum perseroan di Indonesia, Komisaris[16] adalah organ atau badan pengawas mandiri PT. Berbeda dengan sistim hukum perseroan Anglo Amerika yang tidak mengenal Komisaris. Tetapi ada kesan bahwa Board of Directors yang dikenal dalam hukum perseroan Anglo Amerika mirip dengan Komisaris. Tetapi jika diperhatikan kemiripan tersebut adalah semu. Karena pada hakekatnya Board Of directors itu adalah organ eksekuttif PT. Hal ini terlihat dari fungsi Board Of Directors sebagai the Power and the duty to manage or direct the corporaton.[17].  
Selanjutnya disebutkan bahwa[18] kewajiban Board Of Directors adalah sebagai. berikut: .
a.   Protect the assets and other interest of the share holder of the corporations
b.   To ensure the continuity of the corporation by inforcing the articless and by laws and by seeing that a sound board of directors Is maintained.
c.    To make decisions that are not delegable, such as the payment of dividends.
Komisaris dalam hukum perseroan di Indonesia mirip dengan jabatan Komisaris, yang dikenal dalam hukum perseroan Belanda.[19]Karena baik hukum perseroan Indonesia maupun Hukum Perseroan Belanda menentukan bahwa tidak ada keharusan bagi sebuah PT mempunyai komisaris. Kecuali PT tertentu di Indonesia, seperti PT yang bidang usahanya mengerahkan dana masyara­kat, peseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang, atau Perseroan Terbatas (Pasal 94 ayat (2) UUPT dan juga  PT persero sebagaimana ditentukan pasal 34 ayat (1). Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1983. Walaupun demikian sifat fakultatif dari hukum perseroan tersebut, pembuat Undang-Undang mengandaikan bahwa setiap PT yang mempunyai komisaris sebagaimana yang diatur dalam pasal 43, 52 dan 54 ayat 2 K.U.H.D serta Pasal 94 ayat (1) UUPT.
Penerapan prinsip duty of care dapat dipahami dalam Francis v. United Jersey Bank, 392 A.2d. 1233(1978) dimana perkara ini relevan untuk kondisi perusahaan termasuk perbankan di Indonesia. Perkara ini menyangkut Pritchard & Baird Intermediaries Corp. Pritchard & Baird suatu perusahaan yang bergerak dalam bisnis broker reasuransi. Charles Pritchard Sr., pendiri perusahaan yang selama beberapa tahun adalah pemegang saham utama dan sekaligus pengendah perusahaan. Pada tahun 1970 Pritctard Sr. mengajak anak-anaknya Charles Jr. dan William turut mengelola perusahaan dan pada saat Pritchard Sr. meninggal pada 1973 kedua anaknya tersebut mengambil alih kendali perusahaan.
Kedua anaknya tersebut telah menggelapkan uang perusahaan dalam bentuk “pinjaman pemegang saham” dan pembayaran-pembayaran yang tidak pada tempatnya (improper) kepada anggota keluarga. Pengeluaran uang ini tercermin dalam laporan keuangan perusahaan sebagai “pinjaman pemegang saham”. Akibat transaksi ini perusahaan menjadi insolven, dan pada akhir 1975 bangkrut. Francis kemudian ditunjuk sebagai trustee dalam kebangkrutan Pritchard & Baird. Dalam upaya memenuhi kewajiban perusahaan, Francis menggugat: (1) warisan Ri­chard Sr., yang bertindak sebagai administraturnya adalah United Jer­sey; (2) warisan Lilian Pritchard, isteri Richard Sr. dan komisaris perusahaan sejak saat perusahaan berdiri sampai bangkrut. Lilian meninggal dunia pada saat proses kebangkrutan dimulai. Pertanyaan utama dalam kasus ini adalah apakah Lilian Pritchard telah bertindak sembrono(negligently) sebagai komisaris, sehingga tidak mengetahui dan tidak menghentikan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak-anaknya. Apabila jawaban terhadap pertanyaan ini benar, maka warisannya dapat dijadikan sebagai sumber pembayaran kewajiban perusahaan. Dalam kasus ini pendapat pengadilan sebagai berikut.
Komisaris bertanggungjawab atas menajemen perusahaan secara umum, dan bertanggungjawab khusus dalam kaitannya dengan distribusi aset kepada pemegang saham dan pemberian pinjaman kepada staf dan direksi. Benar bahwa Mrs. Pritchard tidak pernah terlibat dalam bisnis perusahaan dan hampir tidak memiliki pengetahuan mengenai kegiatan perusahaan. Tergugat jarang datang ke perusahaan dan tidak pernah membaca dan mendapatkan laporan keuangan perusahaan. Tergugat juga sudah tua dan tidak mengerti seluk-beluk bisnis asuransi. Laporan keuangan Pritchard & Baird disusun setiap tahun. Bentuk laporan keuangan ini sederhana tidak lebih dari tiga atau empat halaman. Laporan keuangan tahunan perusahaan secara jelas memuat tentang pembayaran yang dilakukan kepada keluarga Pritchard dan juga secara jelas mencerminkan kesulitan keuangan perusahaan. Singkatnya, siapa saja yang melihat laporan keuangan tersebut dan mengetahui sedikit tentang kegiatan perusahaan akan mengetahui bahwa Charles Jr. dan William telah mencuri uang perusahaan yang seharusnya dibayarkan kepada klien perusahaan.
Pengadilan menyatakan bahwa secara inheren tugas komisaris adalah yang bersangkutan harus memiliki ide dasar atas bisnis perusahaan. Komisaris harus mengetahui usaha apa yang dilakukan perusahaan dan harus memiliki ide dasar tentang ruang lingkup kegiatan perusahaan. Dalam hubungan ini, Mrs. Pritchard harus mengetahui bahwa Pritchard & Baird melakukan bisnis broker reasuransi dan setiap tahun menangani jutaan dollar yang dimiliki oleh atau harus dipertanggung-jawabkan kepada banyak nasabah. Dengan demikian pengadilan berpendapat bahwa seorang komisaris pada posisi Mrs. Prichard memiliki kewajiban “bare minimal” untuk meminta dan membaca laporan keuangan tahunan lerusahaan dan bereaksi segera setelah membacanya. Meskipun komisaris tidak diwajibkan mengaudit buku perusahaan, komisaris harus familiar dengan status keuangan perusahaan dengan secara teratur mereview laporan keuangan perusahaan dan bahwa seorang komisaris bukan hiasan tetapi merupakan bagian penting dari corporategovernance dan tidak dapat berlindung dibalik motto “dummy director”.
Pengadilan menyatakan bahwa tergugat mampu mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh anak tergugat. Mendeteksi penyalahgunaan uang tidak memerlukan keahlian khusus atau kepintaran yang luar biasa. Dengan membaca sepintas laporan keuangan akan dapat mengetahui perbuatan tersebut. Dengan demikian apabila Tergugat membaca laporan keuangan, tergugat akan mengetahui bahwa bahwa anaknya telah melakukan penggelapan uang.
Pengadilan berpendapat bahwa Tergugat wajib membaca laporan keuangan dan melakukan usaha-usaha secukupnya untuk mendeteksi dan mencegah perbuatan melanggar hukum pejabat dan komisaris lainnya. Tergugat memiliki kewajiban untuk melindungi nasabah perusahaan terhadap kebijakan dan praktik-praktik yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan uang yang dipercayakan kepada perusahaan. Tergugat telah melanggar kewajibaruiya tersebut. Argumentasi bahwa tergugat hanya “figurehead director” tidak dapat diterima. Dalam kontemplasi hukum tidak dikenal “figurehead director”,  hal ini telah lama dikenal dalam industri perbankan. 3A Fletcher, Cyclopedia of the Law of Private Corporations, # 1090 menyatakan:
It quently happ ens that persons become directors of banking houses for the purp ose o capitalizing the position in the community where the bank does business, without any intention of watching or participating in the conduct of its affairs. It is a danger­ouspracticc for director, since such tgunheads and rubber stamps an universally held liable on the ground that they have not discharged their duty nor exercised the re­quired amount of diligence exacted of them. 
Tidak terdapat alasan berdasarkan peraturan bahwa yang dinyatakan oleh Flecher tersebut hanya berlaku terbatas bagi perbankan. Pengadilan berpendapat bahwa Mrs. Pritchard telah lalai dalam melaksanakan tugasnya sebagai komisaris Pritchard & Baird. Apabila yang bersangkutan melakukan tugasnya dengan hati-hati (due care) dia akan mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh Charles Jr. dan William. Kelalaiannya tersebut telah menyebabkan kerugian pada nasabah. Dengan demikian warisannya harus dipergunakan untuk membayar kewajiban perusahaan.[20]
C.  Duty of loyality
Duty of loyalty kepada perusahaan mencegah direksi mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan. Dalam penggunaan properti misalnya komisaris secara tegas dilarang menggunakan aset perusahaan dalam membangun usahanya pribadi. Komisaris juga tidak diperkenankan memanfaatkan properti atau keuntungan lainnya  untuk kepentingan pribadi apabila perusahaan berkepentingan atau perusahaan memiliki keinginan (expectancy) atas properti tersebut. Sebagai contoh, apabila perusahaan telah menyewa suatu properti maka komisaris tidak boleh membeli properti tersebut untuk dirinya. Suatu perusahaan dikatakan memiliki ekspektansi apabila secara rasional dapat dilihat bahwa perusahaan memiliki kepentingan atas properti tersebut. Dalam hal suatu kesempatan terkait erat dengan bisnis perusahaan maka itu juga berarti suatu ekspektansi.
Dalam perkara Johnston v. Greene.[21] O memiliki kepentingan besar atas perusahaan A, AC dan C dan banyak perusahaan lainnya. Perusahaan  A didirikan untuk membiayai atau menyewakan pesawat terbang, akan tetapi tidak pernah melaksanakannya. Perusahaan A likuid dengan banyak uang tunai. Kepada Perusahaan A ditawarkan kesempatan bisnis membeli perusahaan yang memproduksi mur (nut) pesawat terbang. Yang ditawarkan adalah saham dan hak paten yang dimiliki perusahaan. Sejumlah penasehat menyarankan bahwa lebih baik memisahkan kepemilikan saham dengan kepemilikan hak paten. O mempresentasikan tawaran bisnis tersebut kepada 3 komisaris perusahaan A yang O merupakan salah satunya. Perusahaan A kemudian hanya membeli saham dan O kemudian menjual hal paten kepada kelompok 37 orang. Pemegang saham Perusahaan A menggugat O dengan tuduhan telah mengambil corporate opportunity. Pertanyaan yang diajukan ke pengadilan adalah apakah O telah mengambil kesempatan yang seharusnya diberikan kepada Perusahaan A. Pengadilan berpendapat O tidak mengambil kesempatan dengan a pertimbangan. Pertama, O memiliki banyak hubungan dengan perusahaan-perusahaan. Kesempatan bisnis tersebut ditawarkan kepadanya, berarti secara individual. Perusahaan A tidak memiliki ekspektansi atas kesempatan bisnis tersebut, karena tidak memiliki keterkaitan erat dengan bisnis Perusahaan A. adalah benar bahwa A memiliki banyak uang tunai dan sedang mencari peluang investasi. Ketiga, kesempatan telah diberikan kepada Perusahaan A yang kemudian menolak pembelian hak paten. Terdapat alasan yang cukup bagi Perusahaan A menolak pembelian paten atas saran dari penasehat. Keempat, O tidak membeli hak paten untuk dirinya akan tetapi menjualnya kepihak lain. Dengan demikian O telah bertindak adil.
 Dalam perkara Lewis v. Fuqua.[22] Pada tanggal 3 Maret, Fuqua Industries membeli 425.365 lembar saham Triton Prefered dari American Financial Corp. (AFC) dengan harga 45 sen per lembar. Triton adalah perusahaan holding dari negara bagian Delaware yang asset miliknya termasuk project real estate dan sedang mengalami kerugian USD 160 juta. Sebulan sebelumnya J.D. Fuqua (komisaris utama dan CEO perusahaan) telah membeli dua juta lembar saham Triton dari AFC. Pada tanggal 7 Maret 14 tergugat membeli sisa saham sejumlah 1.260.450 lembar yang dimiliki AFC. Beberapa waktu kemudian Fuqua Industries membeli saham Triton yang dimiliki Abthony Wals dengan harga 30 sen lebih mahal. Lewis, pemegang saham Fuqua Industris mengajukan gugatan derivatif terhadap Fuqua Industries. Lewis menuduh J.D. Fuqua dan lainnya telah merampas kesempatan bisnis (business opportunity) Fuqua Industries. Fuqua Industries kemudian menunjuk suatu komite yang terdiri dari satu orang untuk mengkaji gugatan dan meminta agar pengadilan menolak gugatan atas dasar rekomendasi komite tersebut. Permasalahannya adalah apakah ada alasan yang tepat (reasonable) untuk menyimpulkan bahwa tidak ada kesempatan bisnis yang dirampas sehingga gugatan harus ditolak. Pengadilan berpendapat tidak ada alasan untuk menolak gugatan dengan pertimbangan. Pertama, tidak masuk akal kesimpulan komite bahwa kesempatan membeli saham Triton bukan corporate opportunity. Komite menggunakan empat elemen sebagai  “fairness test” dalam menyimpulkan apakah ada corporate oppotunity. Keempat elemen tersebut adalah kepentingan (interest) atau ekspektansi (harapan), bidang usaha (line of business), keuntungan praktis (practical advantage) dan penggunaan sumber daya perusahaan.Kedua, berdasarkan elemen pertama fairness test, komite menyimpulkan tidak ada kepentingan atau harapan karena tergugat tidak memiliki kepentingan atas saham pada saat komisaris melakukan pembelian. Komite seharusnya melihat keadilan transaksi tersebut secara substantif bukan hanya keputusan bisnis (business judgement). Transaksi adalah tidak wajar (reasonable)  karena keputusan tidak membeli saham dibuat oleh orang yang kemudian melakukan pembelian. Ketiga, atas dasar test kegiatan usaha, komite menyimpulkan meski Triton berada pada kegiatan usaha yang sama namun kebijakan perusahaan melarang perusahaan mengambil  kesempatan. Komite menyimpulkan bahwa Tergugat menjalankan kebijakan keuntungan yang tinggi sedangkan Triton menderita kerugian sehingga tidak konsisten dengan kebijakan perusahaan. Alasan ini juga tidak masuk akal karena perusahaan juga melakukan pembelian sebagian saham. Keempat atas dasar test  practical advantage, komite menyimpulkan bahwa saham Triton bukan practical advantage bagi Fuqua Industries karena kerugian Triton akan tercermin pada laporan keuangan Fuqua Industries. Alasan ini juga tidak logis, karena dewan komisaris telah memutuskan kerugian Triton dicatat dalam laporan keuangan Fuqua Industries secara proporsional dengan jumlah saham yang dimiliki yaitu hanya 1.1%. Kelima, komite telah benar menyimpulkan bahwa tidak ada dana perusahaan yang digunakan, akan tetapi elemen ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan tidak ada corporate opportunity yang dirampas. Terakhir, tidak masuk akal menyimpulkan bahwa komisaris tidak memiliki kepentingan. Gugatan menuduh bahwa komisaris mengalihkan kesempatan perusahaan membeli saham Triton kepada mereka dan untuk keuntungan mereka sendiri. Oleh karena itu, Penggugat berhak mendapatkan ganti rugi.
Beberapa alasan digunakan oleh komisaris sebagai bantahan atas gugatan telah merampas corporate opportunity. Pertama, kapasitas sebagai individu. Komisaris menyatakan bahwa kesempatan bisnis tersebut diberikan kepada dirinya sebagai individu. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kesempatan tersebut datang kepadanya dan mengapa. Apakah merupakan kesempatan bisnis yang secara rasional diminati perusahaan. Kedua, perusahaan tidak mampu melaksanakan kesempatan yang ditawarkan. Secara umum, komisaris dapat mengambil keuntungan atas suatu peluang bisnis yang tidak mampu dilakukan oleh perusahaan. Misalnya perusahaan sedang berada dalam keadaan insolven. Namun demikian, mengingat penilaian apakah perusahaan mampu atau tidak memanfaatkan kesempatan bisnis yang ditawarkan bersifat relatif maka seharusnya komisaris menjelaskan terlebih dahulu kesempatan tersebut kepada dewan komisaris atau pemegang saham. Ketiga, perusahaan menolak peluang yang ditawarkan. Apabila perusahaan, dalam hal ini komisaris independen atau pemegang saham independen, setelah dijelaskan adanya kesempatan bisnis tersebut dan menolaknya maka komisaris dapat memanfaatkan kesempatan bisnis tersebut.
Apabila komisaris telah terbukti merampas peluang bisnis perusahaan maka apabila properti tersebut telah dijual, keuntungan yang diperoleh dari penjualan tersebut harus diserahkan kepada perusahaan. Disamping itu perusahaan dapat memaksa komisaris untuk menyerahkan properti kepada perusahaan.[23] 
BUSINESS JUDGMENT RULE 
A. Tugas dan Wewenang Direksi
Secara legal mandate pengelolaan perseroan “harus dikelola oleh direksi.”[24]  Di samping itu, direksi[25] sebagai organ PT adalah mewakili kepentingan PT selaku subyek hukum mandiri. Karena keberadaan PT adalah sebab keberadaannya (maison di etre) direksi. Oleh karena apabila tidak ada PT, maka direksi juga tidak akan pernah ada. Hal ini menjadi alasan bahwa direksi harus selamanya mengabdi kepada kepentingan PT. Dengan perkataan lain, direksi wajib mengabdi kepada kepentingan semua pemegang saham, bukan mengabdi kepada kepentingan satu atau beberapa pemegang saham. Artinya direksi bukan wakil pemegang saham, tetapi merupakan wakil PT selaku persona standi in judicio.
Menurut Pasal l79 ayat 1 UUPT pangurusan PT dipercayakan kepada Direksi[26] Lebih jelasnya pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa ”Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.” Atas pengurusan Direksi ini dapat memberi kesimpulan bahwa Direksi ditugaskan dan berwenang untuk hal-hal sebagai berikut : pertama mengatur atau mengelola kegiatan-kegiatan PT. Kedua, mengurus kekayaan PT. Ketiga, mewakili PT di dalam dan di luar Pengadilan.
Selanjutnya Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa :
(1) Setiap anggota Direksi Wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan.
(2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian kepada Perseroan.
Ketentuan Pasa1 85 ayat 3 UUPT di atas ini secara jelas memberikan hak derivatif (derivatif right) kepada pemegang saham minoritas. Dengan perkataan lain UUPT memberikan hak kepada pemegang saham minoritas untuk mewakili kepentingan perseroan mengaju­kan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang merugikan Perseroan. Hukum perseroan di Amerika Seri­kat, telah mengatur 3 (tiga) tipe perangkat hukum pemegang saham. Pertama, para pemegang saham boleh mengadakan tindakan-tindakan atas nama mereka sendiri untuk restrukturisasi perusahaan atau untuk menghalangi terjadinya pengingkaran kontrak pemegang saham mereka. Kedua, mereka diperbolehkan melakukan class action yang mewakili mereka sendiri atau pemegang saham lainnya, yang secara bersama-sama dirugikan sebagai pemegang saham individu. Ketiga, mereka diperbolehkan melakukan derivative suit.[27] 
Tugas Direksi dalam mengatur atau mengelola kegiatan­-kegiatan usaha PT dan mengurus kagiatan PT diatas tidak dapat dipisahkan dalam hal PT. Karena pengurusan kekayaan PT harus menunjang terlaksananya kegiatan usaha PT. Dengan ini direksi hanya mempunyai 2 (dua) tugas yaitu, pengelolaan dan perwaki­lan PT, Untuk pelaksanaan kedua tugas Direksi itu perlu menjadi perhatian bahwa pengelolaan PT pada hakekatnya adalah tugas dari semua anggota direksi tanpa kecuali (Collegiale bestur­rsverant woordelijkheid). Dengan ini tugas dan wewenang untuk mengelola PT adalah tugas dan wewenang setiap anggota Direksi.
Terdapat 2 (dua) alasan mengenai tanggung jawab pribadi direksi secara tanggung renteng itu. Pertama, PT adalah subjek hukum mandiri. Kedua, PT sebagai ciptaan hukum mutlak memerlukan direksi yang ditugaskan untuk mengelola dan mewakilinya. Berarti tanggung jawab direksi dalam mengelola PT adalah akibat dari tugas dan wewenang yang dipercayakan padanya. Jadi selama direksi menjalankan kewajibannya dalam batas-batas kewenangan dalam menja­lankan tugasnya itu dibebankan kepada PT. Prinsip ini berlaku di berbagai negara, baik negara yang menganut sistim common law maupun sistim civil law.
Jika direksi dalam menjalankan tugasnya berada di luar batas-batas kewenangannya (melanggar ketentuan Anggaran Dasar), maka semua anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi. Dalam hal ini PT tidak ikut bertanggung jawab, oleh karena direksi yang melanggar Anggaran Dasar tidak mengikat PT. Di Indonesia dalam hal  ini diatur dalam pasal 85 ayat (2) UUPT.
Tanggung jawab direksi secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudu­kannya sebagai direksi, tetapi untuk dibebankan tanggung jawab tersebut, direksi tersebut harus telah melakukan hal-hal terhadap tindakan perusahaan.  Pertama, direksi mengizinkan perbuatan tersebut. Kedua, direksi meratifikasi perbuatan tersebut. Ketiga, direksi ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut.
Hukum perseroan di Indonesia telah menentukan tugas dan wewenang serta tanggung jawab Direksi secara detail antara lain sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 56 UUPT, Pasal_ 59 UUPT, Pasal 79 UUPT, Pasal 82 UUPT, Pasal 85 UUPT, Pasal. 86 UUPT, Pasal. 87 UUPT dan Pasal 88 UUPT.
Pasal 56 UUPT menyatakan, bahwa dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi. menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekur­ang-kurangnya :
a.   Perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan Perhitungan laba rugi dan tahun buku yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen   terse­but.
b. Neraca gabungan dari perseroan yang tergabung dalam satu grup, disamping neraca dari masing-masing perseroan terse­but.
c.   Laporan mengenai. keadaan dan jalannya perseroan serta hasil yang telah dicapai;
d.   Kegiatan utama perseroan dan perubahan selama tahun buku;
e.   Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mem­pengaruhi kegiatan perseroan;
f.    Nama anggota direksi dan. Komisaris; dan
g.   Gaji dan tunjangan lain bagi anggota Direksi dan Komisaris.
Pasal 57 UUPT menentukan, bahwa :
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ditan­datangani oleh semua anggota Direksi dan Komisaris.
(2) Dalam hal ada anggota Direksi atau Komisaris tidak menan­datangani laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disebutkan alasannya secara tertulis.
Pasal 59 UUPT menyatakan, bahwa :
(1) Direksi wajib menyerahkan perhitungan    tahunan perseroan kepada akuntan publik untuk diperiksa apabila :
a.   bidang usaha perseroan berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat
b.   perseroan mengeluarkan surat pengakuan utang;
c.   perseroan merupakan Perseroan Terbuka.
(2) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, perhitungan tahunan tidak boleh disahkan.
(3) Laporan hasil pemeriksaan akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada RUPS melalui Direksi.
(4) Perhitungan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah mendapat pengesahan RIIPS diumumkan dalam 7 (dua) surat kabar harian.
Pasa1 60 UUPT menyebutkan, bahwa :
(1) Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan dilakukan oleh RUPS.
(2) Keputusan atas persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diambil sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. dan atau Anggaran Dasar.
(3) Dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar dan atau menyesatkan, anggota Direksi dan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.
(4) Anggota Direksi dan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahannya.
Pasal 79 UUPT menyatakan, bahwa :
(1) Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi.
(2) Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyara­kat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(3) Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
Pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Dalam ha anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, maka yang berwenang mewakili. perseroan adalah setiap anggota Direksi kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang dan atau Anggaran Dasar. Anggaran Dasar dapat menentukan pembatasan wewenang anggota Direksi, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 83 UUPT.
Selanjutnya pasal 84 :
(1) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila :
a.   Terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau
b. Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepen­tingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan.
(2) Dalam Anggaran Dasar ditetapkan yang berhak mewakili perseroan apabila terdapat keadaan sebagaimana dimaksud.
(3) Dalam hal Anggaran Dasar tidak menetapkan ketentuan tersebut RUPS mengangkat 1 (satu) orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan.
Pasal 136 UUPT menyatakan, bahwa :
(l) Direksi wajib :
      a.   membuat dan memelihara Daftar Pemegang Saham, risalah RUPS, dan risalah rapat Direksi; dan
            b.   menyelenggarakan pembukuan perseroan
(2)  Daftar Pemegang Saham, risalah dan pembukuan tersebut disimpan di tempat kedudukan perseroan.
(3)  Atas permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk memeriksa dan mendapatkan salinan Daftar Pemegang Saham, risalah dan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 87 UUPT menyatakan, bahwa Anggota Direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada perseroan terebut dan perseroan lain.
Pasal 88 UUPT mengatur tentang kewajiban Direksi dalam  hubungannya dengan peralihan dan penjamin kekayaan perseroan.
(1)  Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan.
(2) Perbuatan Hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik.
(3) Keputusan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling Sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut.
(4) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diu­mumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan.
Direksi dapat memberikan kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan perseroan atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu. (Pasal 89)
Sedangkan Pasal 90 UUPT mengatur tanggung jawab Direksi sehubungan dengan kepailitan akibat kesalahan atau kelalaian  Direksi :
(1) Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar perseroan dinyatakan pailit berdasarkan kepu­tusan RUPS.
(2) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kela­laian Direksi. dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung jawab renteng bertanggung jawab atas kerugian itu.
(3) Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.

Direktur Independen.
Di samping pembahasan Direksi di muka, masih ada isu mengenai perlunya direktur independen dalam sebuah perusahaan telah muncul ketika ada wacana pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Pasar Modal. Isu ini muncul untuk menjamin perlindungan  terhadap kepentingan pemegang saham minoritas (yang bukan Pemegang Saham Pengendali) agar tercermin dengan adanya wakil-wakil mereka yang duduk sebagai Direksi. [28] Selain itu di dunia internasional isu mengenai perlu direktur independen juga muncul karena banyaknya kasus yang terjadi akibat kelemahan kontrol akibat sistem pengelolaan perusahaan yang buruk.  Hal ini memicu penerpan sistem direktur independen dalam prinsip-prinsip good corporate governance. Selanjutnya, kajian yang dibuat oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa lemahnya penerapan corporate governance merupakan faktor yang menentukan parahnya krisis di Asia. Kelemahan tersebut antara lain terlihat dari minimnya pelaporan kinerja keuangan dan kewajiban-kewajiban perusahaan, kurangnya pengawasan atas aktivitas manajemen oleh Komisaris dan Auditor, serta kurangnya insentif untuk mendorong terciptanya efisiensi di perusahaan melalui mekanisme persaingan yang fair.[29]
Di China misalnya, pengaturan mengenai direktur independen dipicu oleh adanya skandal Shenzhen-listed Guangxia (Yinchuan) Industry Co yang telah memanipulasi laporan keuangannya. Skandal ini dianggap telah menambah panjang buruknya penerapangood corporate governance di China. Sehingga pada tahun 2001 untuk mengatasinya China Securities Regulatory Commission(CSRC) mengeluarkan sebuah regulasi tentang kewajiban untuk mempekerjakan minimal 2 direktur independen dalam perusahaan yang terdaftar dalam bursa. Menurut regulasi tersebut direktur independen diberi wewenang mengajukan proposal untuk menyelenggarakan RUPS, menunjuk dan memberhentikan kantor akuntan yang mengaudit perusahaan, mengangkat auditor independen dan menawarkan laporan keuangan independen sebagai tambahan tugas mereka sebagai direksi. Mereka juga dapat memberikan opini independen mengenai transaksi besar perusahaan, mengatur tugas dan pembayaran personil manajemen dan mengajukan keberatan apabila perusahaan mengambil kebijakan yang merugikan kepentingan pemegang saham minoritas.[30]
Secara umum Direksi Independen dapat juga mempunyai tugas dan wewenang untuk hal-hal tertentu. Misalnya, perbuatan-perbuatan di bawah ini hanya dapat dilakukan oleh Direksi dengan persetujuan tertulis dari Direktur Independen: [31]
1.     Melepaskan atau menjaminkan aktiva tetap (fixed asset) dan aktiva lancar (current asset) perseroan.
2.     Mengambil bagian baik sebagian atau seluruhnya atau ikut serta dalam perseroan atau badan-badan lain atau menyelenggarakan perusahaan baru.
3.     Melepaskan sebagian atau seluruhnya penyertaan perseroan dalam perseroan atau badan-badan lain.
4.     Menerima atau memberikan pinjaman jangka pendek, menengah, panjang baik yang bersifat operasional maupun tidak operasional yang melebihi jumlah tertentu yang ditetapkan oleh anggaran dasar.
5.     Mengadakan perjanjian atau kerjasama lisensi, manajemen atau perjanjian sejenisnya dengan badan usaha atau pihak lain.
6.     Mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga yang membawa konsekuensi keuangan perseroan secara material pada Perseroan.
7.     Mengikat perseroan sebagai penjamin (borg atau avalist) yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan.
8.     Untuk tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan piutang.
9.     Penghapusan persediaan barang yang melebihi jumlah tertentu yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan.
10.  Mengeluarkan jumlah uang melebihi suatu jumlah tertentu yang ditentukan dalam anggaran dasar.
11.  Mengembangkan proyek baru yang mempunyai akibat keuangan secara material pada Perseroan.
12.  Melakukan pengeluaran-pengeluaran non-rutin dan Perseroan.
13.  Mengangkat staf  manajemen  dua tingkat dibawah Direksi.
14.  Menentukan gaji staf  manajemen  dua tingkat dibawah Direksi.
15.  Menunjuk konsultan hukum, akuntan dan penilai independen.
16.  Menentukan jumlah bonus bagi karyawan.
Dari penjabaran di atas kita dapat melihat pentingnya peran direktur independen untuk menjamin keberlansungan prinsip-prinsipgood corporate governance. Oleh karena itu pemilihan direktur independen harus dilakukan secara hati-hati dan seksama. Untuk menjamin independensi direktur independen maka harus memperhatikan beberapa ketentuan berikut ini:[32]
1.     Orang tersebut bukan seorang pemegang saham substansial dari perusahaan tersebut atau pekerja dari pemegang saham substansial.
2.     Selama tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitas eksekutif dari perusahaan tersebut atau perusahaan anggota lainnya.
3.     Selama tiga tahun terakhir tidak menjadi ketua dari penasihat profesional atau konsultan dari perusahaan tersebut atau perusahaan anggota lainnya atau menjadi pekerja dari perusahaan konsultan tersebut.
4.     Tidak menjadi konsumen atau pemasuk hal-hal hal-hal yang material dari perusahaan tersebut atau anggota perusahaan lainnya atau menjadi pekerja dari perusahaan konsumen dan pemasuk tadi.
5.     Tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan perusahaan atau anggota perusahaan.
6.     Tidak mengabdi atau melayani kepada direksi dalam periode tertentu dimana dalam pelayanannya dapat secara material mempengaruhi keputusan direksi tersebut.
7.     Bebas dari segala kepentingan dan segala hubungan bisnis yang menurut persepsi yang wajar mengintervensi secara material kemampuan direksi untuk bertindak sesuai dengan kepentingan perusahaan.
Selain hal-hal diatas perlu juga kiranya memperhatikan hubungan antara direktur independen dengan direktur lainnya yang mungkin akan mempengaruhi independensi dari direktur independen tersebut. [33] Perlu juga kiranya diperhatikan hubungan antara direksi independen dengan organ perusahaan lainnya untuk menjamin kelancaran tugas dari direktur independen tersebut. 
b.   Pembelaan Direksi melalui Business Judgment Rule
Business Judgment Rule merupakan sebuah doktrin yang telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi dalam pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Dalam kasus Gries Sports Enterprises, Inc. v. Cleveland Brown Football Co., Inc., 26 Ohio St.3d 15, 496 N.E2D 959 (1986), yang melibatkan pemegang saham yang mengajukan gugatan minoritas dan/atau melawan direksi-direksi perusahaan yang diduga melanggar prinsip-prinsip keadilan dalam pengambilalihan saham kepada perusahaan lain. Pengadilan menerangkan bahwa Business Judgment Rule adalah sebagai berikut:
Business Judgment Rule adalah sebuah prinsip dalam kepemimpinan perusahaan yang menjadi tujuan dari Common Law sejak 150 tahun yang lalu. Business Judgment Rule telah lama diterapkan sebagai awan yang melindungi Direksi dari tanggung jawab yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Apabila direksi-direksi dalam pelaksanaan tanggung jawab yang dimandati atas perlindungan tersebut, maka pengadilan tidak boleh mencampuri hal tersebut atau memberikan pendapat lain atas keputusan direksi. Sebaliknya jika direksi tidak dimandati atas perlindungan Business Jugdment Rule maka pengadilan wajib memeriksa keputusan-keputusan tersebut apakah perilaku direksi memang untuk kepentingan perusahaan dan dengan itikad baik serta memperhatikan pemegang saham minoritas perusahaan. Prinsip Business Judgment rule merupakan ketentuan yang dapat dikesampingkan jika direktur bertindak lebih baik daripada pengadilan yang akan mendalilkan Business Judgment Rule dan apabila direksi bertindak dalam keputusan bisnis yang bebas dari self-dealing (atau untuk kepentingan pribadi) dan dapat menunjukan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan dewan direksi menghadapi resiko akan adanya ketentuan akan ditolaknya gugatan jika pada akhirnya dapat dibuktikan bahwa direksi membuat keputusan bisnis yang tepat.
Business Judgment Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi seorang direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dimana perintah-perintah yang ditujukan kepada Dewan Direksi, atau terhadap keputusan-keputusan itu sendiri, terhadap kasus yang menitikberatkan kepada keputusan bisnis yang merupakan tanggung jawab dari pembuat keputusan. Business Judgment Rule yang diterapkan terhadap direksi/pembuat keputusan lazim disebut doktrin Business Jugdment Rule, dan Business Jugdment Rule yang diterapkan terhadap keputusannya langsung disebut Business Judgment Rule.
Dalam kasus gugatan derivatif oleh pemegang saham terhadap keadilan dalam transaksi bisnis yang diajukan terhadap mayoritas direktur perusahaan, seorang direksi haruslah memenuhi syarat: (1) tidak terlibat (2) independen (3) mengetahui hal tersebut agar dapat dilindungi Business Judgment Rule. Jika direktur gagal dalam memperoleh dukungan terhadap 3 persyaratan tadi, maka dia tidak akan dilindungi oleh Business Judgment Rule. Hal ini tidaklah berarti semua keputusan bisnis itu salah; hanya untuk mengalihkan perlindungan yang diberikan oleh Business Judgment Rule bila direktur tersebut tidak dapat membuktikannya. Jika ternyata Business Judgment Rule itu memang ternyata tidak dapat diterapkan terhadap seorang direksi maka pengadilan-lah yang akan berperan di dalam menentukan kebenaran keputusan bisnis tersebut. Apabila hal ini terjadi, tidak berarti bahwa direktur tersebut bertanggungjawab secara pribadi. Jika dalam kasus dimana dititikberatkan pada tanggung jawab pribadi direksi yang menimbulkan keputusan bisnis tersebut daripada keputusan bisnis itu sendiri, maka direktur tersebut tidak dapat bertanggungjawab secara pribadi kecuali pengadilan telah membuktikan bahwa keputusan tersebut adalah tidak wajar dan merupakan kegagalan dari direktur tersebut.
Dalam Perkara Smith vs Van Gorkom terlihat fakta sebagai berikut, Trans Union Corporation merupakan perusahaan perdagangan umum yang merupakan induk perusahaan. Pimpinan dan CEO-nya adalah Jerome W.Van Gorkom yang hampir pensiun. Dewan Direksi terdiri dari 5 orang dari 5 perusahaan dan 5 direksi eksternal. Ke-4 direktur eksternal merupakan CEO dari perusahaan publik raksasa; dan yang kelima adalah ketua dari University of Chigago Business School.
Pada saat kasus ini terjadi, Trans Union memiliki cash flow (uang tunai) yang berlimpah dalam operasi perusahaannya. Tetapi Trans Union juga mengahadapi kesulitan dalam menghasilkan pendapatan yang dikenakan pajak untuk menghindari bertambahnya kredit investasi yang dikenakan pajak, hal ini telah menjadi suatu masalah selama beberapa tahun terakhir. Pada bulan Juli tahun 1980, pihak management Trans Union Corporation menyerahkan Rencana Kerja Tahunan 5 tahun ke depan kepada dewan perusahaan. Laporan tersebut berisi solusi-solusi alternatif terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh Trans Union Corporation antara lain perusahaan masih mempunyai waktu yang cukup untuk mengambil tindakan-tindakan dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut tanpa menyebutkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan.
Pada tanggal 27 Agustus, Van Gorkom bertemu dengan pihak-pihak senior perusahaan untuk membicarakan masalah kredit investasi, dalam pembicaraan tersebut disebutkan kemungkinan penjualan Trans Union kepada perusahaan besar lain yang memiliki taxable income atau melalui penjualan saham ke publik (yang dibicarakan lebih lanjut pada 5 September). Pada pertemuan tersebut, salah seorang CEO, Donald mempresentasikan perhitungan-perhitungan awal berdasarkan harga jual $50 sampai dengan $60 per lembar saham, tetapi tidak menyatakan bahwa harga tersebut merupakan harga yang wajar bagi perusahaan. Van Gorkom kemudian menolak ide untuk mengadakan leveraged buyout, dia menyatakan bahwa dia akan menjual sahamnya sendiri dengan harga $55 per lembar saham.
Tanpa mengadakan Rapat Konsultasi dengan Dewan Direksi atau pegawai perusahaan lainnya, Gorkom memutuskan untuk bertemu Jay A.Pritzker, seorang ahli pengambilalihan perusahaan yang ia kenal. Sebelum pertemuan tersebut, Van Gorkom memerintahkan Carl Peterson, seorang karyawan Trans Union untuk mempersiapkan perhitungan yang mungkin akan terjadi apabila akan dilakukanleveraged buy out dengan harga jual saham $55 per lembar saham. 2 hari kemudian, Pritzker menasehati Gorkom bahwa ia tertarik untuk membeli dengan harga yang ditawarkan. Tanggal 18 September, setelah lebih dari 2 pertemuan yang melibatkan karyawan Trans Union dan seorang konsultan eksternal, Van Gorkom mengetahui bahwa pritzker lebih setuju untuk melakukan cash-out merger (merger dimana pemegang saham dari perusahaan yang digabungkan akan menerima uang tunai sebagai akibat dari penjualan saham) dengan harga $55 per lembar saham. Pritzker juga dapat memilih opsi untuk membeli satu juta saham, Trans Union Treasury Stock pada harga $38 per lembar saham. (75 sen diatas harga pasar). Pritzker juga meminta dewan Trans Union agar memenuhi permintaaanya dalam 3 hari yaitu tanggal 21 September dan meminta penasehat hukumnya untuk menyusun dokumen-dokumen merger tersebut.
Pada tanggal 19 Sepetember, tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan bagian legal dari perusahaan Trans Union, Van Gorkom memperkerjakan ahli merger eksternal. Dia juga menyusun pertemuan dengan manajemen senior perusahaaan dan dewan direksi untuk hari selanjutnya, tetapi tidak semua karyawan dan direksi mengetahui kesepakatan Van Gorkom dengan Pritzker tersebut, hanya yang mengetahui pertemuan merekalah yang mengetahui perihal penjualan saham perusahaan. Bagian managemen senior menyatakan bahwa permintaan Pritzker untuk membeli perusahaan Trans Union adalah sepenuhnya tidak wajar. Roman (karyawan senior) keberatan baik terhadap harga saham yang ditawarkan maupun terhadap penjualan saham Treasury Stock yang dinilai tidak wajar. Sesaat setelah pertemuan tersebut, Gorkom menghadap dewan direksi. Dia menyampaikan prensentasi yang menggariskan hal tentang tawaran dari Pritzker tetapi tak menyinggung keinginan merger yang telah diadakan sebelumnya, Gorkom menyatakan bahwa Pritzker akan membeli secara keseluruhan saham Trans Union dengan harga $ 55 per lembar saham, dalam 90 hari Trans Union akan meyetujui hal ini tetapi bukan untuk menolak tawaran ini dan menyampaikan tidak memberikan tawaran lain, apalagi hingga informasi tersebar ke pembeli lain. Dewan-dewan Trans Union bertindak pada malam hari minggu, 21 Spetember dan menyatakan agar Pritzker memperoleh perihal keuangan 10 Oktober dan jika Pritzker setuju, maka Trans Union akan memberi ofsi menjual 1 juta saham baru pada harga $38. Menurut Van Gorkom bahwa isu untuk dewan apakah mereka setuju atas harga $55 per lembar saham atau lebih baik, dengan cara meletakan Trans Union di pasar saham selama 90 hari maka kita akan mengetahui apakah $55 merupakan harga yang wajar atau tidak. Penasehat hukum eksternal meyatakan bahwa dewan direksi akan digugat jika mereka tidak menyetujui penawaran ini dan pendapat-pendapat yang wajar dari seorang bankir investasi tidak diperlukan oleh hukum.
Pada pertemuan dewan, Romans menyatakan bahwa berdasarkan studinya yang berhubungan degan kemungkinan leveraged but out tidak akan mengindikasikan harga saham yang wajar.
Bagaimanapun, ini adalah pendapat dia bahwa $55 merupakan harga wajar hanya pada range pertama.
Pada akhirnya dewan direksi menyetujui merger tersebut dengan 2 syarat:
1.     Trans Union memiliki hak untuk menerima tawaran yang lebih baik selama 90 hari pada saat percobaan harga pasar;
2.     Trans Union dapat menginformasikan hal ini kepada pembeli potensial lainnya.
Van Gorkom menandatangani dokumen merger sebelumnya yang tidak diubah, yang juga tidak dibaca oleh dirinya sendiri atau anggota dewan lainnya. 22 September, Trans Union membuat pernyataan publik yang meyatakan merger Trans Union yang telah definif dilakukan dengan Marmon Group, sebagai perusahaan yang berafiliasi dengan perusahaan induk Pritzker. Dalam waktu 10 hari salah seorang karyawan senior perusahaan mengancam untuk mengundurkan diri. Van Gorkom menenmui Pritzker yang setuju untuk mengubah perjanjian merger yang menyetujui bahwa dewan yang tidak sepakat tersebut akan tetap bersama Trans Union untuk setidaknya 6 bulan setelah merger.
Dewan melakukan perubahan tanggal 8 Oktober tanpa memperhatikan teks tersebut dan setuju untuk mengubah hal tentang 90 hari dan permusyarawaratan dengan pembeli potensial yang lain. Dewan direktur juga memberi kuasa pada perusahaan untuk memperkerjakan bankir-bankir investasi guna mempertimbangkan tawaran tersebut.
Walaupun perubahan perjanjian tersebut belum dilakukan, Trans Union kembali mengadakan pertemuan press pada hari berikutnya untuk menyatakan bahwa pencarian terhadap pembeli lain bisa dilanjutkan dan melibatkan bankir investasi untuk hal tersebut. Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa Pritzker telah memperoleh kemitraan keuangan seperti yang dijanjikan dan memperoleh $1 juta saham Trans Union pada harga $38 per lembar saham dan jika Trans Union belum menerima tawaran yang lebih baik hingga Februari 1981, pemegang sahamnya akan rapat untuk memutuskan tawaran Pritzker.
Van Gorkom melaksanakan perubahan-perubahan perjanjian merger pada 10 Oktober, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dewan direksi dan jelaslah hal ini terjadi tanpa adanya pengetahuan dari pihak perusahaan di dalam memusyawarahakan kesepakatan yang lebih baik.
Trans Union hanya menerima dua tawaran yang lain selama masa market test. Salah satunya ialah berasaal dari General Electric Credit Corporation, tetapi pada saat itu Trans Union tidak akan membatal/mencabut perjanjiannya dengan Pritzker untuk memberi tenggang waktu kepada General Electric Credit Corporation. Tawaran lainnya yaitu Leverages Buyout dari pihak manegemen Trans Union sendiri yang disampikan oleh Kohlberg, (KKR Co) yang diadakan awal Desember dengan harga saham $60 per lembarnya. Terdapat ketidakpastian pihak KKR dalam penyelesaian aset-aset dan keuangan bank sebagaimana pihak KKR sendiri menyatakan bahwa hal tersebut talah selesai 80% dengan kondisi dan prasyarat yang sama dengan persetujuan pihak Pritzker. Van Gorkom tidak memandang tawaran KKR tersebut secara tegas karena ketidakjelasan keuangan mereka, walaupun tawaran Pritzker pun diwarnai keadaan yang sama.
Van Gorkom tetap menolak untuk melakukan press release. Rencana pihak KKR untuk menyampaikan tawarannya terhadap Trans Union ditarik dengan singkat sebelum pertemuan diadakan, dengan alasan bahwa karyawan senior Trans Union telah menarik keputusan pembelian oleh KKR setelah Van Gorkom berbicara kepadanya. Van Gorkom menolak mempengaruhi putusan direksi-direksi dan direksi tidak menyebutkan apa-apa dalam pertemuan dewan setelah hari itu.
Pemegang saham mengajukan gugatannya tanggal 19 Desember 1980. Pernyataan-pernyataan managemen yang dikuasakan penuh dan resmi dikirim tanggal 21 Januari, terhadap pertemuan yang dijadwalkan 10 Februari 1981. Dewan direksi Trans Union bertemu pada tanggal 26 Januari dan memberikan persetujuan terakhir atas merger dengan Pritzker dan tambahan atas kuasa-kuasa resmi. Pada tanggal 10 Februari 1981, pemegang saham setuju mergernya degan Pritzker dengan suara terbanyak.

Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi
Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri.  Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merupakan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli,  dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.  Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.  
Baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk  dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus) serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi.  Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut.  Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. [34]  Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.
Jika kita melihat praktek common law, Pengadilan Inggris sendiri pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public [35]  yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (puclic nuisance).  Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk  pelanggaran  atau  kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak  memerlukan  pembuktian mens rea atau criminal intent (offenses that did not require criminal intent), yang didasarkan pada doktrinvicarious liability[36]  Hal ini diikuti oleh  pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa. [37]
Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap kejahatan yang memerlukan pembuktian mens rea baru dilakukan setelah melalui waktu dan perkembangan yang lambat.  Di Amerika Serikat, penerapan corporate criminal liability pertama kali diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River Railroad Company v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa perusahaan New York Central telah melanggar Elkins Act [38] section I.
Dalam wacana common law, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Menurut business judgment rule, pertimbangan bisnis (business judgment) dari para anggota Direksi tidak akan ditantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh pengadilan atau oleh para pemegang saham, dan para anggota Direksi tersebut tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota direksi yang bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. Business judgment rule adalah “a presumption that in making a business decision, the directors of corporationacted on an informed basis in good faith and in the honest belief that the action was token in the best interest of the company[39]
Mengenai perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang tidak dilindungi oleh business judgment rule, sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat dan hakim. Apabila kita mempelajari putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat, dapat diketahui bahwa ternyata Pengadilan-pengadilan tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-pengecualian rule tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) seorang anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan suatu kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Sedangkan beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa seorang direktur, yang dalam mengambil pertimbangan yang telah menimbulkan kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi oleh business judgment rule apabila kerugian tersebut adalah sebagai akibat kelalaian berat (gross negligence) dari anggota direksi yang bersangkutan.[40]
Ide dasar dari tidak berlakunya perlindungan business judgment rule bagi anggota direksi perseroan dalam hal terdapat kecurangan(fraud) dan terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) sedangkan para anggota direksi itu ternyata telah berupaya untuk mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya adalah karena judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai ”discretionary exercises of power on behalf of the corporation” yang ingin dilindungi dengan rule tersebut. Sedangkan ide yang berada dibelakang pengecualian terhadap berlakunya business judgment rule apabila terdapat perbuatan yang melanggar hukum (illegality exception) adalah karena ”shareholders derivative suits can be a useful supplement to the enforcement activities of public prosecutors and regulatory agencies[41]
Sepintas tampaknya doktrin business judgment rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin-doktrin duty of care. Praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota direksi tidak harus bertanggungjawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment) dilakukan dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently way). Bila demikian halnya, maka anggota direksi yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.[42]
Menurut Prof. Clark seorang guru besar hukum pada Harvard University Laws School, agar kedua doktrin ini tidak saling berbenturan tetapi dapat sejalan satu dengan lainnya, maka perlu dijadikan pegangan formulasi berikut : ”the directors’ business judgment rule cannot be attacked unless their judgment was arrived at in negligent manner, or was tainted by fraud, conlict of interest, illegality”.[43]
Atau secara lain dirumuskan bahwa “ the business judgment rule presuppoes that resonable deligences lies behind the judgment in question”. Prof. Clark mengakui bahwa untuk membuat kedua konsep tersebut konsisten satu sama lain tidaklah mudah karena memisahkan antara apa yang disebut a honest mistake dan a negligent mistake sangat sulit dilakukan.[44]
Berkaitan dengan tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi korporasi, terdapat pula doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur Direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. [45]
Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: pertama, memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar Kedua, tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik. Ketiga, memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.[46]  Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus  (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty.
Jika kita melihat praktek yang diterapkan di Kanada, berdasarkan Undang-undang Hukum Pidana Kanada, direksi dan pejabat korporasi lainnya dapat bertanggung jawab secara pribadi Private Member’s Bill C-284 bahwa penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap direksi dan pejabat-pejabat korporasi lainnya.
c.   Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Untuk Pembelaan Direksi
Penerapan doktrin business judgment rule tersebut dapat dipahami dari berbagai pendapat pengadilan, di negara lain seperti Amerika Serikat. Misalnya dalam perkara Call v. Exxon Corp ,United District Court, S.D New York, 1976, 418 F.Supp.508, dimana Hakim Robert L. Carter, menyatakan bahwa para tergugat bertindak, sesuai dengan peraturan Rule 56, F.R.Civ.P, dalam kesimpulan pendapatnya untuk membahas gugatan Penggugat dengan dasar bahwa Special Committee on Litigation (“Special Committee”), mewakili Dewan Direksi dari Exxon Corporation (“Exxon”), yang dengan itikad baiknya telah melaksanakan business judgmentmereka yang menyatakan bahwa pelaksanaan gugatan atas dasar apa yang terdapat dalam gugatan Penggugat adalah berlawanan dengan kepentingan Exxon. Mosi Penggugat dengan ini disanggah tanpa prejudice setelah Penggugat menghadirkan penemuan yang berkaitan dengan pokok perkara.
Fakta dari perkara Call v. Exxon Corp adalah Gugatan Penggugat timbul dari alleged pembayaran Exxon Corporation sekitar $ 59 juta yang berasal dari dana perusahaan yang ditujukan untuk penyuapan atau dengan kata lain sebagai pembayaran berkenaan “politik”, yang dengan cara yang tidak selayaknya telah diberikan kepada partai politik Itali dan pihak-pihak lainnya pada periode 1963-1974, dalam rangka untuk memenuhi kepentingan politisnya dan menurut dugaan untuk komitmen politis lainnya.
Penggugat menggugat Exxon dan para pemegang sahamnya. Gugatan ini terdiri dalam empat hal.
1.     masing-masing Tergugat digugat atau bisa digugat berdasarkan SEC Pernyataan Keuangan atau berdasarkan laporan palsu lainnya atau yang menyesatkan, dalam arti mereka tidak mengungkapkan adanya kontribusi politik yang illegal ini, hal ini melanggarSection 13 (a) dari Securities Act 1934 dan Rule 13a-1.
2.     bahwa masing-masing Tergugat telah menggunakan surat menyurat atau perangkat peralatan dari interstate commerce untuk mengajukan atau sebab untuk mengajukan pernyataan mewakili yang palsu dan menyesatkan dan mandat dari pemegang saham Exxon dan hal ini telah melanggar ketentuan Section 14(a) dari Securities Exchange Act 1934 dan Rule 14a-9 dan hal yang diatur dibawahnya, pernyataan-pernyataan ini dapat dijadikan referensi berkaitan dengan kontribusi politik illegal tersebut.
3.     masing-masing Tergugat digugat atas tindakan atau tidak bertindak bagi pemegang mandat perusahaan (waste), tindakan menghancurkan barang bukti (spoliation) dan mengggunakan asset perusahaan dengan tidak benar.
4.     masing-masing Tergugat telah melanggar tugas fiduciarynya terhadap Exxon.
Penggatan menuntut bahwa masing-masing Tergugat bertanggungjawab secara sendiri­sendiri maupun secara bersama-sama atas segala kerugian, termasuk kerugian akan goodwill yang diderita oleh Exxon. Lebih jauh lagi dalam tuntutannya, di atas hal-hal lain, sejak awal penyelidikan yang dilakukan oleh independen auditor bekerjasama dengan penasehat Penggugat, yaitu tentang pemilihan secepatnya atas 4 anggota Direksi yang namanya diajukan oleh Penggugat, dan dalam 12 bulan, pemilihan Chairman dari Dewan Direksi dan President, dan pengaturan kembali komposisi Anggota Direksi dan Eksekutif Komite, setidaknya terdiri dari 55% independent diluar direksi tersebut.
Pada tanggal 24 September 1975, Dewan Direksi Exxon secara bulat memutuskan, sesuai Article III, Section I, dari Exxon-By Law, untuk mendirikan suatu Komite Khusus Litigasi (Special Committee on Litigation), terdiri dari komposisi Exxon Direktur: Jack F.Bennet, Richard P Dobson dan Edward G Harness, dan menunjuk Komisi Khusus ini untuk menentukan tindakan atau langkah Exxon berkaitan dengan permasalahan yang timbul dan tindakan-tindakan yang tertunda (pending) sehubungan dengan pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan kepada pihak Italia tersebut.
Pada tanggal 23 Januari 1976, setelah penyelidikan yang diperkirakan berlangsung selama 4 bulan, termasuk wawancara dengan lebih dari 100 saksi, Komite Khusus ini mengeluarkan “Determination and Report of Special Committee of Litigation” (“Report”), dokumen yang terdiri dari 82 halaman berisi kesimpulan tentang apa yang ditemukan oleh Komite beserta rekomendasi-rekomendasi lain. Fakta yang ditemukan oleh Komite ini akan dijelaskan secara singkat seperti di bawah ini .
1.   Komite melaporkan gambaran pola pembayaran yang dilakukan secara rahasia untuk berbagai tujuan antara tahun 1963 dan 1972 dan kontribusi politik untuk partai politik Italia dalam masa yang sama. Total pembayaran rahasia ini sejumlah 39 juta dolar, dilakukan melalui account rahasia bank yang tidak nampak dalam pembukuan cabang Exxon di Italia, Esso Italiana. Kontribusi politik, berjumlah total 20 juta dolar, disalurkan melalui kantor Koran dan public relation yang berhubungan dari partai politik Itali, pembayaran ini terlihat dari invoice fiktif yang dilaporkan ditujukan untuk jasa service.
2.   Beberapa direktur Exxon yang disebut para Penggugat dalam gugatan ini sadar dan mengetahui akan adanya pembayaran politis ini sebelum berhenti bekerja pada tahun 1972. Beberapa dari Tergugat hanya diberitahukan akan adanya pembayaran ini, sedangkan yang lainnya, yang dalam posisi yang bertanggungjawab dalam menejemen perusahaan mendesak agar kontribusi ini dapat dihapuskan secepat mungkin. Beberapa direktur yang juga Tergugat ini, mengetahui bahwa pembayaran dilakukan melalui beberapa account rahasia bank, tetapi nampaknya pengetahuan tentang pembayaran ini hanya terbatas pada pembayaran untuk kontribusi politik.
3.   Setelah meneliti kembali secara teliti, menganalisa dan menyelidiki, dan dengan advis dari penasehat Khusus (Special Counsel), Komite Khusus secara bulat pada 23 Januari 1976 memutuskan terjadi pertentangan dengan kepentingan Exxon, dan pemegang sahamnya Exxon, atau semua orang atas namanya, dalam hal melangsungkan atau tetap melakukan tindakan hukum (legal action) terhadap direktur Exxon baik yang terdahulu maupun yang sekarang masih menjabat atau officer lainnya. Kemudian Komite ini memutuskan untuk segera dan memberi otorisasi kepada officer Exxon dan General Counsel agar mengusahakan untuk tidak dilakukannya tindakan/gugatan derifatif seluruh pemegang saham yang berhubungan dengan pembayaran yang dilakukan atau untuk Esso Italiana S.p A, gugatan ini ditujukan atas direktur Exxon terdahulu maupun yang sekarang masih menjabat.
Bila diamati dari kasus dalam perkara ini tidak perlu dipertanyakan bahwa hak-hak yang sedang diperjuangkan dalam gugatan ini adalah hak mempertahankan dari Exxon, dan bukan kepunyaan Penggugat yang menggugat untuk kepentingan perusahaan. Karena memang kepentingan perusahaan yang sedang dipertaruhkan, hal ini adalah tanggung jawab dari para direktur perusahaan untuk menentukan, pada saat itu, apakah untuk kepentingan perusahaan tindakan ini harus dilakukan. ” Sepertinya keputusan dari direktur perusahaan ini disandarkan kepada business judgment of the management.[47]
Prinsip ini, yang kemudian diketahui sebagai business judgment rule, telah diucapkan oleh Mr.Justice Brandeis di Pengadilan di United Copper Securities Co. v. Amalgamated Copper Co.supra, 244 US. Pada 263-64, 37 Sct. Pada 510. Dalam hal ini para direktur dari perusahaan memilih untuk tidak membawa tindakan yang menentang penggabungan industri-industri (antitrust) terhadap pihak ketiga.
Mr. Justice Brandeis mengatakan bahwa ia atau setidaknya sebuah perusahaan akan mencari dan menjalankan tidakan mengenai sebab-sebab dari kerugian melalui jalur pengadilan, seperti pertanyaan bisnis lainnya,persoalaan biasa internal menejemen, hal ini diserahkan kepada kebijaksanaan dari direksi, apabila tidak ada instruksi yang diambil melalui suara dari para pemegang saham. Campur tangan pengadilan jarang untuk mengkontrol apakah kebijaksanaan itu intra vires bagi perusahaan, kecuali direksi bersalah dalam hal pelaksanaannya yang kemudian dapat disamakan dengan pelanggaran kepercayaan, atau hal ini berdiri di hubungan dua pihak yang melindungi dari pelaksanaan pendapat yang tidak prejudice.[48]
Dapat dilihat bahwa jelas tidak adanya pernyataan tidak benar, kolusi, kepentingan pribadi, ketidak jujuran atau pelaksanaan pelanggaran atas kepercayaan lainnya, dan tidak adanya pernyataan dari business judgment yang dilaksanakan, tidak pernah terdengar, pengadilan tidak boleh dorongan/anjuran dari pemegang saham yang mencampuri dengan judgment dari officer dari perusahaan.
Pertanyaan yang tetap muncul adalah apakah itikad baik yang ditunjukkan dari pihak direktur perusahaan sudah dapat menjamin dismissal yang dilakukan berdasarkan alasan business judgment rule.
Dalam hal ini, Penggugat mempertanyakan independensi dari penilai Komite Khusus, mempersoalkan bahwa penilaian dari Komite Khusus, sepertinya, putusan dari yang digugat atau yang berbuat salah, atau putusan dari badan yang berada dibawah kontrol dari pihak yang dituduh dan telah berbuat salah. Makanya, Penggugat berkeras bahwa adalah putusan dari seluruh Dewan Direksi yang membuat dan menetapkan putusan dari Komite Khusus ini, yang memimpin gambaran yang,diambil Exxon dalam gugatan ini.
Argumentasi tersebut jelas kehilangan arah. Fokus dari business judgment rule adalah penyelidikan atas siapa yang sebenarnya bermuslihat dalam putusannya ­membuat otoritas, bukan atas mereka yang mungkin memliki otoritas semacam itu pada waktu yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda pula. Yang kurang dapat diterima akal adalah keputusan dari Komite Khusus yang memutuskan untuk tidak menggugat hanya karena sebuah advis. Memang, dalam melakukan penyelidikan dan mencapai konklusinya, Komite Khusus melaksanakan kuasa sepenuhnya dari Dewan.
Argumentasi Penggugat selanjutnya adalah menyatakan bahwa pembayaran politis yang dilakukan tersebut adalah illegal dan ketidaklegal tersebut menghapuskan kasus ini dari wilayah business judgment rule. Namun, walau asumsi yang menyatakan bahwa pembayaran yang dilakukan di Itali telah dilakukan, namun business judgment rule meskipun demikian dapat diaplikasikan. Keputusan untuk tidak menggugat dengan pertimbangan untuk hal ini telah berlalu yang bisa jadi illegal adalah tidak sendiri dalam pelanggaran atas hukum dan tidak berakibat dalam kelanjutan dari yang dinyatakan pelanggaran dari hukum.
Lagi pula, hal ini adalah keputusan dari direksi perusahaan bahwa pencarian penyebab dari tindakan berdasarkan dari peraturan yang sudah sempurna adalah bukan hal yang terbaik bagi perusahaan. Pendapat ini, seperti putusan bisnis yang lainnya, harus dibuat oleh direktur perusahaan sebagai pelaksanaan business judgmentnya. Efek dari konklusi businessnya ini, tidak dapat dipengaruhi oleh pernyataan yang illegal dari tindakan awal yang timbul pada penyebab tindakan tersebut.[49]
Selanjutnya, konklusi adalah semua pandangan yang lebih appropriate dari fakta bahwa tidak ada petunjuk (scintilla) bukti pada catatan sebelumnya yang menyatakan bahwa pembayaran yang dilakukan di Itali itu adalah illegal baik bila dipandang dari sudut hukum Amerika Serikat mau pun hukum Itali. Sebaliknya, Komite Khusus dalam basis investigasinya yang intensif, dan dengan persetujuan dari Penasehat Khususnya (Special Counsel) memutuskan bahwa tidak ada dasar yang menyimpulkan bahwa pembayaran di Itali itu illegal.
Pada bulan belakangan ini, legalitas dan moralitas dari kontribusi politik asing, penyuapan dan pembayaran-pembayaran lain yang dilakukan oleh perusahaan Amerika telah diperdebatkan. Contohnya issue yang ini, namun demikian, bukan karena apakah pembayaran dilakukan oleh Esso Italiana kepada Partai Politik Italia atau pembayaran-pembayaran tanpa otorisasi lain adalah proper atau improper. Apakah pengadilan berpola pikir seperti ini juga dalam menilai isu ini, sangatlah diperlukan untuk melibatkan diri dalam hal bagaimana setiap perusahaan mengambil keputusan bisnisnya dan menghubungkan antara putusan dari direktur dan putusan dari pemegang saham sehubungan dengan tindakan yang diambil oleh perusahaan. Seperti dikatakan oleh Mr. Justice Brandeis dalam menyimpulkan opini dalam Ashwander v.Tennesee Valley Authority,297 U.S (288), pada 343,56 S.Ct (466), pada 481, ” bila pemegang saham dapat memaksa para officer untuk melaksanakan setiap hak hukum, pengadilan dari memilih officer , lebih kepada arbiter dari yang ditentukan perusahaan “Lagi pula, isu apakah Komite Khusus, mewakili Dewan Direksi Exxon, dan dalam hal melaksanakan business judgmentnya menetapkan bahwa gugatan yang diajukan kepadadirektur terdahulu maupun yang sekarang adalah bertentangan dengan kepentingan terbaik dari perusahaan.
Sekali lagi, mengutip Mr.Justice Brandeisyang berpendapat “Adanya kepercayaan bahwa tindakan perusahaan, yang diambil ataupun di contemplated, yang illegal memberikan hak bagi para pemegang saham untuk mencampuri dan ini dimiliki oleh warga negara lainnya. Pemegang saham bukanlah sebagai guardian dari publik. Fungsi untuk menjaga (guardian) publik yang melawan undang-undang diserahkaepada public officials.”[50]
Penggugat juga mempertanyakan ketidakberkepentingan dan kebonafidan dari Komite Khusus, menyatakan bahwa anggota dari Komite Khusus mungkin saja terlibat secara pribadi dengan transaksi yang dipertanyakan ini., atau setidaknya tertarik untuk menyatakan tindakan yang salah ” dalam cara yang diperhitungkan untuk merusak pelaksanaan business judgment atas nama perusahaan.”[51]
Dengan hal ini didalam pikiran, saya cenderung untuk menyimpulkan bahwa pada tahap gugatan ini adalah premature untuk menyimpulkan summary judgment. Penggugat harus memberikan kesempatan untuk test bona fides dan indenpendensi dari Komite Khusus melalui penemuan, dan bila perlu pada saat sidang plenary. Masalah dari niat, motivasi dan itikad baik tidak diperlukan untuk kesimpulan disposisi ini ( summary disposition.)
Selanjutnya, mosi Para Tergugat untuk summary judgment ditolak tanpa prejudice setelah Penggugat menemukan penemuan yang relevan.Dari hal itu terdapat catatan sebagai berikut :
1.     Gall melibatkan putusan oleh direksi indenpenden yang diperkirakan untuk tidak melaksanakan gugatan derivative kepada para direktur lainnya. Dalam meminta business judgment rule , Hakim Carter bertumpu pada United Copper Securities Co., kasus yang juga melibatkan putusan direktur untuk tidak menggugat pihak ketiga yang tidak terkait. Apakah situasi ini benar­-benar dapat diperbandingkan ?
2.     Alat yang diadapsi oleh Exxon untuk mengusahakan dismissal dari gugatan Gall telah secara luas diketahui oleh Dewan Direksi sejak 1976, dalam usahanya untuk mendapatkan dismissal atas gugatan derivative yang tidak mereka kehendaki untuk dilanjutkan. Hal ini merupakan akibat dari diskusi yang dilakukan untuk memenuhi gugatan Penggugat tentang kebonafidan dari business judgment dari dewan ( atau, seperti Gall, komite khusus dari Dewan) untuk tidak melanjutkan litigasi yang tidak dikehendaki ini. Bagaimana dengan argumen bahwa Penggugat berhak untuk menyidangkan gugatan mereka dan pendekatan Gall dapat menyebabkan pelaksanaan yang salah tersebut tidak dihukum? Apakah problem ini memang semudah itu? Haruskan direksi yang benar-benar independen dan tidak mempunyai kepentingan untuk dapat menetapkan litigasi apa yang dapat dilakukan?
3.     Perkembangan dari independent litigation committee telah menghasilkan berbagai komentar pandangan hukum. Pertimbangkan argumen policy seperti berikut ini:
a)      Cox.Searching for the Corporation’s Voice in Derivative Suit Litigation : A Critique of Zapata and the ALI Project, 1982 Duke L.J 959,960-961 (1982): Sebagai point awal, bahwa perusahaan mempunyai legitimasi kepentingan untuk membangkitkan alasan pada setiap tahapan litigasi bahwa gugatan apabila dilaksanakan akan merupakan hal yang lebih merugikan daripada menguntungkan. Gugatan derivative yang dilakukan atas para menejer dan direktur akhirnya akan berakhir pada charges pada perusahaan untuk biaya litigasi para Tergugat, biaya litigasi dari perusahaan sendiri dalam partisipasti atas para Tergugat tidak mempunyai angka yang pasti, seperti kehilangan moral, waktu yang terbuang bagi para pekerja, dan rusaknya nama baik dari perusahaan. Walau pun para Tergugat mengakui kesalahannya, jumlah yang diperoleh setelah dipotong biaya pengacara, bagi Penggugat mungkin tidak memadai untuk menutupi biaya gugatan ini, bila gugatan malah tidak selesai, biaya yang diperlukan bisa lebih tinggi.
Gugatan derivatif dari Penggugat ini adalah self-selected; tanpa menentukan atau perjanjian ia menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi pembicara atas nama kepentingan perusahaan. Karena Penggugat biasanya tidak mempunyai suatu kepentingan finansil yang nyata atas perusahaan, kemungkinan akan berakibat merugikan secara ekonomi dalam pelaksanaannya tidak dapat diekspektasi dalam mengarahkan niatnya untuk menjalankan litigasi.
b)   Komentar, The Propriety of Judicial Deference to Corporate Boards of Directors,96 Harv. L.Rev. 1894,1896-1897,1905­1908(1983):Dewan perusahaan adalah suatu kelompok, yang lebih menunjukkan tingkah laku tertentu yang cenderung untuk diidentifikasikan oleh para periset dalam bidang sosial pisikologi sebagai suatu kelompok yang dinamik.
Setiap konstruksi yang dapat mempengaruhi pendapat kolektif yang diputuskan oleh dewan mungkin mempunyai solusi untuk masalah tertentu akan dipertimbangkan akibat destruktifnya, diketahui sebagai “penyesuaian” (conformity) atau “groupthink“, kelompok yang secara dinamik memikirkan dan menunjukkan hal yang memang perlu dihasilkan.
Conformity ini bisa saja ke arah luar (outward): masing­ masing mungkin secara umum setuju namun sebenarnya mereka tahu bahwa keputusan tersebut tidak benar. Lalu mungkin saja kelompok ini kemudian membentuk suatu pandangan masing-masing individu untuk suatu pendapat yang benar: individual dapat menyandarkan pada persepsi kelompok dan mengevaluasinya dan mencapai suatu konklusi.
Hal yang timbul baik dari inward (ke dalam) maupun outward (keluar) dari confirmity ini dalam suatu ruang rapat Dewan akan menimbulkan keragu-raguan tentang arti sepenuhnya dari persetujuan Dewan tersebut. Malah sebenarnya keduanya, baik inward atau outward adalah hampir sama, seperti yang akan ditunjukkan dari pernyataan; Dewan direksi mempunyai karakterisasi dari jenis faktor, pandangan social psikologi, yang ditambah dengan tingkatan conformity dalam kelompok tersebut.
Ketika Dewan telah memutus untuk mencari dismissal atau menuntut, implikasinya terhadap kelompok dinamik ini jelas mempertanyakan apakah dalam hal peraturan hukum telah sesuai dengan putusan yang mempunyai disposisi dari mosi untuk menghentikan (gugatan) ini. Para direksi sadar suara yang diberikan untuk melanjutkan gugatan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi menejemen, dengan pihak mana para direktur harus berasosiasi,  baik secara profesional maupun dengan cara sosialisasi dan kepada siapa para direktur ini wajib berhutang jabatan prestisiusnya. Pada saat bersamaan, kelompok Dewan ini, akan menjadi faktor yang menimbulkan setidaknya outward conformity.
Direksi maka dengan ini akan memberikan suara seperti bagaimana menejemen manginginkan mereka bertindak : mereka akan secara rutin memutus untuk mencari cara untuk menghentikan (dismissal) gugatan. Peradilan yang menghormati putusan Dewan yang mana hal ini berarti juga menghormati putusan perlawanan dari menejemen dan hal ini serius dapat merusak kemampuan para pemegang saham untuk melindungi kepentingannya.
Ketika putusan untuk tidak melanjutkan gugatan dibuat dengan penunjukan khusus, oleh komite yang tidak mempunyai kepentingan sama sekali, argumentasi bahwa persetujuan yang anggota Dewan adalah tidak relevan secara hukum mungkin kelihatan tidak persuasif.
Tergugat menejemen tidak hadir ketika komite meninjau ulang fakta-­fakta yang ada dan ketika pencapaian putusan tentang gugatan itu, lebih jauh lagi, komite selalu terdiri dari direktur-direktur baru yang ditunjuk untuk tujuan awal membentuk staff dari komite. Komite ini makanya bukan subjek dari tekanan yang timbul dari hubungan yang ada antara anggota Dewan dan menejer. Namun meskipun demikian, anggota komite mengetahui bahwa mereka akan tetap berkerjasama,- baik secara profesional maupun secara sosial­ dengan Para Tergugat Direksi setelah mereka memutuskan sesuatu tentang gugatan itu.
Sebagai tambahan, direktur yang baru ditunjuk mungkin merasa segan dengan mereka yang baru menunjuk mereka. Makanya, tekanan atas anggota member dalam memutuskan pendapat mereka sesuai dengan keinginan dari Tergugat menejemen tidak akan lebih ringan dari tekanan yang ada pada Dewan. Seperti putusan dari Dewan, putusan dari Komite Khusus adalah esensial yang dibuat oleh perlawanan menejemen dan tidak boleh ada konsekwensi legalnya.
Untuk suatu pernyatan yang lebih keras lagi bahwa direksi mempunyai ” struktural yang berat sebelah” (structural bias) dalam hal menghentikan derivative litigasi, lihat Cox and Munsinger, Bias ini Boardroom: Psychological Foundations and Legal Implications of Corporations Cohesion, 48 Law & Contem.Prob 83 (1985). Banyak pengacara perusahaan yang menolak apa yang menjadi pokok dasar dari argumen ini, yang mana juga tidak diterima oleh beberapa analis yang familiar dengan riset ilmu pengetahuan. Lihat Haft, Business Decisions by the New Board: Behavioral Science and Corporate Law, 80 Mich.K.rev. 1 (1981).
4.   Beberapa kasus pra-1981 menerima tanpa reservasi alasan-alasan yang dikemukakan Gall. Auerbach v.Bennet, 47 N.Y 2d 619,419 N.Y @d 920,393 N.E 2d 994 (1979) ( New York Law sudah jelas dibentuk oleh New York Court of Appeals); Abbey v.Control Data Corp, 603 F.2d 724 (8th Cir.1979) (Delaware law): Lewis v.Anderson, 615 F 2d 778 (9th Cir.1979) (California Law), Burks v. Lasker, 441 U.S 471,99 S Ct. 1831,60L.Ed 404 (1979), menyangkut dismissal dari gugatan perusahaan investasi, isu major dalam hal ini apakah kontrol dari state atau federal law (represented oleh Investment company Act 1940). Pengadilan beranggapan bahwa state law yang mengontrol, tetapi komentar yang berjalan adalah ” mungkin ada suatu situasi yang membuat direktur independen secara masuk akal percaya bahwa hal yang terbaik bagi kepentingan pemegang saham adalah mengurungkan niatnya untuk menggugat, dan pada beberapa kasus tertentu” akan konsisten dengan peraturan yang memperbolehkan direktur yang independen untuk menghentikan gugatan, walaupun tidak frivolous.” 441 US pada 483-485, 99 S.Ct pada 1841. Opini yang timbul menunjuk kepada “this generally accepted principle” dan pernyataan yang menyatakan bahwa keputusan untuk tidak mnggugat pelaku kesalahan (wrongdoer) ” adalah tidak berbeda” dengan putusan bersama direktur. Galef v.Alexander, 615 F 2d 51 ( 2d.Cir 1980). Di lain pihak, melakukan business judgment rule dengan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Gall dalam mengajukan gugatannya berdasarkan section 14(a) adalah ” komunikasi dari menejemen adalah akurat dan lengkap selayaknya seluruh fakta material” dan pencapaian tujuan “akan benar-benar membuat putus asa jika direktur yang dijadikan Tergugat dalam suatu tindakan gugatan derivative karena melakukan informasi yang tidak layak sehubungan dengan proxy solicitation diperboleh untuk melakukan dismissal atas suatu tindakan dengan hanya berdasarkan alasan pendapatnya bahwa gugatan tersebut bukan yang terbaik bagi kepentingan perusahaan.” 615 F2d PADA 63.
5.   Satu pertanyaan praktis yang melibatkan prosedur yang diikuti oleh Gall adalah sejauh mana keharusan independensi dari komite litigasi” (litigation committee)? Kalau anda adalah pengacara dari penggugat yang menghadapi prospek dari tipe pembelaan Gall, apakah anda tidak menyebut nama seluruh direksi sebagai Tergugat di setiap kasus. Dapatkah seorang direktur yang tidak mempunyai hubungan langsung dapat dikatakan independen untuk memuaskan prinsip Gall, jika disebut (nominal defendant)? Akhirnya bagaimana jika menggugat bahwa putusan komite komite independen itu sendiri merupakan pelanggaran dari tugas fiduciary: walau prospek dari gugatan semacam itu sangat tipis, dapatkah hal itu digunakan untuk mendiskualifikasi direksi dari serving atas “litigation committee
Dari pendapat pengadilan di muka dapat dipahami berbagai unsur  untuk menerapkan business judgment rule.
Dalam perkara lain, Zapata Corp. vs. Maldonado Supreme Court of Delaware, 1981, 430 A.2d 779 dimana Pengadilan Delaware Chancery menggambarkan kontroversi hal-hal pokok mendasar menyangkut kasus ini sebagai berikut: “Fakta-fakta yang relevan, ditafsirkan dengan sangat menguntungkan bagi Maldonado, yang menunjukkan bahwa pada tahun 1970 Dewan Direksi Zapata mengadopsi stock option plan dengan memberi kebebasan pada beberapa officer tertentu dan direksi untuk membeli Saham umum Zapata pada $ 12.1S per saham. Rencana ini disediakan untuk melaksanakan pilihan (options) dalam five angsuran yang terpisah satu sama lain, yang mana yang terakhir terjadi pada tanggal 14 July 1974. Pada tahun 1971, rencana ini diratifikasi oleh para pemegang saham dari Zapata. Pada saat tanggal pelaksanaan final dari kehendak ini semakin dekat, Zapata merencanakan untuk penawaran tender sejumlah 2.300.000 dari sahamnya sendiri. Pengumuman dari penawaran tender diharapkan akan dilaksanakan sebelum tanggal 14 July 1974, dan diprediksikan bahwa akibat dari pengumuman ini akan meningkatkan harga pasar saham Zapata dari $ 18 – $ 19  per saham mendekati harga penawaran tender sebesar $25 per saham.
“Direksi Zapata, kebanyakan diantaranya adalah yang mempunyai opsi (optionees) dalam pelaksanaan hal ini berdasarkan rencana tahun 1970, menyadari bahwa dari optionees ini akan mendatangkan penambahan pertanggungjawaban yang substansial atas federal income tax (pajak pendapatan federal) bila dilaksanakan setelah tanggal pengumuman penawaran tender dan bahwa penambahan tanggung jawab ini dapat dihindari bila pelaksanaan dilaksanakan sebelum pengumuman. Hal ini disebabkan karena jumlah modal yang diperoleh untuk pajak pendapatan federal bagi yang para optionees ini akan sama jumlahnya dengan perbedaan antara pilihan harga $ 12,15 dan pilihan harga pada tanggal pelaksanaan :          $18 -$19 bila dilaksanakan       lebih awal dari pengumuman penawaran tender, atau hampir mendekati $ 25 apabila dilaksanakan secepatnya setelah pengumuman. “Dalam rangka untuk mengurangi tanggung jawab atas pajak pendapatan federal tersebut, optionees ini akan mengadakan pelaksanaannya dengan cara: direksi Zapata mempercepat tanggal pelaksanaannya yaitu pada tanggal 2 July 1974. Pada hari itu dilaksananakanlah rencana ini dan direksi meminta agar New York Stock Exchange untuk menangguhkan perdagangan saham Zapata dengan alasan pending karena “akan adanya pengumuman yang penting”. Pada tanggal 8 July 1974, Zapata mengumumkan penawaran tender. Harga pasar saham Zapata naik ke $ 24.50″ 413 A 2d. 1251, 1254-5.)
Hakim Quillen menyatakan bahwa, hal ini adalah banding yang didasarkan karena permasalahan yang tidak dapat ditentukan atau kontroversial dari perintah pengadilan Chancery yang dibuat pada 9 April 1980, oleh yang menolak usul alternatif dari Pembanding-Tergugat Zapata Corporation ( Zapata) untuk menolak gugatan atau untuk summary Judgment. Isu ini yang dimaksud ini sampai ke pengadilan dengan jalan yang agak berbelit-belit.
Pada bulan Juni 1975, Willian Maldonado, pemegang saham dari Zapata, melaksanakan gugatan derivative di pengadilan Chancery atas nama Zapata melawan 10 (ten) officerss dan/atau direktur dari Zapata, dan menyatakan, secara esensial bahwa mereka ini telah melanggar tugas-tugas fiduciarynya. Tuntutan Maldonado yang pertama tidak menuntut bahwa Dewan yang mengakibatkan tindakan ini, malah menyatakan bahwa tuntutan tersebut adalah sia-sia karena seluruh direktur disebut sebagai Tertgugat dan dinyatakan berpartisipasi dalam tindakan-tindakan yang telah disebutkan.[52]
Pada bulan Juni 1979, empat dari Tergugat-direktur tidak lagi duduk di Dewan, dari direktur yang masih tetap menjabat menunjuk 2 direktur baru dari pihak luar untuk duduk di Dewan. Kemudian Dewan membentuk “Komite penyelidik Independen” (Independent Investigation Comimee (Committee/ Komite), terdiri dari 2 direktur, untuk menyelidiki tindakan dari Maldonado, begitu juga dengan gugatan derivative yang sama yang kemudian sedang di-pending di Texas, dan untuk menentukan apakah perusahaan akan melanjutkan atau tidak litigasi ini. Tujuan Komite dinyatakan sebagai “final tidak hal yang akan ditinjau ulang oleh Dewan Direksi dan dengan segala pertimbangan tunduk kepada perusahaan.”
Penyelidikan berikutnya, pada bulan September 1979 Komite memutuskan, bahwa setiap tindakan harus“ melakukan penolakan dengan segera karena hal ini bertentangan dengan kepentingan terbaik dari perusahaan”. Sebagai akibatnya, Zapata bergerak ke tindakan penolakan atau ke summary judgment.
Pada tanggal 18 Maret 1980, Pengadilan Chancerry, dalam laporan opini, basis dari perintah tanggal 9 April 1980 menolak mosi Zapata, berpegang pada hal bahwa hukum Delaware tidak mendukung penolakan seperti ini.
Lebih khusus lagi, berpegang pada peraturan “business judgment” tidak merupakan suatu penjaminan bagi penguasa untuk menolak tindakan derivative dan bahwa para pemegang saham mempunyai hak individu untuk tetap memelihara gugatan derivative dalam beberapa contoh tertentu.[53]
Kami membatasi pandangan kami atas permohonan banding tentang permasalahan yang kontroversial ini kepada, apakah Komite mempunyai kekuasaan yang dapat mengakibatkan gugatan ini dapat dihentikan. Kami mulai dari mempelajari secara teliti dengan menimbang pernyataan dari Vice Chancellor yang menyatakan, dalam bagian, bahwa peraturan “business judgment” tidak memberi kekuasaan kepada dewan direksi perusahaan untuk mengakhiri gugatan derivative”. 413 A.2d pada 1257. Konklusinya ini secara tertentu berhubungan dengan beberapa pengadilan federal, menerapkan hukum Delaware, berpegang pada hal bahwa peraturan business judgment memungkinkan dewan (atau Komite mereka) untuk mengakhiri gugatan derivative.
Seperti syarat yang paling banyak digunakan, dan seperti disposisi yang diberikan di bawah ini, kami dapat mengerti bahwa komentar Vice Chancellor bahwa ” peraturan Business judgment tidak relevan dengan pertanyaan apakah Komite mempunyai otoritas/kekuasaan untuk memaksa untuk menghentikan gugatan “.413 A.2d pada 257. Sebuah Perusahaan berdiri karena dimungkinkan oleh legislative, dan mempunyai otoritas karena diberikan oleh badan pembuat undang-undang. Direksi dari perusahaan Delaware (Directors of Delaware Corporation) mendapatkan kekuasaan pengambilan keputusan menejerial mereka yang meliputi putusan:  apakah inisiatif, atau supaya jangan ikut campur, litigasi, [54]dari 8 Del.C # 141 (a). [55]
Undang-undang ini bersumber dari kekuasaan direktorial. Peraturan “business judgment” adalah peraturan tentang kebaikan yang dibentuk dari hal yang berhubungan dengan pengadilan, dalam suatu situasi tertentu, dalam keputusan Dewan.[56]
Apabila dipandang secara defensif, hal ini bukan membuat suatu otoritas. Dalam pengertian ini peraturan “business judgment” tidak relevan dengan pembuatan putusan oleh perusahaan, sampai pada saat putusan dibuat. Secara umum digunakan sebagai pembelaan secara diam-diam untuk menyerang keputusan yang ada. Kekuasaan pengambilan keputusan menejerial Dewan, bagaimana pun, datang dari # 141 (a).
Apa yang diberikan oleh kreasi judicial (Judicial creation) dan legislatif berhubungan karena peraturan “business judgment” dikembangkan untuk memberikan pengenalan dan rasa hormat kepada keahlian bisnis direksi ketika mereka melaksanakan kekuasaan menejerialnya berdasarkan #141 (a).
Dalam kasus-kasus sebelumnya, walaupun keputusan perusahaan untuk menghentikan atau ke arah summer judgment, secara harafiah, putusan yang dihasilkan dari pelaksanaan tugas direksi (sebagaimana didelegasikan oleh Komite dalam business judgment, pertanyaan dari “business judgment”, dalam pengertian defensif, tidak akan menjadi relevan sampai dengan dan kecuali keputusan untuk mengakhiri gugatan derivative dianggap sebagai tidak patut. Pertanyaan ini tidak sampai diutarakan oleh Vice Chancellor karena ia berketetapan bahwa pemegang saham mempunyai hak individual untuk tetap memelihara/mempunyai hak atau gugatan derivative.
Maka oleh karena itu, fokus dari kasus ini adalah kekuasaan untuk mengutarakan bagi perusahaan dalam hal apakah gugatan akan dilanjutkan atau diakhiri/dihentikan. Seperti dapat kita lihat, masalah pada bentuk banding sekarang ini mempunyai 3 aspek: konklusi dari pengadilan dalam hal yang berkaitan dengan hak para pemegang saham atas gugatan derivative; Kekuasaan perusahaan berdasarkan hukum Delaware oleh Komite Dewan yang menyebabkan dihentikannya pelaksanaan litigasi untuk kepentingan perusahaan; dan peranan dari pengadilan Chancerry dalam menyelesaikan konflik antara pemegang saham dan Komite.
Sesuai dengan hal ini, kita baik kembali kepada konklusi dari pengadilan Chancerry menyangkut hak penggugat Pemegang Saham dalam gugatan derivative. Kami mendapatkan bahwa adalah ketetapannya bahwa pemegang saham, begitu tuntutan dibuat dan ditolak, memiliki suatu indenpendensi, hak individual untuk melanjutkan gugatan derivativenya atas pelanggaran tugas fiduciary di atas keberatan yang diajukan oleh perusahaan, sebagai sebuah peraturan absolut, adalah salah.
Mckee v. Rogers. Del Ch. 156 A.191 (1931)., yang menyatakan “sebagai peraturan yang umum bahwa pemegang saham tidak diizinkan” untuk mencampuri wilayah keputusan untuk memilih kebijaksanaan yang terkait dengan keputusan direktur dan menuntut atas nama perusahaan ketika badan menejemen menolak 156 A pada 193.
Ketentuan Mckee, tentu saja, tidak boleh dibaca secara luas bahwa penolakan Dewan akan menjadi ketetapan pada setiap contoh. Anggota Dewan, berkewajiban kepada perusahaan untuk pelaksanaan terbaik atas tugasnya sebagai fiduciary, tidak akan memperbolehkan penghentian akan gugatan derivative, karena hal ini akan merupakan pelanggaran dari tugas fiduciary mereka. Perselisihan pada umumnya menyangkut kontrol akan timbulkan gugatan dalam dua konteks. Konsisten dengan tujuan dari tuntutan, putusan Dewan yang menyebabkan gugatan dihentikan yang merupakan gangguan bagi perusahaan, setelah tuntutan dibuat dan ditolak, akan tetap dihormati dindahkan kecuali hal ini salah.[57]­
Lihat e.g United Copper Securities Co. v Amalgamated Copper Co. 244 U.S.261, 263 -64, 37 S.Ct 509, 510, 61 L.Ed. 1119, 1124 (1917). Klaim yang dilakukan atas suatu keputusan yang salah untuk tidak menuntut adalah eksepsi yang pertama dan konteks pertama dari perselisihan (dispute). Ketidakadaan penolakan yang salah, pemegang saham dalam situasi seperti itu adalah hanya karena kurangnya kekuasaan menejerial hukum.
Tetapi tidak dapat dinyatakan secara langsung bahwa, tidak adanya penolakan yang salah dari Dewan, pemegang saham jadi tidak akan pernah mempunyai hak individual untuk mengadakan gugatan. Seperti yang dinyatakan oleh Mckee,”well settled” kecualian ada dalam ketentuan yang umum.
Pemegang saham dapat menuntut dalam kapasitas dan hak derivativenya untuk menuntut dasar gugatan atas nama perusahaan, tanpa tuntutan pendahuluan kepada direksi, ketika kelihatannya bahwa tuntutan ini akan sia-sia, bahwa para officer dibawah pengaruh yang mensterilisasi diskresi dan juga bukan orang yang layak untuk melaksanalan litigasi.”
156 A pada 193 (penekanan ditambahkan). Kekecualian ini, konteks kedua dari perselisihan, konsisten dengan pernyataan di bawah ini bahwa ” hak individual pemegang saham untuk menggugat tidak matang, walaupun, kecuali dia dapat menunjukkan tuntutan akan sia-sia.”
Tuntutan, ketika diperlukan dan ditolak (kalau tuntutan tidak salah), menghilangkan kemampuan hukum pemegang saham untuk mengadakan gugatan derivative.[58]
Tetapi dalam hal tuntutan ini beralasan patut, pemegang saham mempunyai kemampuan untuk melakukan gugatan atas nama perusahaannya. Konklusi ini, bagaimana pun, tidak menjelaskan pertanyaan sebelumnya. Hal ini lebih membawa kita kepada pertanyaan untuk diputuskan. Disinilah kita membagi perusahaan dengan pengadilan di bawah ini, Derivative merupakan pelaksanaan dari hak-hak perusahaan dan hal yang diperoleh akan kembali ke perusahaan. “hak dari pemegang saham untuk memenuhi hak litigasi perusahaan, karenanya, hanya semata-mata bertujuan melindungi dari ketidak adilan dimana yang kelihatannya bahwa hal material perusahaan tidak terlindungi “.
Kami tidak melihat ada alasan yang melekat dari “dua phase” gugatan derivative, pemegang saham menggugat untuk memaksa perusahaan untuk menuntut, dan tuntutan perusahaan akan berakibat secara otomatis berada sepenuhnya dalam kontrol di tangan pemegang saham yang berlitigasi dari hak-hak perusahaan dalam litigasi. Sebaliknya, bagi kita kelihatannya ketentuan yang tidak fleksibel itu akan mengenali hak seseorang atau kelompok, diluar yang lain di dalam perusahaan. Makanya, kami menolak pandangan dari Vice Chancellor yang menyatakannya sebagai aspek pertama dari masalah banding.
Pertanyaan yang hendak diputus menjadi: Kapan, jika sekiranya, apakah dewan komite yang diotorisasi diperbolehkan untuk mengadakan litigasi, dilaksanakan secara patut oleh pemegang saham derivatif dalam kapasitas haknya sendiri, dapat dihentikan?
Seperti telah dicatat di atas, Dewan mempunyai kekuasaan untuk memilih untuk tidak melakukan litigasi ketika ada tuntutan untuk melakukannya, sepanjang bila putusan tersebut tidak salah.
Bila Dewan menetapkan bahwa gugatan akan merugikan perusahaan, ketetapan Dewan akan berlaku. Walau pun gugatan tersebut dapat diterima situasi akan timbul bila kelanjutan dari litigasi tidak sesuai dengan kepentingan perusahaan. Penyelidikan kami adalah, dalam situasi seperti itu, ada prosedur yang diperbolehkan berdasarkan # 141 (a), dimana perusahaan dapat melepaskan dirinya sendiri dari litigasi yang merugikan. Jika tidak ada, maka seorang pemegang saham dalam suatu masalah yang ekstrem dapat mengontrol nasib dari seluruh perusahaan. Pemikiran ini secara tegas dinyatakan oleh Ninth Circuit in Lewis v. Anderson, 9th Cir., 615 F 2d.778, 786 (1979) cert. menolak,_______U.S._______101 C.St. 206, 66 L Ed.2d 89 (1980): “
Memperoleh seorang pemegang saham untuk mengantisipasi keseluruhan Dewan direksi dengan menuntut terhadap mereka yang memberikan terlalu banyak pengaruh kepada pemegang saham yang tidak setuju ini. “Tetapi, ketika mempelajari apa yang maksudnya, termasuk mempelajari mekanisme dari Komite dalam kasus ini, potensial dari penyalahgunaan harus dapat segera dikenali. Hal ini membawa kita kepada aspek kedua dan ketiga dari masalah banding ini.
Sebelum kita melalui pertimbangan yang wajar atas mekanisma dari permasalahan ini harus jelas bahwa Komite Independen mempunyai otoritas kekuasaan dari perusahaan untuk menghentikan gugatan derivative tersebut. Bagian 141 (c) memperbolehkan Dewan mendelegasikan seluruh otoritasnya kepada Komite. Menurutnya, komite yang mempunyai otoritas yang telah secara patut didelegasikan  kepadanya mempunyai kekuasaan untuk menghentikan atau summary judgement apabila seluruh dewan menghendakinya.
Walaupun tuntutan tidak dilakukan dalam kasus ini, dan putusan yang menetapkan apakah litigasi tidak sesuai dengan Dewan, Dewan Zapata, kelihatannya bagi kami, menahan seluruh kekuasaan perusahaan yang menyangkut putusan litigasi. Jika Maldonado melakukan tuntutannya kepada Dewan dalam masalah ini, dapat saja hal menggugat tersebut akan ditolak. Maldonado kemudian dapat menyatakan dengan tegas bahwa keputusan untuk tidak menggugat adalah salah dan, jika benar, akan dapat diperbolehkan untuk menggugat. Dewan, bagaimana pun, tidak akan pernah untuk kehilangan  otoritas peraturan menejerial-nya. Tuntutan itu sendiri memerlukan bukti-buti bahwa kekuasaan menejerial berada di tangan Dewan. Ketika penggugat gugatan derivative diperbolehkan untuk menggugat setelah adannya penolakan yang salah, otoritas Dewan untuk memilih apakah meneruskan litigasi ini tidak konklusinya telah tercapai melalui pelaksanaan dari otoritas tersebut. Tidak dihiraukan karena salah.
Hampir sama dengan, peraturan 23.1, dengan memperbolehkan tuntutan pada beberapa contoh, tidaklah melucuti Dewan dari kekuasaannya akan menyelamatkan penggugat dari biaya dan penundaan atas gugatan sia-sia yang dihasilkan dari kemungkinan pelaksanaan kekuasaan Dewan dalam hal penolakan atau dalam kebalikannya untuk memberikan kontrol litigasi. Tetapi Dewan benar-benar memberikan kekuasaannya berdasarkan #141 (a) untuk membuat putusan yang menyangkut litigasi perusahaan. Masalahnya adalah satu dari diskualifikasi, bukan karena tidak adanya kekuasaan dalam Dewan.
Penelitian atas kekuasaan perusahaan menyelidiki kemudian fokus kepada apakah Dewan,  diwarnai oleh kepentingan diri sendiri dari sebagian besar pemegang sahamnya, dapat secara hukum sah untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada Komite yang terdiri dari 2 orang direktur yang tidak mempunyai kepentingal sama sekali dalam hal ini. Kami mendapati bahwa ketentuan ini memerlukan suatu jawaban yang meyakinkan atas pernyataan ini. Seperti telah dinyatakan, di bawah ketentuan yang telah dijelaskan pada peraturan #141 (c), Komite dapat melaksanakan seluruh kekuasaan Dewan untuk melanjutkan resolusi dari Dewan. Lebih lagi, setidaknya, secara analogi, pada peraturan kami mengenai kepentingan para direktur pada, 8 Del.C # 141, kelihatannya jelas bahwa hukum Delaware dibentuk untuk membolehkan direktur yang tidak mempunyai kepentingan untuk bertindak  untuk kepentingan Dewan.
Kami tidak berfikir bahwa kepentingan yang mewarnai sebagian besar pemegang saham diwarnai halangan hukum bagi pendelegasian kekuasaan dari Dewan kepada independen Komite yang memang terdiri dari anggota-anggotanya yang tidak mempunyai kepentingan sama sekali di dalamnya. Komite dapat benar-benar bertindak secara patut untuk perusahaan untuk menghentikan derivative litigasi yang dipercaya akan merugikan kepentingan terbaik dari perusahaan.
Fokus kami sekarang berpindah kepada Pengadilan Chancerry yang menghadapi pernyataan tegas dari pemegang saham bahwa gugatan derivative, yang dilaksanakan secara patut, harus dilanjutkan demi kepentingan perusahaan dan pernyataan tegas dari perusahaan, telah dilakukan secara patut  oleh Komite yang bertindak dalam otoritas dari perusahaan, bahwa hal gugatan derivative yang sama tersebut harus dihentikan untuk kepentingan terbaik perusahaan.
Dengan resiko dari pernyataan yang nyata ini, problemnya sebenarnya relatif mudah. Jika, dilain pihak, perusahaan dapat secara konsisten merebut itikad baik gugatan derivative yang bermaksud baik melalui mekanisme yang digunakan oleh Komite, gugatan derivative ini akan kehilangan banyak, jika tidak semuanya, yang secara umum efektifitasnya dikenal sebagai intra-corporate yang berarti kebijaksanaan Dewan Direksi. Jika  sebaliknya perusahaan tidak dapat melucuti diri mereka sendiri dari ketidak bergunaan atau litigasi yang merugikan dan menghentikan gugatan, gugatan derivative, yang dikreasikan untuk kepentingan dari perusahaan, akan berakibat kebalikannya, akibat yang tidak dikehendaki          Makanya kepada kami berkeinginan untuk mendapatkan hal (point) yang menyeimbangkan dimana niat baik dari pemegang saham untuk membawa penyebab dari tindakan perusahaan tidak bisa secara tidak adil diinjak-injak oleh Dewan Direksi, tetapi perusahaan dapat menghindarkan dirinya dari hal litigasi yang merugikannya.
Pengadilan berpendapat bahwa Direktur yang mempunyai kepentingan: kuorumnya :
(a) Tidak kontrak atau transaksi antara perusahaan dan satu atau lebih direkturnya atau officernya, atau antara perusahaan dan perusahaan lain, partnership, association, atau organisasi lain dimana satu atau lebih direkturnya atau officernya, atau mempunyai kepentingan keuangan ( financial interest), akan tidak berlaku atau dapat tidak berlaku hanya karena alasan ini, atau hanya semata-matanya karena direktur atau officer hadir atau berpartisipasi dalam pertemuan Dewan atau Komite yang memberikan otoritas kontrak atau transaksi, atau hanya karena dia atau mereka memberi suara yang sudah dihitung untuk tujuan tersebut, jika:
1)   Fakta material dalam hubungannya atau kepentingan dan seperti pada kontrak atau transaksi yang diungkapkan atau telah diketahui pada Dewan Diresksi atau Komite, dan Dewan atau Komite dengan itikad baiknya meng-otorisasi kontrak atau transaksi dengan pemungutan suara yang meyakinkan dari mayoritas direktur yang tidak ada mempunyai kepentingan samasekali, walaupuh jumlah direktur yang tidak mempunyai kepentingan tersebut kutang dari kuorumnya;
2)   Fakta material dalam hubungannya atau kepentingan dan seperti pada kontrak dan transaksi yang diungkapkan atau telah diketahui oleh pemegang saham yang berhak untuk diadakan pemungutan suara, dan kontrak atau transaksi yang dalam pemungutan suara berdasarkan pemegang saham; atau
3)   Kontrak atau transaksi fair bagi perusahaan sesuai waktu diotorisasi, disetujui atau diratifikasi, oleh Dewan Direksi, Komite, atau pemegang saham;
4)   Direktur pada umumnya atau yang berkepentingan dapat diperhitungkan dalam penentuan kehadiran dalam suatu forum di meeting dari Dewan Direksi atau Komite yang meng-otorisasi kontrak atau transaksi”
Seperti telah kita catat, pertanyaan tersebut telah diperlakukan oleh pengadilan lain sebagai suatu ” business judgment” dari Dewan Komite. Jika “Komite, terdiri dari independen dan para direktur yang tidak mempunyai kepentingan”, dalam melaksanakan  tinjauan yang patut atas masalah sebelumnya, dengan mempertimbangkan banyaknya faktor variasi dan tercapainya, dalam itikad baik, business judgment yang menetapkan bahwa gugatan bukanlah suatu hal yang terbaik bagi perusahaan”, gugatan ini harus dihentikan. Isu yang ada menjadi semata-mata independen, beritikad baik, dan investigasi yang rasional. Konklusi yang terutama dari Komite, berdasarkan pandangan itu, adalah bukan subjek dari judicial review.
Kami tidak puas, bagaimana pun, penerimaan dari rasionalisasi ” business judgment” pada tingkat gugatan derivative ini adalah point yang patut dan seimbang. Sementara kami mengakui analogi dengan kasus normal menyangkut judgment dari Dewan, sepertinya bagi kami ada resiko yang wajar dalam situasi realitas seperti yang diperlihatkan dalam kasus ini untuk men-justify penyebabnya di bawah kesetiaan dan ketaatan teori dari Business Judgment.
Konteks dalam hal ini adalah gugatan terhadap direktur dimana tuntutan atas Dewan dimaafkan. Kami merasa beberapa penghargaan harus diberikan pada fakta bahwa engan sebaik-baiknya. Hal itu bukan kasus penolakan Dewan. Lebih lagi, gugatan ini diajukan pada bulan Juni 1975, dan, sementara para pihak tidak diragukan lagi akan mengambil pandangan yang berbeda dalam tingkatan aktifitas litigasi, kita harus memikirkan tentang kreasi dari “Komisi Investigasi Independen” empat tahun kemudian, setelah pemilihan dua direktur baru dari luar tersebut. Situasi dapat berkembang dimana mosi tersebut dapat diajukan setelah beberapa tahun dari litigasi yang kuat berdasarkan alasan yang tidak ada hubungannya dengan tuntutan hukum.
Lebih lagi, meskipun konfiksi kami bahwa hukum Delaware memberikan kekuasaan perusahaan kepada Komite yang telah diotorisasi dengan patut, kami harus berhati­-hati dan sadar bahwa direktur hanya memberikan judgment pada rekan direkturnya dalam suatu perusahaan yang sama dan rekan direktur lain, dan pada contoh ini, yang dirancang untuk melayani baik direktur dan anggota Komite. pertanyaan yang sudah dengan sewajarnya timbul adalah apakah ” hanya untuk kemuliaan Tuhan kulakuan empati mungkin tidak memainkan peranannya. Dan lebih pertanyaan lebih jauh lagi muncul, apakah penyelidikan tentang independen, itikad baik, dan investigasi yang masuk akal cukup untuk menjaga dari tindakan penyalahgunaan, atau mungkin penyalahgunaan yang di bawah sadar.
Ada jalur lain untuk ekplorasi disamping konteks faktual dari litigasi yang kami anggap berguna. Sifat dari mosi ini tidak terdapat adanya sesuatu yang tersimpan, seperti misalnya diillustrasikan selanjutnya dalam alternatif. Mungkin lebih baik dipertimbangkan sebagai dasar dari mosi summary judgment untuk penghentian karena pemegang saham yang gagal. Tetapi hal ini tidak secara pas  masuk ke dalam kategory yang digambarkan dalam Rule 12 (b) dari peraturan pengadilan Chancerry atau pun apakah hal itu berhubungan langsung dengan Rule 56 karena pertanyaan dari isu yang asli dari fakta yang terdapat pada klaim pemegang saham tidak dapat dicapai.
Apakah pengadilan Chancerry akan terbujuk dengan pelaksanaan dari kekuasaan Komite sebagai hasil dari mosi summary untuk penghentian dari gugatan derivative, dimana tuntutan dari sejak awal tidak dibuat, harus diletakkan, dalam judgment kita, dalam diskresi yang independen dari Pengadilan Chancerry. Kami kemudian mengarahkan jalan tengah antara kasus yang mengandung indenpenden business judgment dari Dewan Komite dan kasus ini sebagaimana ditetapkan di bawah akan mengandung kontrol yang terkendali dari pemegang saham. Dalam melaksanakan jalan tersebut, kami mengenali bahwa “substantif final dari judgment dimana tuntutan hukum tertentu harus mempunyai keseimbangan dari banyak faktor etika, komersial, promosi lation, employee relation, fiskal dan juga legal”.
Tapi kami yakin bahwa faktor tersebut tidak ” melebihi jangkauan judicial (hal-hal yang menyangkut pengadilan)” dari pengadilan Chancerry yang secara teratur dan kompeten berhubungan dengan fiduciary relationship, disposisi dari trust property, persetujuan dari settlements, dan tujuan dari permasalahan-permasalahan yang hampir sama. kami mengenali bahayanya darai suatu judicial yang melampaui tujuan yang dicapai tetapi alternatif lain yang kelihatannya bagi kami akan lebih berat adalah pandangan baru dari judicial diluar itu. Lebih lagi, kami gagal untuk menyeimbangkan seluruh kepentingan yang terlibat, kami akan berada dalam nama praktek dan ekonomi judicial yang menutup putusan judicial yang dipenuhi. Pada point ini, kami tidak yakin bahwa hal tersebut memang diperlukan atau memang diinginkan.
Setelah tujuan dan melalui lestigasi dari gugatan derivative, sebuah indenpenden Komite dapat menyebabkan perusahaannya mengajukan mosi pre-trial untuk menghentikan pengadilan Chancerry. Dasar dari mosi ini adalah kepentingan terbaik dari perusahaan, sebagaimana ditetapkan oleh Komite. Mosi ini harus menyangkut catatan tertulis yang menyeluruh dari investigasi dan hal-hal yang ditemukan dan juga rekomendasi.
Dibawah supervisi yang baik dari pengadilan, berhubungan  dengan kelanjutan pada summery judgment, setiap sisinya harus mempunyai kesempatan untuk dibuat sebagai catatan. Sebagaimana pada isu terbatas yang diperlihatkan oleh mosi yang dicatat di bawah, pihak yang mengambil tindakan harus dipersiapkan untuk menghadapi beban normal berdasarkan Rule 56 yang tidak mempunyai isu yang mendasar sebagai fakta material dan pihak yang bertindak itu berhak untuk menghentikannya sebagai hal dari hukum.[59] Pengadilan harus menerapkan dua langkah percobaan atas mosi tersebut.
Pertama, pengadilan harus menyelidiki hal independensi dan itikad baik dari Komite dan dasar yang mendukung konklusi tersebut. penemuan yang terbatas akan diperlukan untuk mem-fasilitasi penyelidikan tersebut. Perusahaanlah yang harus terbebani untuk membuktikan keindependen-annya, itikad baik dan investigasi yang dapat diterima akal, daripada menduga keindependen-an, itikad baik dan tanpa hal yang masuk akal sama sekali. Jika pengadilan menetapkan baik Komite tidak indenpenden atau tidak menunjukkan dasar dari konklusinya, atau, jika pengadilan tidak puas dengan alasan lain yang berhubungan dengan process, termasuk tapi tidak terbatas kepada itikad baik dari Komite, pengadilan harus menolak mosi dari perusahaan. Jika, walaupun, pengadilan puas dan menunjukkan penemuan akan dasar itikad baik yang dapat diterima akal dan juga rekomendasi-rekomendasi, pengadilan dapat dilanjutkan, untuk langkah selanjutnya.
Langkah kedua mempersiapkan, kami percaya kunci yang esensial dalam menggaris bawahi keseimbangan antara klaim perusahaan yang sesuai hukum yang berlaku seperti terlihat dalam gugatan derivative pemegang saham dan kepentingan terbaik dari perusahaan seperti terlihat oleh Komite investigasi Independen. Pengadilan harus menetapkan, independen business judgmentnya sendiri, apakah mosi tersebut harus dijamin.[60]
Hal ini berarti, tentu saja, hal tersebut dapat timbul dimana Komite dapat mendirikan independensinya dan suaranya berdasarkan dari putusan yang beritikad baik dan tetap menolak mosi dari perusahaan. Langkah kedua ini dimaksudkan untuk merintangi hal ini dimana tindakan perusahaan memenuhi kriteria dari langkah pertama, tetapi akibatnya kelihatan tidak memuaskan semangat (spirit) yang ada di dalamnya, atau di mana tindakan perusahaan secara sederhana akan mengakhiri secara prematur keluhan pemegang saham yang berhak untuk mendapat pertimbangan lebih jauh lagi dalam kepentingan perusahaan. Pengadilan Chancerry tentunya mesti berhati-hati mempertimbangkan dan menimbang sejauh mana pemaksaan kepentingan perusahaan ketika berhadapan dengan tuntutan hukum yang semberono tersebut. Pengadilan Chancerry harus, ketika diperlukan, memberikan pertimbangan yang khusus kepada masalah hukum tersebut dan juga hal kebijaksanaan publik sebagai tambahan kepada kepentingan perusahaan.
Jika independen business judgment dari pengadilan terpuaskan, pengadilan dapat berlanjut untuk mengabulkan mosi, subjek, tentu saja, atas persyaratan atau kondisi judgment yang dipandang oleh pengadilan perlu atau diinginkan. Perintah pengadilan Chancerry yang tidak dapat ditentukan atau kontroversial ini kebalikan dan penyebab diserahkan kembali kepada kelanjutan konsistensi lebih jauh dengan opini ini.
Dari pendapat pengadilan sebagaimana diuraikan dimuka dapat pula diamati sebagai berikut ini :
1.     Beberapa pengadilan menolak untuk memberikan pendapat oleh Komite Litigasi yang bersifat final yang kelihatannya memang diperlukan dalam pra-putusan Zapata. Antaranya adalah kasus Joy v. North, 692 F.2d 880 (2d Cir.1982), cert. Menolak sub no. Ci~ytrust v. Joy, 460 U.D.1051, 103 S Ct.1498 (1983) (nominal diputus berdasarkan Connecticut law); Hasan v. Cleve Trust Realty Investor, 729 F.2d 372 (6th Cir.1984) (tidak ada presumption dari kebiasaan atau itikad baik untuk mendukung putusan Komite Litigasi); In Matter of Continental lilinois Securities Kitigation, 732 F.2d 1302 (7th Cir.1984). Sementara dimana ada ketidak sepakatan dalam kasus-kasus ini, mayoritas opini merefleksikan skeptisme tentang kebijaksanaan  dari penerimaan tanpa kritik atas prinsip yang dituduhkan Penggugat atas transaksi perusahaan yang harus dibatalkan hanya untuk menyerang independensi dan itikad baik dari Komite Litigasi.
2.     Secara mendasar menerima pendapat “structural bias”. Pengadilan dalam Miller v.Register & Tribune Syndicate, Inc,336 N.W.2d (Iowa 1983), berpegang pada bahwa Dewan Direksi tidak dapat untuk mendelegasikan kekuasaannya untuk mengikat perusahaan kepada Komite independen Litigasi bila Dewan Direksi sendiri tidak dapat bertindak karena mayoritas sudah tertarik dalam transaksi; dalam situasi seperti ini pengadilan menyarankan bahwa Komite ditunjuk oleh perintah pengadilan (judicial order).
Menjadi penting pula disini memahami kasus, duty of care and the business judgement rule, dalam perkara litwin v. allen Supreme Court of New York,1940 25 N.Y.S 2d 667, dimana Hakim Shientang berpendapat bahwa ini adalah gugatan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai 36 shares saham dari Guaranty Trust Company (“Trust Company”) diluar dari 900.000 outstanding melawan Direksi Guaranty Trust, anggota dari firma banking J.P Morgan & Co, dan direktur-direktur dari Cabang dari Trust Company dengan nama Guaranty Company of New York C’Guaranty Company. Gugatan dimaksudkan untuk menjatuhkan pertanggungjawaban pada Tergugat atas kerugian yang ditimbulkan dari 4 buah transaksi. Opini yang dinyatakan di bawah ini berhubungan dengan diskusi umum di peradilan and transaksi ke empat dimana pertanggungjawaban dipermasalahkan.
Faktanya sebagai berikut ini, 16 Oktober 1930, transaksi melibatkanTrust Company dan atau Guaranty Company senilai $ 3.000.000 untuk membeli Surat Hutang convertible Missouri Pacific melalui J.P Morgan & Co, dengan harga sama, dengan opsi pada penjual, Alleghany Corporation dapat membeli kembali dengan harga yang sama dalam waktu 6 bulan.
Musim gugur,1930 pertama kali muncul keperluan Alleghany Corporation akan dana sebesar $10.500.000. Alleghany telah membeli aset di Kansas City dan St.Joseph, Missouri dan saldo harga sejumlah $ 10.000.000 tambah bunga harus dibayar tanggal16 Oktober. Karena ada keterbatasan pihak Alleghany dalam meminjam uang maka, tidaklah dapat dilakukan peminjaman uang sedangkan uang diperlukan untuk memenuhi pembayaran aset-aset yang dibeli tersebut.Pembicaraan bagaimana cara mendapatkan uang pun dimulai. Keadaan ini penting untuk dicatat dalam pikiran, untuk dapat melihat pola transaksi sebagaimananya sehingga dapat sepenuhnya dimengerti.
Karena tidak dapat meminjam, maka cara Alleghany untuk mendapatkan uang adalah dengan cara melepas beberapa surat berharganya. Diantaranya adalah Surat Hutang convertible 5V2 % Missouri Pacific senilai $23.500.000. Surat-surat ini tidak dijamin dan berhubungan dengan surat obligasi Missouri Pacific lainnya. Semua convertible dan di saham umum seharga 10 saham senilai $1.000 obligasi. Pada tahun 1929, Guaranty Company berpartisipasi untuk penambahan $1.500.000 dengan menanggung obligasi ini pada 97 1/2 . Pada suatu ketika pada tahun 1929, obligasi terjual setinggi 124 dan tidak pernah turun dari itu kecuali pada November 1929 dimana mereka dijual pada 97. Antara 1 Oktober dan 10 Oktober 1930 saham umum Missouri Pacific turun menjadi 53 sampai dengan 44. Ada penurunan pada obligasi yaitu 107 pada April 1930 lalu ke 107 pada 1 Oktober 1930 dan seterusnya menurun sekitar 2 point sehingga menjadi 105′/2 pada tanggal pelaksanaan transaksi pada 16 Oktober 1930.
Van Sweringens mengusulkan $10.000.000 dari obligasi ini dijual pada J.P Morgan & Co secara tunai dan pada harga yang sama, hal yang terakhir ini akan memberi opsi kepada Alleghany untuk membelinya kembali dalam waktu 6 bulan sejumlah yang dibayarkan. Bila Transaksi dilaksanakan dengan cara ini, maka sama halnya seperti Alleghany mendapatkan pinjaman juga.
Tergugat menyatakan bahwa mereka diberitahukan bahwa Van Sweringens berkeras atas opsi membeli kembali dalam waktu 6 bulan berkaitan dengan tidak ada kemungkinan bahwa mereka akan kehilangan kontrol atas obligasi ini karena obligasi ini convertible dan privilige untuk melakukan itu mungkin dilakukan oleh pihak ketiga dalam kesempatan beredarnya saham ini di pasar, hal ini lepas dari kenyataan bahwa saham umum Missouri Pacific mengutip disekitar 44, sementara harga konversi adalah 100.
Kenyataan adalah tujuan satu-satunya dari opsi ini adalah untuk menjadikan transaksi jadi secepatnya menjadi pinjaman tanpa mesti melalui jalur pinjaman biasa.
Seketika sebelum Trust Company memberikan komitmen tertulisnya kepada J.P Morgan & Co untuk ikut dalam pembelian obligasi tersebut, Guaranty Company mengikatkan dirinya kepada Trust Company untuk mengambil obligasi terse but dari Trust Company pada akhir dari jangka waktu 6 bulan, yaitu pada 16 April 1931, dengan harga yang sama dengan yang telah dibayar oleh Trust Company dan hal ini sudah termasuk pada harga yang sama ditambah bunga, jika Alleghany gagal untuk melaksanakan opsinya untuk membeli kembali.
Penurunan di pasar terus berlanjut. pada 23 Oktober 1930, Executive Committee dari Trust Company menyetujui transaksi obligasi Missouri Pacific pada 103 ½. Pada 5 November 1930 ketika Board of Director dari Trust Company memberikan persetujuannya obligasi, terjual 102 7/8 dan pada 18 November 1930 ketika Board of Director dari Guaranty Company setuju atas komitmen ini, obligasi telah turun ke 98 5/8. Dan pada akhir dari jangka waktu 6 bulan yaitu pada tanggal16 April 1931 obligasi terjual pada harga atas 86 dan terendah81 (perkiraan pada minggu akhir 18 April), dan Guaranty Company mengambil alih obligasi ini dari Trust Company pada harga yang sama dengan bunga accrued dan membukukannya sebagai investasi.
Transaksi utama muncul dalam perkara ini terjadi pada Oktober 1930. Terjadi crash di pasar saham pada Oktober 1929. Dan pada April 1930 terjadi kemajuan di pasar saham. Tak lama kemudian secara perlahan mulai terjadi penurunan di pasar saham pada Oktober 1930, yang kemudian diikuti lagi dengan pukulan yang lebih berat lagi. Halluar biasa yang terjadi, dapat dikatakan, tidak dapat dipastikan waktu itu, tapi jelas berhubungan dengan masa sebelumnya. Orang-orang yang menilai keadaan pada Oktober 1930 dan telah mengalami keadaan sebelumnya pada berfikir panik dan mengira bahwa depresi keadaan pasar telah mencapai dasarnya dan semuanya akan selesai dan akan ada suatu perubahan yang lebih baik. Namun ternyata pengalaman dan perkiraan berubah menjadi kekeliruan , tetapi hal tersebut tetap tidak jelas hingga tahun 1931. Untuk menilai gugatan transaksi ini, kita tidak hanya perlu melakukan pemeriksaan tentang latar belakang terjadinya, namun yang lebih penting lasi kita harus menempatkan diri kita dalam situasi terjadinya permasalahan pada waktu itu dan mencoba menempatkan diri kita dalam posisi yang mengikat mereka.
Dalam perkara ini tidak ada bukti yang jelas mengenai pengaruh yang tidak selayaknya atau dominasi dari directors atau officers dari Trust Company atau Guaranty Company dari J.P Morgan & Co. Ketika J.P Morgan disarankan oleh Shriver bahwa akan ada keikutsertaan dalam pembelian dengan peningkatan $5.000,000 Shriver diberitahukan bahwa komitmen itu hanya bisa diterima bila penambahan hanya sebesar $ 3.000.000 karena First National Bank of New York akan memberikan jumlah yang sama sementara Morgan & Co akan ikut dalam penambahan dengan saldo sejumlah $4.500.000. Lebih lanjut, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa para Tergugat officers atau directors ini berlaku secara bad faith atau ingin mengambil keuntungan atau diuntungkan atau mendapatkan sesuatu untuk pribadinya dari transaksi ini.
Saya akan melanjutkan untuk mempertimbangkan secara umum peraturan-peraturan untuk menentukan tanggung jawab dari directors. Kadang dikatakan directors itu adalah trustees. Kalau hal ini berarti bahwa directors dalam melaksanakan tugas­-tugasnya bertindak dalam hubungannya sebagai fiduciary (trustee yang bertindak dengan good faith, kepercayaan dan keyakinan yang kuat serta terus terang) perusahaan, maka pernyataan ini dapat dikatakan benar.
Bosworth V.Allen 168,N.Y 157,61 N.E 163, 55 L.R.A 751, 85 Am St.Rep.667 ” Directors terikat oleh segala peraturan yang mengandung keadilan, moral, dan kejujuran dengan tujuan sesuai dengan yang ketentuan yang diatur dan dibebankan oleh hukum kepada mereka yang berada dalam kewajiban sebagai fiduaciary dan tanggung jawab. Mereka terikat, dalam tindakan-tindakan jabatannya, dengan suatu ukuran keterbukaan keterusterangan yang tinggi, tidak memikirkan diri sendiri, dan beritikad baik. Prinsip ini adalah tidak dapat ditawar, esential dan dijunjung tinggi.” Kavanaugh v. Kavanaugh Knitting CO.226.N.Y 185,193,123 N.E 148,151.
Telah jelas bahwa director harus loyal dan setia (allegiance) terhadap perusahaannya-Ioyalitas yang tidak terbagi dan kesetiaan yang mempengaruh setiap tindakannya sehingga setiap tindakan ini dimaksudkan tidak lain untuk kebaikan perusahaan. Setiap kepentingan director selain daripada itu akan menjadi suatu penelitian yang ketat dan tidak ada kompromi. Dia tidak akan mengambil keuntungan dengan menggunakan perusahaan dan tidak akan berbenturan dengan hak-hak perusahaan; dia tidak akan mengambil kesempatan untuk kepentingan dirinya sendiri atas hal-hal yang jelas memang menjadi milik dari perusahaan. Dia diperlukan untuk menggunakan pendapatnya yang indenpenden. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai director, tentunya dia harus bertindak jujur dan beritikad baik, tapi hal ini tidak cukup. Namun dia juga harus melaksanakan dengan suatu tingkat keahlian dan kebijaksanaan dan ketelitian.
Dalam kasus utama di Pengadilan Banding, sehubungan dengan tugas dari director dikatakan Mereka harus mengetahui dan memberikan arahan kepada general affairs dari institusi tersebut, dan kebijaksanaan bisnisnya, dan mempunyai pengetahuan umum tentang tatacara pelaksanaan bisnisnya, karakterisasi inventasinya, dan sumberdaya karyawannya. Tidak ada kebiasaan dan praktek yang menjadikan jabatan director hanya sebagai kehormatan namun tanpa tanggungjawab, atau hanya nama yang menjadi penarik perhatian. Sosok seorang director harus memberikan kepercayaan dan mempunyai tingkah laku yang menarik, namun juga harus mampu memberikan perlindungan.” Kavanaugh v. Commonwealth Trust Co. 223 N.Y 103, 106, 119 N.E 237, 238.
Dengan kata lain, directors bertanggungjawab atas kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya. Tidak menjamin, director tidak bertanggung jawab atas kekeliruan pendapat atau kesalahan kalau melakukannya dengan keahlian dan kebijaksanaan yang masuk akal. Dikatakan director dalam melaksanakan tugas bisnis perusahaannya harus melaksanakannya pada tingkat yang kesetiaan dan ketelitian selayaknya seorang yang bijaksana yang akan melaksanakan kepentingannyan dengan cara serius dan penting. Walaupun demikian, peraturan umum ini tidak begitu membantu. Dalam analisa terakhir, apakah seorang director tidak melaksanakan tugasnya, apakah seorang director telah lalai, tergantung atas fakta, dan keadaan situasi masing-masing kasus, bentuk perusahaan yang terlibat, besarnya,dan sumber keuangannya, jenis transaksinya dan urgensi dari problem tersebut. Director disebut sebagai memberikan ketelitian dan keahlian” tergantung pada tuntutan situasi. New York Cent. Railroad Company v. Lockwood, 17 Wall 357,382,383,21 L.Ed.627.
Tidak dapat diragukan, director bank lebih terikat ketat dengan pertanggungjawaban daripada director dari suatu perusahaan bisnis biasa. Director dari bank dipercayakan untuk mengelola deposito, dan saham-saham yang memerlukan perlindungannya dari pembebanan pertanggungjawaban pribadi. Gause v. Commonwealth Trust Co.,196. N.Y 134,153-155,89 N.E 476,24 L.R.A, N.5 967.
Tetapi kewaskitaan tidak perlu bagi director, walaupun bagi director bank. Hukum mengenal bahwa director yang paling konservatif pun tidak akan tidak pernah membuat kesalahan, dan dia kan berbuat suatu kesalahan, tapi bila ia menggunakan prinsip ketelitian dan kehati-hatian yang biasa digunakan oleh seorang banker yang bijaksana, maka ia akan dibebaskan dari tanggung jawab walaupun opininya kemudian dapat dikatakan sebuah kesalahan dan pendapatnya salah.
Akhirnya, untuk menentukan apakah transaksi yang disetujui oleh director adalah dapat menjadikannya bertanggungjawab atas kelalaian, kita harus melihat dari fakta bahwa mereka yang ada pada saat timbulnya masalah, bukan setelah atau dijelaskan oleh mereka yang ada sesudah kejadian “ Purdy v. Lynch 145 N.Y 462,475.40 N.E 232,236.
“Kearifan yang berkembang setelah kejadian, serta mendapatnya dan konsekwensinya sebagai suatu sumber, adalah suatu standar menilai seorang lelaki” Costello v. Costello, 209 N.Y 252,262,103, N.E 148,152.
Walaupun tidak ada kasus yang tepat sebagai intinya, sepertinya apabila bank bertentangan dengan kebijaksanaan publik, ingin membeli beberapa surat berharga, setuju untuk membelinya kembali dengan harga yang sama, lebih jauh lagi dimana bank membeli surat berharga dan memberi kesempatan pada penjualnya untuk membelinya kembali, dengan demikian menimbulkan resiko untuk rugi dengan tidak ada kemungkinan untuk mendapat apapun kecuali bunga yang didapat bank dalam tenggang waktu tersebut. Di sini, apabila harga pasar saham naik, maka pemegang hak untuk memberi kembali saham tersebut akan menggunakan haknya untuk memperoleh saham tersebut kembali dari bank pada harga terendah penjualannya pada bank. Sedangkan kalau harga pasar turun, maka pemegang hak untuk membeli kembali tidak akan menggunakan haknya, dan bank akan tetap merugi. Jadi, setiap keuntungan yang didapat dari kenaikan tajam dari harga surat berharga tersebut dipastikan untuk penjual, sedangkan setiap resiko untuk mengalami kerugian yang besar adalah hal yang tidak dapat ditolak oleh bank. Apabila perjanjian seperti ini dibiarkan berlarut-Iarut, maka akan memaksa bank untuk menyisihkan surat berharga yang dibelinya ini selama 6 bulan. Bank tentunya tidak dapat melepaskan dirinya dari kewajibannya untuk terikat dengan “penjualan cepat” tersebut. Dengan perkataan lain, sementara ketika opsi untuk penjualan kembali akan memaksa bank untuk menahan sejumlah dana cash sejumlah harga yang diterima dari surat berharga yang dijualnya, dilain pihak pembelian kembali akan memaksa bank untuk menahan surat berharga tersebut dalam jangka waktu 6 bulan juga. Dalam hal kedua situasi ini, kondisi keuangan bank yang sebenarnya tidak dapat ditentukan secara keseluruhan berdasarkan buku dan literatur. Hal ini akan bergantung kepada fluktuasi dari pasar. Dalam kedua peristiwa ini kesatuan tanggung jawab yang tidak nampak di laporan neraca.
Directors tidak berposisi sebagai pengawas atas kepercayaan yang diberikan orang lain, tanpa ia menghiraukan itikad baik, secara pribadi maka ia akan bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dari pelanggaran atas perjanjian yang dibuatnya. Matter of Smoth,279 N.Y 479,489,18 N.E 2d 666: lihat Fletcher Cyc.Corp,.Perm.Ed, #847. Jika pertanggungjawabah dibebankan pada directors ini maka harus didasarkan kepada alasan yang lebih kuat.
Saya berpendapat tanggung jawab dalam transaksi ini karena seluruh pengaturannya sangat tidak hati-hati, sangat beresiko, sangat tidak biasa dan tidak perlu jika dibandingkan dengan konsep praktek dari prinsip kehati-hatian bank. Seorang direktur bank ketika ditunjuk datau dipilih akan mengambil arahan bahwa dia akan, sejauh dalam hal-hal yang melibatkan tgasnya akan bertindak sebagai “pengatur administrasi yang teliti dan jujur untuk segala hal yang berhubungan dengan bank atau perseroan yang mengelola harta benda”. Banking Law, #117. Prinsip ini hanyalah untuk menambahkan pada hal-hal yang memang telah dibebankan oleh hukum pada mereka. Kejujuran saja tidaklah cukup; kejujuran dari direksi dalam hal ini tidak usah dipertanyakan lagi. Tapi harus ada hal-hal yang lebih daripada kejujuran harus ada juga ketelitian, dan hal ini berarti kebijaksanaan dan kehati-hatian. Transaksi ini, seperti telah dikatakan, sangat tidak biasa; sangat unik, tetapi memang sejauh ini tidak ada dalam catatan yang menunjukkan adanya usaha unutk mendapatkan advis dari seorang penasehat. Maka sangat tidak mengejutkan tidak ada suatu contoh yang dapat ditemukan untuk dipergunakan dalam situasi seperti itu.
Yang memang bisa diterima akal dari tindakan bank ini, ingin membuat suatu investasi, dalam jangka watu pendek atau sebaliknya, untuk pembeli surat berharga dibawah pengaturan dimana apresiasi akan diberikan kepada penjual dan dilain pihak kerugian yang timbul akan dibebankan kepada bank? Perbedaan point lima setengah tidak menjawabnya. Itu tidak dapat menjadi dasar dari keberatan bahwa apapun kerugian harus dibebankan kepada bank dan setiap keuntungan yang diperoleh akan menjadi hak dari customer.
Dalam hal ini ada hal yang lebih dari sekedar pendapat bisnis yang bagi orang-orang pasti tidak akan setuju. Para direktur jelas telah gagal untuk memberi ketelitian yang memang dituntut dalam situasi seperti itu. Kecuali kita memang mengabaikan sepenuhnya doktrin bahwa direktur dapat lalai dalam menjalankan tugas administrasinya, maka dalam transaksi ini maka tanggungjawab akan dibebankan pada direktur.
Akibat yang sama dapat dicapai jika kita mengadopsi versi dari tergugat dari transaksi ini, sebut saja, pembelian ini pertamakali oleh Guaranty Company, dengan opsi untuk membeli kembali ada pada Alleghany Corporation, dan transaksi ini dibiayai oleh bank, maka bunga seketika yang diperoleh bank dalam jangka pendek ini adalah investasi 5 V2.
Darimana pun kita meninjau transaksi ini, maka karena itu, hal ini sungguh tidak berhati-hati, sangat berbahaya, sangat tidak biasa dan dan sangat berlawanan dengan prinsip kehati-hatian bank sehubungan tanggungjawab direksi dalam menyetujui transaksi derivatif saham.
Dengan menetapkan bahwa transaksi ini dalam litigasi adalah berkaitan dengan pembebanan tanggung jawab atas partisipasi Tergugat, pertanyaan selanjutnya adalah bagian dari kerugian apa yang dapat dikenakan pada transaksi yang tidak perlu ini? Para Argumentasi para Tergugat adalah opsi dari perjanjian ini adalah Ultra vires, bank berhak untuk menjual surat berharga ini kapan saja karena penjualan ke Alleghany Corporation ini tidak berada dalam suatu kewajiban hukum yang dapat dijalankan. Maka karena itu para Tergugat menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada tanggungjawab yang dapat dikenakan pada mereka karena tidak ada suatu causa langsung yang menghubungkan antara opsi dan kerugian yang timbul. Lebih jauh lagi, telah disarankan oleh seorang saksi dengan apa yang disebutnya “Forward sale” dari koresponden surat berharga yang dapat dipergunakan sebagai perlindungan, apabila ada perkiraan bahwa akan ada kerugian yang timbul. Transaksi ini tidak dapat dikatakan suatu transaksi yang biasa dijalankan oleh Trust Company atau seluruh cabang daripadanya. Berdasarkan ini sudah jelas bahwa Tergugat memang tidak pernah mempertimbangkan untuk menjual surat berharga ini dlam jangka waktu 6 bulan, sebaliknya mereka tetap menyimpannya berdasarkan dari opsi pembelian kembali tersebut. Apabila hal ini tidak demikian, bagaimana dapat perjanjian Guaranty Company untuk mentake over surat berharga itu dari Trust Company pada akhir dari jangka waktu 6 bulan itu bila company gagal untuk melaksanakan opsinya? Dapat dijelaskan Perusahaan ini pada kenyataannya memang kemudian telah mentake over surat berharga ini dari bank pada April 1931, sesuai dengan perjanjiannya. Para Tergugat sekarang tidak dapat menyatakan bahwa bank menahan surat berharga tersebut selama 6 bulan, tidak ada hubungannya dengan opsi pembelian kembali dan perjanjian antara perusahaan dan bank. Jelas, apapun kerugian yang timbul dalam jangka waktu 6 bulan tersebut langsung terkait pada opsi dari perjanjian tersebut, apakah para Tergugat dapat dikenakan oleh karenanya.
Isu yang sebenarnya dalam kerugian ini adalah berkaitan dengan apakah direksi dapat dibebankan dengan total loss yang ditimbulkan ketika surat berharga tersebut dijual, dengan kerugian paling tinggi 81 %, atau hanya pada porsi kerugian yang terkumpul dalam jangka waktu 6 bulan tersebut, mengadalan suatu pinjaman dalam jangka waktu itu, padahal sebenarnya dalam waktu itu para Tergugat dapat mengadakan penilaian ulang untuk menjual surat berharga tersebut. Catatan menunjukan bahwa tidak ada satu pun dari surat berharga itu terjual sampai dengan tanggal 8 Oktober 1931, kira-kira 6 bulan sesudah jatuh tempo kesempatan Alleghany untuk membeli kembali surat berharganya. Missouri Pacific Railroad pergi ke receivership April 1933 dan antara 2 August dan 25 September 1933, $ 126.000 lebih surat berharga telah dibeli perusahaan ini dalam rangka untuk menutupi kerugian Total loss diperkirakan $2.250;000.
Saya percaya bahwa penurunan harga surat berharga pada 16 April 1931 tidak mempunyai hubungan causa dengan opsi yang mempunyai batas waktu tersebut. Director tidak bertanggungjawab atas kerugian lebih dari pada yang ditimbulkannya ketika melakukan pelanggaran atas tugas-tugasnya. Porsi dalam transaksi ini yang diwarnai dengan ketidak hati-hatian dan kelalaian adalah dalam opsi membeli kembali. Begitu opsi membeli kembali telah jatuh tempo, tidak ada alasan apapun bagi direktur untuk tidak berusaha untuk menjualnya kembali. Seluruh kerugian yang ada pada saat telah jatuh tempo yaitu pada 16 April 1930 adalah kerugian yang timbul dari hasil pendapat bisnis direktur yang memutuskan untuk tetap menyimpan surat berharga itu. Kerugian yang lebih lanjut tidak dapt dikatakan dari ketidakhati­-hatian namun berdasarkan dari telah jatuh temponya opsi pembelian kembali.
Makanya para Tergugat hanya bertanggungjawab pada hal-hal yang berkaitan dengan ketidakhati-hatian pada opsi pembelian kembali, opsi inilah yang menjadi motivasi dari kerugian yang timbul dalam jangka waktu sesudah 16 April 1931.
Dengan demikian pengadilan berpendapat tergugat diputuskan bertanggung jawab.
Berbagai pendapat pengadilan dimuka dapat dipahami sebagai presedent bagi penentuan perlindungan direksi melalui business judgment rule di Indonesia.

PENUTUP
1.     A.    Kesimpulan
            Berdasarkan uraian bab-bab di muka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.     Regulasi seperti dalam UUPT yang mengatur laporan direksi dikategorikan melakukan pengaturan perseroan yang salah dan harus mempertanggungjawabkan belum memadai dan cukup.
2.     UUPT belum dapat menentukan “standar direksi” seperti presiden di negara lain yang menetapkan standar duty of care dan duty of loyality dalam penetuan pengelolaan perseroan yang salah.
3.     Apabila direksi di dalam mejalankan kewenangannya harusnya tidak melanggar prinsip fiduliary duty sesuai standar pelanggaranduty of care dan duty of loyality, maka direksi dapat memanfaatkan business judgement rule untuk pembelaan dirinya bila ia dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan perseroan.
4.     B.     Saran
5.     Perlu memperbaharui UUPT berkenaan dengan ketentuan pertanggungjawaban direksi.
6.     Membuat standar duty of care dan duty of loyality dalam ketentuan UUPT.
7.     Memasukkan secara khusus prinsip fiduciary dalam kurikulum perkuliahan hukum perusahaan di Fakultas Hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Ronald A. Ivan Fox dan David P. Twoney. Busineess Law & The Regulatory Environment. Cincinnamati, Ohio : South-Western Publishing, 1995.
Asser’s, C. Pengkajian Hukum Perdata Belanda (Haandeeiding toot de Beofening Van Het  Nederlands Burgelijk Recht). Diterjemahkan oleh Sulaiman Binol. Jakarta : Dian Rakyat, 1991.
Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta: Bapepem, 1999.
Barry E. Shapiro, “The Future of Labour Relations in the Federal Sector,” Labour Law Journal, (Vol. 6 August 1992).
Black, Henry Champbell. Balcks Laws Dictionary. ST. Paul, Minn : West Publshing Co., 1990.
Block Dennis J., Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgement Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors,Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990.
Buxbaum, Ricard M. “A Comperative View of Modern Company Law.”  Makalah disampaikan pada seminar On The Impact of  Company and Capital Markets Law in Economic Development, Major Prodecural and Subtantive Issues. BPHN-ELIPS  Project. Jakarta. Tanggal 11 Agustus 1994.
Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989).
Clark Robert Charles, Corporate Law, Boston & Toronto: little, Brown and Company, 1986
David Milmann & Durrant Christoper, Corporate Insolvency : Law and Pratice, London: Sweet & Maxwell, 1987.
Davies Paul L., Gower and Davies’ Principles of Modern Company Law, Thomson Sweet &Maxwell, 2003
——————–., Gower’s Principles of Modern Company Law, London, Sweet Maxwell, 1977
Denis & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1998
Denis Keenan & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1999.
Dennis J. Block, Nancy E. Barton dan Stephen A. Radin, The Business Judgement Rule: Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall Law & Business, 1990.
Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law Materials~aftd Cases, The Foundation Press Inc. New York, 1989.
Detlev F. Vagts,Basic Corporation Law Materials-Cases Text, (New York: The Foundation Press Inc. 1989) .
Dine Janet, Company Law-  Sweet &Maxwell’s Textbook  Series, Sweet & Maxwell, 2001.
————-, Company Law, Macmillan Press Ltd., 1998
Emerson, Thomas T. “Laws as A Force Social Progres.” 18. Connecticut. Law Review 1. 1985.
Faulk, Martha & Irving M. Mehler.  The Elements of Legal Writing, New York : Macmillan Publishing Company, 1994.
Friedman, Wolfgang. Legal Theory. London.: Steven & Sons. 1953.
Fuady Munir, Hukum Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994
—————-, Perseroan Terbatas- Paradigma Baru, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
George R.G. Clarke dan Robert Cull, Political and Economics Determinants of The Likelihood of Privatizing Argentina Public Bank,Jurnal of Law and economics, (Vol. XLV, April 2002), The University of Chicago.
Hartono, Sunaryati. Hukum ekonomi Pembangunan. Bandung : Inti Indayu, 1987.
———————–. Kapita Selekta Pebandingan Hukum. Bandung : PT. Aditya Bakti, 1991.
Herwidayatmo, Implementasi Good Corporate Governance Untuk Perusahaan Publik Indonesia, tulisan utama yang dimuat dalam Usahawan, No. 10 TH XXIX Oktober 2000.
Himawan, Charles.  The Foreign Invesment In Indonesia.  Singapore : Gunung Agung, 1980.
———————–, “Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum Sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum”. Disampaikan Pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, Tanggal 24 April 1991.
Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance): Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000
Ihromi, T.O. Antropologi & Hukum. Jakarta : Yayasan Obor, 1993.
Iver, Mac. The Web of Goverment. New York : Macmillan Company, 1958.
J Neville., dalam Re Brazillian Rubber Plantation &Estates Ltd [1911] 1 Ch. 425, sebagaimana dikutip dalam Lipton
Janet Dine, Company Law-  Sweet &Maxwell’s Textbook  Series, Sweet & Maxwell, 2001.
Joel Seligman, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto London, 1995.
Julian, Simon & Faul Burstin. Basic research  Methode In Social Science, New York,78.
Kantaatmadja, Komar. “Undang-undang Perseroan Terbatas 1995 dan Implikasinya Terhadap Modal Asing.” Era Hukum 6 / th .2. (Oktober 1995)
Keriekhoff, Valerine J.L. “Analisis Konten Dalam Penelitian Hukum : Suatu Telaah Awal. “ Era Hukum 6 / th.2. (Oktober 1995)
Kerlinger, Fred N. Foundation of Behavior Research. London: Hult International 1977.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Garmedia. 1977.
Lewis D. Salomon Donald E. Schwartz, Jeffrey D. Bauman & Etliot J. Weiss, Corporation Law and Policy Materials and Problems,Third Edition, West Publishing CQ., St. Paul, Minn, 1994.
Lipton dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992.
Lipton Philip dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992.
Lubis, T. Mulya. Hukum dan Ekonomi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987.
——————-. Hak Asasi Manusia dan Pembangunan. Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1987.
Manan, Bagir. “ Undang-undang Perseroan Terbatas Menghadapi Pasar Bebas.” Makalah Disampaikan Pada Seminar Sehari Penerapan UUPM dan UUPT serta Kaitannya Dengan Aspek Manajemen, Investor dan Profesi Akuntan.Bandung, Tanggal 16 Desember 1995.
Metzger, Michael B, Jane F Mallor., A. James Barnes. Bussiness Law and Regulatory Environment. Homewood, Illinois Co, 1986.
Musselman, Vernon A dan John H. Jackson. Ekonomi Perusahaan Konsp-konsep dan praktek-praktek sezaman (Business : Contemporary Concepts and Practices). Diterjemahkan oleh Wilhelmus W.Bakowatun. Jakarta : Intermedia, 1989.
Nasution Bismar dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, Bandung: 2005.
Nasution Bismar dan Zulkarnain Sitompul, Pengelolaan Perseroan Terbatas, Medan : BooksTerrace & Library : 2006
Nasution Irma Hani, Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direktur Dalam Perseroart-Terhatas, Naskah Publikasi Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003.
Nasution, Bismar, Keterbukaan Dalam PasarModal, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001.
_______________, “Indonesia Pasca IMF: Perlu Memerankan Hukum Dalam Pemulihan Ekonomi”, Disampaikan pada Diskusi dengan Tema “Indonesia Pasca IMF”, Ikatan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan 20 Oktober 2003
______________. Diktat Hukum Perusahaan, Program Magíster Ilmu Hukum USU, 2003.
_____________. Metode Penelitian hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003.
Nonet, Philippe and Philip Zelnick. New York : Happers & Row, Publishers, 1978.
Pennington Robert R., Directors’ Personal Liability, Collin Professional Books, 1997 
People’s Daily,  “Independent Director System to Improve Corporate Governance”, 22 Agustus 2001, http://english.peopledaily.com.cn.
Peursen, C.A. Van. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu ( De Opbouw van de Wetensleer ). Diterjemahkan oleh J. Drust. Jakarta. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Pound, Roscoe. Interpretations of Legal History. Florida : WM. W. Gaunt & Sons. Inc. 1968.
Pramono, Rudhi. Pelaksanaan Pidana Perkara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta : Liberty, 1988.
Priest Margot, R. Mecredy-Williams, Barbara R.C Doherty dan James W. O’reilly, Directors’ Duties in Canada, CCH Canadian Limited, 1995
Privat Sector development Department-the Wold Bank, International Corporate Governance, 1998, dalam Sofyan A. Djalil
Purbacaraka, Purnadi dan Soeyono Soekamto. Perihal Kaedah Hukum. Bandung : Alumni, 1982.
Rahardjo Satjipto. Ilmu Hukum . Bandung : Alumni, 1982.
———————. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung : Alumni, 1983.
Rajagukguk, Erman. “Pembaharuan Hukum Perusahaan Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.” Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembaharuan Hukum Perusahaan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Sekolah Tinggi Hukum Swadaya. Medan. Tanggal 25 Juli 1995.
Revised Model Business Corporation Act Section$.(3) dalam Charles R. O’kelley, Jr & Robert B. Thompson, Corporations and Others Business Associations Cases and Materials, Little Brown and Company, United States of America, 1992.
Rido, Ali. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakap. Bandung : Alumni, 1986.
————. Ed. Hukum Dagang. Bandung : Remaja Karya CV, 1988.
Robert Charles Clark, Corporate Law, Boston &Toronto: little, Brown and Company, 1986.
Ryan Christopher L., Company Directors, Liabilities, Rights and Duties, CCH Editions Limited, Third Edition, 1990.
Sarantakos. Social Research,                                                   , 1993.
Schooter Heidi Mandanis, Fiduciary Duties Demanding Cousin : Bank Director Liability for Unsafe or Unsound Banking Practices,George Washington Law Review, Januari, 1995.
Seligman Joel, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto London, 1995
Singgih, Kejahatan Korporasi yang Mengerikan,  Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, 2005.
Sitompul Asril, Pasar Modal : Penawaran Umum & Permasalahannya, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 136-139. bandingkan pula dengan Bismar Nasution, Diktat Hukum Pasar Modal : Good Corporate Governance, Perlindungan Lingkungan Hidup dan Insider Trading, Universitas Sumatera Utara, 2002
Sjahdeini Sutan Remy, Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit Jurnal Hukum Bisnis
Soekamto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Peneribit Rajawali Press, Jakarta, 1990.
________________________________. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : CV. Rajawali, 1985.
Soekanto, Soerjono.  Pengantar Hukum . Jakarta : UI Press, 1986.
Soemitro Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
Steven H. Giffis, Law Dictionary, New York, USA : Baron’s Educational Series, Inc., 1984.
Suad Husnan, Laporan Ketua Tim Kerja Statement of Corporate Intent (SCI) BUMN tahun 2003-2005.
Subekti. R dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Jakarta : Praduya Paraminta, 1977.
Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Sunita Kikeri, Jhon Nellis, Mary Shirley, Privatization : The Lessons of Experience, (Washington D.C : The World Bank, 1997).
Sutan Reny SjahdeiniTanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Pailit, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Ju1i 2001
Sutanto, Retnowulan. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Tanpa Penerbit. 1995.
_____________. Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Hukum Kepailitan ( Wetboek van Koophandel en failissements verondening), Jakarta : Praduya Paramita, 1976.
SX Corporate Governance Council, Principles of Good Governance and Best Practice Recommendations, Australian Stock Exchange, 2003.
The Audit Committee Handbook 2003, http://www.hm-treasury.gov.uk/media/8D2/62/audit_committee_handbook2003.pdf, 
Tumbuan Fred BG, Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta RUPS Perseroan Terbatas menrurut Undang-undang No. l Tahun 1995, Makalah Kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun Ajaran 2001-2002
_____________. “Keberadaan dan Kemandirian Perseroan Terbatas Sebagai Badan Usaha Tunggal dan Sebagai Badan Usaha Tunggal dan Sebagai Anggota Group”. Makalah disampaikan tanpa Tempat Penyajian, Jakarta, Tanggal 23 Januari 1991.
_____________ “Perseroan Terbatas dan Organ-organnya.” Makalah disampaikan pada Kursus Ikatan Notaris Indonesia. INI. Surabaya, Tanggal 30 Mei 1988.
——————. “Mergers and Other Forms of Corporate Cooperation.” Makalah disampaikan Pada Seminar On The Impact of Company and Capital Markets Law in Economic Development, Major Procedural and Subtantive Issues. BPHN-ELIPS Project. Jakarta. Tanggal 11 Agustus 1994.
Undang-undang tentang Perseroan Terbatas . Undang-undang Nomor.1 Tahun 1995. L.N. No.13. T.L.N. No.3587.
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, UU.No.1 Tahun 1995, L.N. 13, T.L.N. No.3587.
V.V Ramanadham, Privatization : A Global Perspective, (London and New York : Routledge, 1993)
Vernon A. Messelman dan John H. Jackson, Introduction To Modern Bussiness, diterjemahkan oleh Kusma Wiriadisastra, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1992).
Vagts, Detlev F. Basic Corporate Law. Westbury, New York : The Foundation Press, Inc, 1989.
Weyner, Miron, ed. “Modernisasi dan Perkembangan Kesadaran Hukum Masyarakat”.  Hukum 6 (Tahun Kelima 1979)
Yani Ahmad & Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, .
Zulkarnain Sitompul, “Pembatasan Kepemilikan Bank : Gagasan Untuk Memperkuat Sistem Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22, No. 6, Tahun 2003).

* Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari dalam Rangka Menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT (Persero) BUMN ”Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan Dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Persero) Dilingkungan Bumn Ditinjau Dari Aspek Hukum Dan Transparansi” diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 8 Maret 2007.
** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987– sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999–sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001–sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang
[1] Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary, hal. 625.
[2] 375 U.S. 180, 195-196 (1965).
[3] Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, (Vol. 17, 1989), hal. 291.
[4] Lihat, Janet Dine, Company Law-  Sweet &Maxwell’s Textbook  Series, Sweet & Maxwell, 2001, hal  217.
[5] Denis Keenan & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 199, hal 317.
[6] Joel Seligman, Corporations Cases and Materials, Little Brown and Company Boston New York Toronto London, 1995.
[7] Philip Lipton dan Abraham Herzberg, Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992, hal 342.
[8] Janet Dine, Company Law, Macmillan Press Ltd., 1998, hal 179.
[9] Lihat. Ibid, hal. 209
[10] Ibid.
[11] Bayer v. Beran, 49   N.Y.S.2d 2, 6 (1944)
[12] Detlev F. Vagts, Op. Cit, hal. 210.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Casey v. Woodruff, 49 N.Y.S.2d 625, 643 (1944)
[16] Komisaris adalah organ/badan pengawas dalam pelaksanaan tugas pengelolaan dan pengurusan Direksi terhadap kepentingan PT. Dalam hal. ini Komisaris tidak mempunyai peran dan fungsi ekseku­tif.
[17] Metzger, Mallory dan Barnes al. Business law and the Regulatory Enviroment Concepts and Cases, (Home wood, Illinois, 1986), hal 550
[18] Ibid.
[19] Kemiripan jabatan komisaris dalam hukum perseroan Indonesia dan Belanda tidak terlepas dari hukum perseroan Indonesia yang berasal dari hukum perseroan Belanda
[20] Zulkarnain Sitompul, “Perlindungan Dana Nasabah Bank,”(Jakarta : Fakultas Hukum UI, 2002), hal. 36-38
[21]   Johnston v. Greene, 35 Del. Ch.479 (1956)
[22]  Lewis v. Fuqua, 502 A. 2d 962 (Del. 1985)
[23] Zulkarnain Sitompul  dan Bismar Nasution, “Pengelolaan Perseroan Terbatas”, (Medan : BooksTerrace & Library, 2006) hal, 17
[24] Lihat, Detlev F. Vagts, Op. Cit, hal. 196
[25] Direksi adalah organ/badan yang mewakili kepentingan perseroan dengan menjalankan pe.rseroan untuk memimpin dan menge­mudikan perseroan dalam melakukan usaha-usahanya sesuai dengan kehendak RUPS.
      [26] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD )Pengumu­man PT oleh Direksi diatur dalam pasal 44 ayat 1 yang menyatakan bahwa tiap-tiap Perseroan Terbatas harus diurus oleh beberapa pengur.us, kawan-kawan peserta atau lain-lainnya yang semua itu harus diangkat oleh para pesero, dengan atau tidak dengan menda­pat upah dan dengan atau tidak dengan diawasi oleh beberapa komisaris.
[27] Michael B. Metzger, Jane P. Ma11or, A. James Barnes,: Business Law and The Regulatory Environment, (Homewood, Illinois: Irwin, 9.986), hal, 629.
[28]  Bismar Nasution, “Indonesia Pasca IMF: Perlu Memerankan Hukum Dalam Pemulihan Ekonomi”, Disampaikan pada Diskusi dengan Tema “Indonesia Pasca IMF”, Ikatan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan 20 Oktober 2003. Hal 8.
[29] Privat Sector development Department-the Wold Bank, International Corporate Governance, 1998, dalam Sofyan A. Djalil,Loc. Cit.
[30] Lihat People’s Daily,  “Independent Director System to Improve Corporate Governance”, 22 Agustus 2001, http://english.peopledaily.com.cn.
[31] Bismar Nasution, Op.Cit, hal 9.
[32] ASX Corporate Governance Council, Op. Cit, hal 20.
[33] Lihat Council of Institutional Investors, Independent Director Definition, http://www.cii.org.
[34] L.C Soesanto, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia,http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf
[35] Quasi-public corporations adalah korporasi-korporasi yang tidak seutuhnya bersifat publik, dalam arti berkerja untuk tujuan pemerintahan, tetapi operasi atau aktivitas dari korporasi tersebut turut memberikan kenyamanan, kemudahan, atau kesejahteraan khalayak umum, seperti perusahaan telepon, gas, air, listerik, dan perusahaan. (Black’s Law Dictionary)
[36] Vicarious Liability adalah pembebanan pertanggungjawaban pada seseorang atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain, semata-mata berdasarkan hubungan antara kedua orang tersebut. 
[37] Khanna, Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?, 109 Harv. L.Rev. 1477,  The Harvard Law Review Association, 1996, hal.2
[38]Elkins Act adalah Undang-undang federal Amerika Serikat (1903) yang mendukung pelaksanaan Interstate Commerce Act (undang-undang perdagangan antara negara bagian) dengan  melarang pemotongan harga dan bentuk-bentuk perlakuan istimewa lainnya terhadap jasa pengangkut (shipper) yang besar (Black’s Law Dictionary).
[39] Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Syahdeni, “ Hukum Kepailitan (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002) hal. 429
[40] Ibid
[41] Ibid, hal. 430
[42] Ibid
[43] Ibid
[44] Ibid, hal. 431
[45] Teori Business judgment rule mengalami perkembangannya sebagai yurisprudensi dalam Prinsip Common Law di Amerika dimulai dengan keputusan Lousianna Supreme Court, dalam kasus Percy V Millaudon pada tahun 1829. Lihat Dennis J. Block, Nancy R. Barton dan Stephen A. Radin, The Business judgment Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990, hal 4
[46] Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law Materials-Cases Text, (New York: The Foundation Press Inc. 1989) hal 212. , lihat juga Robert Charles Clark, Corporate Law, Boston &Toronto: little, Brown and Company, 1986, hal 123 yang menyatakan bahwaBusiness Judgement Rule adalah “ a presumption that in making a business decision, the director of corporation acted on an informed basis in good faith and in the the honest belief that the action was taken in the best interest of the company”.
[47] Lihat United Copper Securities Co. v. Amalgamated Copper Co.,244 U.S 261, 263-4, 37 S.Ct.509,61 Led. 1119 (1917).
[48] United Copper Securities Co. v. Amalgamated Copper Co.supra, 244 US. Pada 263-64, 37 Sct. Pada 510
[49] Cf. Miller v. American Telephone &Telegraph Co. 507, F.2d 759 (3d Cir.1974).
[50] Ashwander v.Tennesse Valley Authority, supra 297 U.S pada 343, 56 S.Ct. pada 481.
[51] Klotz v. Consolidated Edison of New York, Inc. supra , 386 F.Supp. pada 581.
[52] (Oleh Pengadilan) Peraturan Pengadilan Chancerry menyatakan dalam bagian 23.1 : “Penggugat harus menyatakan secara khusus dan tertentu usaha-usaha, jika ada, yang dibuat oleh Penggugat untuk mendapatkan tindakan yang diinginkan dari direksi atau penguasa yang sebanding dan juga alasan-alasan dari kegagalannya untuk mendaptkan tindakan tersebut atau dengan tidak melakukan usaha tersebut”
[53] Maldonado v.Flynn, Del. Ch, 413 A.2d 1251 (1980).
[54] (Oleh Pengadilan) Lihat Dent, The Power of Directors to Terminate Shareholder Litigation: The Death of Derivatif Suit? 75 Nw,U.L./Rev,96,98 & n. 14 (1980); Komentar, The Deman and Standing Requirements in Stockholder Derivative Actiona, 44 U.Chi L. Rev; 168, 192 & nn. 153-54 (1976) (herein Stockholder Derivative Action).
[55] ( Oleh Pengadilan) 8 del C # 141 (a) menyatakan “Bisnis dan hubungan setiap perusahaan yang diatur berdasarkan peraturan ini (bab ini) akan diatur oleh atau arahan dari Dewan Direksi.
[56] ( Oleh pengadilan) Lihat Arsht, The Business Judgment Rile Revisited, 8 Hofstr L.Rev.93,97, 130-33 (1979).
[57] (Oleh Pengadilan). Dengan perkataan lain ketika pemegang saham, setelah melakukan tuntutannya dan mendapatkan gugatannya ditolak, menyerang Dewan Direksi dengan menyatakan bahwa hal tersebut tidak patut, keputusan Dewan termasuk ke dalam peraturan “business judgment” dan akan dihormati/dindahkan apabila memenuhi ketentuan peraturan. Lihat Sent, supra note 24, 75 Nw. U.L Rev. pada 100-01 & nn. 24-25. Situasi ini harus dibedakan dari contoh kasus, dimana tuntutan tidak dibuat, dan kekuasaan dari Dewan untuk menghentikan, dalam hal diskualifikasi, memperlihatkan ambang permasalahan
Sebagai contoh apa yang telah dianggap sebagai suatu putusan yang salah untuk tidak menuntut, lihat Stockholder Derivative Actions, supra note 24, 44 U.Chi.L.Rev. pada 193-98. kami menyadari bahwa dalam praktek kedua hal tersebut dapat overlap.
[58] (Oleh Pengadilan) Bahkan dalam situasi ini dapat menggunakan litigasi untuk menetapkan kurangnya kekuasaan dari pemegang saham, mis. “standing”.
[59] (Oleh pengadilan) Kami tidak menutup akan pengadilan yang berdifat diskresi dari lalda isu yang )da tetapi isu tidak ditampilkan dalam banding ini. Uhat Lewis v.Andeno”, supra,615 F.2d pada l80.Atau kaml perlu menutup kemungkinan bahwa mosi lain akan berlanjut atau bergabung dengan menghentikan pra pengadilan mosi summary judgment, e.g masi sebagaian untuk summary judgment.
[60] (Oleh pengadilan) Langkah ini terdiri dari semangat dan pilosopi dari pernyataan Vice Chancellor: “Dibawah sistim hukum kita, pengadilan dan tidak litigants harus memutuskan hal-hal yang memenuhi litigasi”. 413 A.2d. pada 1263